Redaksi Menerima kiriman tulisan baik opini, artikel dan lain-lain
Tulisan bisa dikirim via email ke alamat : pwkpii.mesir@gmail.com
Jazakumullah khairan katsiran

Friday 16 March 2012

Puasa, Memerdekakan Diri dan Bangsa


Oleh : Wahyudi

Foto: Anneahira.com

Kata “puasa” merupakan istilah keseharian sebagai terjemahan dari kata shawm atau shiyam yang memiliki makna menahan diri. Ini berarti ibadah puasa merupakan ibadah untuk melatih menahan diri, sebab kelemahan utama manusia ialah ketidaksanggupannya untuk menahan diri. Hal ini digambarkan dalam kitab suci mengenai kisah Adam dan istrinya yang tinggal di surga bebas memakan apa saja, kecuali hanya satu pohon (kuldi) yang tidak boleh didekati (QS Al Baqarah/ 2:35). Namun karena tidak mentaati perjanjian tersebut (tidak ada kemauan yang kuat), maka Adam dan istrinya lupa (QS 20:115), sehingga turun dari surga (QS 20:123). Kisah Adam dan hawa tersebut memperlihatkan dengan jelas kelemahan manusia akan ketidakmampuannya menahan diri sehingga muncul dorongan keserakahan.

Demikian pula apa yang menimpa pada sebagian politisi atau pemimpin kita, sudah mendapat gaji besar, menikmati berbagai fasilitas yang super lux, berbagai tunjangan diperoleh, namun masih tetap merasa kurang. Akhirnya yang terjadi mereka tidak sanggup untuk menahan diri dari dorongan untuk korupsi, menerima suap, sogok, dan berbagai bentuk korupsi lainnya, sehingga jatuh dengan tidak hormat. Ketidakmampuan menahan diri atau kebebasan yang semaunya tersebut justru telah menganiaya diri sendiri (zalim). Sehingga jika itu dilakukan oleh para pemimpin tentunya tidak hanya dirinya saja yang dianiaya, akan tetapi berefek domino bagi seluruh rakyat dan bangsanya.

Kalau kita mengkaji sejarah hampir semua malapetaka di bumi ini lantaran ketidakmampuan manusia untuk menahan diri sehingga timbul dorongan untuk serakah. Sejarah kolonialisme dan imperialisme, perang dunia I dan II, lahirnya para penguasa diktator, banjir, tanah longsor, dan berbagai bentuk bencana alam lainnya terjadi lantaran adanya sekelompok manusia yang serakah terhadap harta benda dan kekuasaan. Dalam kitab suci hal ini selalu diperingatkan, misalnya dalam kisah Firaun, kisah Abu Lahab, dan berbagai kisah lainnya. Namun sayang kitab suci tersebut jarang dibaca padahal diperintahkan untuk senantiasa dibaca, kalau dibaca paling banter hanya dijadikan “mantra-mantra” tanpa mau mengerti makna atau pesan yang disampaikan, sehingga manusia sering kali masuk lubang yang sama dan berulang-ulang.

Oleh karena itu agar manusia mampu menahan dirinya, kitab suci memerintahkan orang-orang yang beriman untuk berpuasa (QS Al Baqarah/ 2:183). Agar kesanggupan untuk menahan diri hadir dalam kehidupan maka perlu dilatih, dan pada bulan Ramadan hal tersebut dijadikan momentum untuk melatih diri. Orang yang mampu menahan diri pada dasarnya telah melakukan “jihad besar”, yakni “perang” dalam diri untuk melawan egoisme, mengendalikan naluri-naluri dan hawa nafsu, dan menyediakan tempat bagi rahmat dan kehendak Ilahi. Jihad untuk melawan diri sendiri dari kecenderungan diri untuk mengikuti hawa nafsu yang menarik manusia jauh dari pusat kemanusiaannya, mendorong manusia untuk menciptakan berhala-berhala baru baik yang berupa kekuasaan, kekayaan, pemikiran, maupun ambisi pribadi lainnya.

Dalam sebuah hadis Abu Hurairah Ra. dikatakan, “Tiap-tiap amalan anak Adam ialah untuknya kecuali puasa, maka sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Akulah yang akan memberi pahalanya.” (HR Bukhari & Muslim). Hadis tersebut memberikan informasi bahwa ibadah puasa hanyalah untuk Tuhan semata. Hal ini berbeda dengan ibadah infak atau sedekah, maka orang yang melakukan akan disebut sebagai dermawan, hal yang sama apabila melakukan ibadah haji, orang yang melakukan ibadah haji akan dipanggil dengan istilah “Pak Haji” atau “Bu Hajah”, akan tetapi tidak demikian dengan puasa tak ada sebutan untuknya.

Dalam puasa orang yang mengetahui hanyalah dirinya dan Allah saja, bisa saja di luar kelihatan puasa setelah masuk kamar makan. Namun karena keimanan meskipun tidak ada yang melihatnya tetap melakukan ibadah puasa lantaran Allah senantiasa melihat, menyertai, dan mengawasinya, sehingga sekecil apapun tak mau melanggar perintah-Nya (taat asas dan hukum). Hal ini akan memberikan dorongan bahwa di manapun dan kapan pun Allah akan senantiasa hadir dalam hidup dan kehidupan ini. Kesadaran adanya Allah inilah yang akan memotivasi seluruh gerak langkah yang dilakukan dalam hidup ini. Sebaliknya karena Allah pulalah kita berani untuk berkata tidak, menahan diri untuk tidak makan, tidak minum, tidak melakukan hubungan seks dari terbit fajar sampai tenggelamnya sang surya.

Kesadaran diri untuk menahan dari keinginan dan kesenangan yang dikehendaki oleh nafsu kendati mampu melakukannya merupakan bentuk kekuatan iradah. Sehingga orang berpuasa bebas dari pengabdian terhadap makan minum, seks, maupun kebiasaan hidup yang tak bermanfaat. Hal inilah yang merupakan kemerdekaan yang sebenarnya, tidak diperbudak oleh kekayaan (harta benda) sehingga melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Tidak diperbudak oleh kekuasaan sehingga melakukan money politic, sewenang-wenang, dan antikritik (oposisi), tidak diperbudak oleh ambisi-ambisi pribadi sehingga harus mengorbankan sesama.

0 comments:

Post a Comment