Redaksi Menerima kiriman tulisan baik opini, artikel dan lain-lain
Tulisan bisa dikirim via email ke alamat : pwkpii.mesir@gmail.com
Jazakumullah khairan katsiran

Thursday, 15 March 2012

Memahami akar perbedaan

Judul Buku          = Al-Inshof fi Bayani Asbab Al-Khilaf
Pengarang      = Waliyulloh Ad-Dihlawi
Jumlah halaman  = 104 + cover
Cetakan             = Pertama,  1431 H / 2010 M
Penerbit = Dar An-nafais,  Beirut,  Lebanon

Perbedaan adalah salah satu sunnatullah yang harus kita pahami dalam hidup di dunia ini. Semenjak kita lahir,  kita telah berada dengan memegang identitas dalam sekat perbedaan,  apakah itu perbedaan bangsa,  rasa,  suku,  agama,  Negara, dan lain-lain. Namun perbedaan tidaklah bermakna perpecahan,  justru perbedaan meniscayakan keaneka ragaman yang membuat hidup menjadi lebih indah dan bermakna dalam rumpun persatuan.


Foto : Fajrulislam.file.wordpress.com
Dalam islam,  kita mengenal mazhab-mazhab dan firqoh-firqoh yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam mazhab fiqhiyah kita mengenal 4 mazhab besar yang bertahan dari dulu hingga sekarang. Ada Mazhab Hanafi,  Maliki,  Syafi’I dan Hanbali. Masing-masing mazhab berbeda dalam cara penetapan sebuah hukum dengan mazhab lainnya,  walau perbedaan ini sifatnya Furu’iyah,  bukan perbedaan asasi. Perbedaan cara penetapan hukum ini berimplikasi terhadap berbedanya hukum serta konsekuensi yang ditimbulkan. Namun sayang perbedaan ini seringkali diikuti dengan sikap fanatik buta antara satu pengikut mazhab dengan mazhab lainnya hingga persatuan dan ukhuwah islam pun seringkali menjadi korban. Tak heran kalau Syekh Muhammad Abduh menggolongkan fanatisme mazhab sebagai salah satu penyebab utama mundurnya islam.

Salah satu cara untuk meminimalisir fanatisme mazhab adalah dengan cara memahami akar perbedaan pendapat itu sendiri. Sehingga kemudian para penganut mazhab bisa memahami kenapa ia berbeda dengan mazhab yang lain dan bahwa pendapat selain mazhab dia pun juga memiliki kebenaran sebagaimana mazhab yang ia ikuti. Pengetahuan dan pemahaman yang utuh terhadap akar perbedaan para ulama mazhab akan membawa para penganut mazhab untuk lebih toleran terhadap penganut mazhab lain sehingga ukhuwah islamiyah pun tetap terjaga. Hal inilah yang kemudian menginspirasi Syah Waliyulloh ad-Dihlawi untuk menulis sebuah risalah berjudul “ Al-Inshof fi bayani Asbab al-Khilaf “,  sebuah buku kecil yang menjelaskan sebab munculnya mazhab-mazhab fiqhiyah dalam islam serta bagaimana seharusnya sikap seorang muslim dalam menyikapi perbedaan mazhab tersebut.

Syekh Ahmad bin Abdurrahim yang lebih dikenal dengan Syah Waliyulloh ad-Dihlawi dilahirkan di Fulat sebuah daerah di dekat Delhi,  India, pada bulan Rabi’ul Awal 1114 H / 1702 M. Dan wafat pada bulan Muharram 1176 H / 1763 M pada usia 61 tahun.

Beliau dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang agamis dan sangat termasyhur dalam bidang keilmuan. Ayahnya adalah seorang ulama besar dalam bidang fiqh dan sufi. Ia hidup dalam keluarga yang memiliki tradisi keilmuan dan dakwah sampai hari ini. Dan Syah Waliyulloh ad-Dihlawi dalam kitabnya “ Al-Imdad fi Ma’tsar al-Ajdad “ pernah berkata bahwa nasabnya sampai ke Sayyidina Umar bin al-Khattab Ra.

Beliau hidup dalam kondisi dimana kebodohan dan fanatisme merajalela,  jihad sudah mulai ditinggalkan,  kezaliman didiamkan serta para penguasa dan rakyat yang berada dalam kerusakan. Kondisi inilah yang mendasari Syah ad-Dihlawi untuk lebih mengkonsentrasikan perjuangannya dalam hal menghidupkan kembali ruh perjuangan islam dalam setiap karyanya.

Menurut beliau  penyebab utamanya terbelakangnya umat islam di kawasan india adalah Bid’ah,  hingga kondisi ini harus segera diobati secepatnya. Maka beliau pun mulai berjuang untuk membersihkan ajaran islam dari bid’ah dan penyembahan terhadap berhala yang masuk ke islam sebagai implikasi dari kebiasaan penduduk india yang menyembah berhala dalam kurun waktu yang lama. Langkah awal yang beliau lakukan adalah menterjemahkan Al-qur’an ke bahasa farsi,  serta dakwah-dakwah islam lainnya.

Syah Waliyulloh ad-Dihlawi merupakan ulama yang lumayan produktif dalam menulis.  Tercatat puluhan kitab dalam berbagai disiplin ilmu. Namun yang termasyhur adalah karangan beliau yang berjudul “ Hujjatullah al-Balighah “ dimana beliau mengungkap rahasia-rahasia Syariat Islam serta dasar-dasar falsafah islam. Kitab ini sangat kuat dan kental nuansa ilmiah dan pemikirannya karena menggabungkan kekuatan hujjah Naql dan Aql.

Buku ini terdiri 5 bab ditambah dengan 2 buah catatan di akhirnya. Pada Bab pertama,  Syah ad-Dihlawi mengungkap sebab-sebab perbedaan pendapat para Sahabat Dan tabi’in dalam masalah Furu’. Di Awal bab,  beliau menyebutkan bahwa Perbedaan pendapat para Sahabat baru muncul setelah wafatnya Rasulullah. Pada waktu itu Fiqh belum lah menjadi sebuah disiplin ilmu yang terstruktur seperti sekarang. Dulu setiap ada masalah,  para sahabat akan bertanya kepada khalifah dan para sahabat lain yang sangat masyhur keilmuannya. Waktu itu,  semua ilmu agama ada dalam setiap hafalan di dada para sahabat.

Persoalan muncul dalam memahami hadist Rasulullah. Misalnya ketika ada sebuah hadist menggunakan lafaz perintah,  maka sebagian sahabat ada yang memahaminya sebagai perintah wajib,  sebagian lagi ada yang memahaminya sebagai sunnat dan ada yang memahaminya sebagai mubah. Belum lagi ketika ada yang memahami hukumnya sebagai nasikh atau mansukh. Nah dari sinilah awal mula terjadinya perbedaan pendapat.

Kemudian,  beberapa diantara sahabat pun berpencar-pencar ke beberapa daerah untuk menyebarkan islam. Dan mereka pun menjadi orang yang memberi fatwa dalam setiap masalah yang didatangkan padanya. Ketika datang sebuah pertanyaan,  mereka pun menjawabnya sesuai dengan hafalan dan pemahaman mereka. Dan ketika mereka tidak menemukan jawabannya dalam Al-qur’an dan Hadist,  mereka pun berijtihad sesuai dengan kemampuan mereka dengan cara menggali dan menangkap hikmah-hikmah yang terpendam dari setiap nash-nash al-qur’an dan Sunnah. Dari sinilah perbedaan pendapat tersebut mulai jelas terlihat dimana setiap daerah yang dihuni oleh sahabat berbeda satu dengan lainnya. Pada bab ini,  Syah Ad-Dihlawi mengungkapkan sekitar tujuh buah wilayah perbedaan yang terjadi antara satu daerah dengan daerah lainnya.

Pada bab kedua,  Syah Ad-Dihlawi  membahas tentang sebab perbedaan mazhab para Fuqaha’. Seperti kita ketahui bersama bahwa perbedaan mazhab tak lain adalah implikasi dari perbedaan pendapat para sahabat dan tabi’in di masing-masing daerah. Setiap daerah mempunyai ciri khas masing-masing,  dan waktu itu belum ada pengumpulan hadist dan hukum dari seluruh daerah yang ada. Maka ketika di sebuah daerah terdapat seorang Sahabat dan tabi’in,  maka penduduk setempat lebih memilih hukum dan hadits yang dikeluarkan oleh Sahabat dan tabi’in tersebut ketimbang sahabat dan tabi’in di daerah lain. Maka pendapat tabi’in seperti Said bin Musayyab,  lebih dipakai oleh penduduk mekah.  Pendapat Atho’ bin yasar,  Qasim,  Zuhri dan semisal mereka lebih dipakai oleh penduduk madinah. Pendapat Syuraih,  Sya’bi,  Ibrahim lebih dipakai oleh penduduk Kufah. Implikasi dari pemilihan tersebut menjadi sebab utama munculnya mazhab Fiqh dalam Islam. Seperti Imam Abu Hanifah yang memakai pendapat Ibrahim An-Nakh’i,

Sebab lain yang mendasari perbedaan mazhab adalah metode pengambilan hukum serta kaedah-kaedah hukum yang muncul lewat proses ijtihad para ulama mazhab tersebut. Hal ini dijelaskan dengan sangat gamblang oleh Syah Ad-Dihlawi pada bab dua ini.

Pada Bab ketiga,  masalah fokus pada perbedaan pendapat antara Mazhab Ahlil Hadits dan Ahlul Ra’yi. Seperti diketahui bahwa dulu terdapat dua madrasah besar yaitu Madrasah Ahlul Hadits di Madinah dan Ahli Ra’yi di Basrah. Salah sebabnya adalah  karena Madinah merupakan pusat peradaban Islam dan disana masih banyak terdapat para penghafal hadits sehingga jarang sekali berijtihad. Adapun di Basrah,  para penghafal hadits tidaklah begitu banyak,  sehingga ketika ada sebuah masalah dan tidak ada keterangan dari Hadist yang dihafal oleh para Sahabat dan Tabi’in,  maka mereka akan berijtihad. Disamping itu,  pada masa tersebut,  pemalsuan hadist sudah mulai terjadi sehingga mereka sangat ketat dalam menyeleksi keotentikan sebuah hadits.

Pada bab keempat,  Syah Ad-Dihlawi lebih fokus kepada perbedaan yang terjadi di dalam satu mazhab,  dan mulai adanya pengelompokan Mujtahid kepada Mujtahid Mustaqil,  Mujtahid Mutlaq,  Mujtahid Mazhab dan lain-lain. Bermazhab bukan berarti lantas taqlid. Bahkan ketika para pemegang mazhab telah mempunyai kemampuan dalam berijtihad,  maka mereka akan berijtihad. Maka kita temukan banyak sekali mujtahid yang berbeda ijtihad dengan ijtihad imam Mazhabnya. Seperti Abu yusuf,  Muhammad bin Hasan dan Zafar di mazhab Hanafi,  Ibn Abdil Barr dan Ibnul Arabi di mazhab Syafi’i,  Imam Bukhori dan  At-Thobari dalam Mazhab Syafi’i serta Ibn Taymiyah dalam Mazhab Hanbali.

Pada bab kelima,  Syah Ad-Dihlawi menceritakan secara singkat kondisi Umat Islam Paska Kurun keempat dimana mazhab sangat berkembang namun menimbulkan efek Fanatik yang berlebihan dalam diri penganutnya. Kondisi ini tak jarang menimbulkan konflik yang melemahkan islam dari dalam,  sehingga pengtahuan yang utuh terhadap sebab timbulnya perbedaan adalah hal yang mesti diketahui oleh setiap Muslim.

Di Akhir Buku,  Syah Ad-Dihlawi menceritakan kondisi dan implikasi taklid serta fanatisme buta terhadap mazhab. Bagaimana dulu para Imam Mazhab selalu mewanta-wanti murid-muridnya untuk tidak fanatik kepada pendapat mereka. Di Bab ini,  Syah ad-Dihlawi meriwayatkan beberapa kisah yang dialami oleh para Imam Mazhab dimana mereka beramal dengan pendapat mazhab lain. Bermazhab semestinya memudahkan Muslim untuk beribadah,  namun ketika itu disertai dengan kefanatikan makan akan menggoncang kesatuan dan ukhuwah umat islam.

Kelebihan buku ini adalah,  logika dan alur penulisan buku ditulis secara runut,  sehingga memudahkan kita untuk  memahami inti dari persoalan yang ditulis oleh pengarang yaitu bagaimana kita bisa insyaf serta memahami perbedaan pendapat ini seutuhnya. Selain itu,  buku ini juga disertai beberapa penjelasan tentang sanad dan derajat sebuah hadits yang dipakai sebagai dalil maupun contoh. Tak ketinggalan referensi yang beliau tuliskan dalam catatan kaki sehingga memudahkan pembaca untuk merujuk dan men-cek kebenarannya. Apalagi dengan fakta bahwa buku ini telah dibaca dan dikasih pujian oleh seorang Ulama besar asal Syria,  Syekh Abdul Fattah Abu Guddah, sehingga menjadikan buku ini sangat penting dibaca oleh Umat muslim dalam upaya memahami dan menghargai perbedaan.

Sayangnya,  ada beberapa riwayat dan hikayat yang dibawakan oleh Pengarang namun tidak disertai sumber sehingga kita mungkin harus mempertanyakan lagi status keotentikannya,  seperti kisah Imam Syafi;i yang tidak Qunut Subuh karena menghormati Imam Abu Hanifah dan beberapa hikayat lainnya. Namun demikian,  kekurangan ini tidaklah menjadikan nilai buku ini menjadi kurang. Sungguh,  untuk sebuah buku yang bisa memberikan kita penjelasan sederhana namun lengkap tentang perbedaan dalam masalah furu’iyah islam,  buku ini sangat luar biasa. Sangat direkomendasikan kepada umat muslim untuk membacanya. Buku ini bisa didapatkan di Toko Buku Darus Salam dengan harga 7 Pound Mesir.

Wallahu A’lam

0 comments:

Post a Comment