 “Akibat  keberhasilan suatu sistem ternyata lebih berbahaya daripada dampak  kegagalannya. Bahayanya terletak pada model kemajuan Barat. Kemajuan  yang tidak peduli apakah itu diwakili Kapitalisme, yang melahirkan  berbagai perang dan krisis intern, atau Sosialisme Soviet, yang dengan  model yang sama mendera rakyatnya, memeras Dunia Ketiga dan melahirkan  persaingan senjata serta kekuasaan.” (Roger Garaudy).
“Akibat  keberhasilan suatu sistem ternyata lebih berbahaya daripada dampak  kegagalannya. Bahayanya terletak pada model kemajuan Barat. Kemajuan  yang tidak peduli apakah itu diwakili Kapitalisme, yang melahirkan  berbagai perang dan krisis intern, atau Sosialisme Soviet, yang dengan  model yang sama mendera rakyatnya, memeras Dunia Ketiga dan melahirkan  persaingan senjata serta kekuasaan.” (Roger Garaudy).
Roger  Garaudy adalah ‘juru bicara’ Islam bagi orang-orang Barat. Sesuatu yang  membuat masyarakat Barat merasa heran, jengah, dan marah.“Dari  semenjak berabad-abad, Barat menyalah fahamkan Islam, dan menganggapnya  sebagai musuh yang sangat berbahaya. Sekarang juga kebangkitan Islam dan  naik turunnya ajakan kepada Syari’at sering menimbulkan rasa curiga dan  gelisah. Sikap semacam itu terhadap yang dianggap orang biadab dari  Timur telah membenarkan serbuan-serbuan kolonial dan imperial Barat yang  beragama Kristen dengan membebaskan mereka dari mengakui kejahatan dan  tanggung jawabnya.”Demikian antara lain, tertulis pada sampul  buku Roger Garaudy, Promesses de l’Islam yang diterjemahkan Prof. DR.  H.M. Rasjidi menjadi Janji-Janji Islam (di-terbitkan pertama kali tahun  1982 oleh Pe-nerbit Bulan bintang, Jakarta).
 Masih  pada sampul buku tersebut, dikatakan bahwa Roger Garaudy menentang  keras sikap membuta-tuli Barat yang mencelakakan itu serta mengajak  kepada musyawarah yang sehat antara peradab-an-peradaban yang merupakan  saudara dalam sejarah. Ia mengingatkan utang budi Barat kepada Islam  yang tak putus-putusnya memberi bahan dan menyuburkan seni, filsafat,  begitu juga sains, teknik, hukum dan sastra. Dalam beberapa hal, Timur  lebih maju dari Barat yang belum cukup beradab. Dalam pertempuran  Poitiers, yang lebih biadab barangkali bukan yang dikalahkan oleh  Charles Martel (ta-ngan kanan raja Spanyol, Frank, yang mengalahkan  tentara Islam di Poitiers pada tahun 1732).
Masih  pada sampul buku tersebut, dikatakan bahwa Roger Garaudy menentang  keras sikap membuta-tuli Barat yang mencelakakan itu serta mengajak  kepada musyawarah yang sehat antara peradab-an-peradaban yang merupakan  saudara dalam sejarah. Ia mengingatkan utang budi Barat kepada Islam  yang tak putus-putusnya memberi bahan dan menyuburkan seni, filsafat,  begitu juga sains, teknik, hukum dan sastra. Dalam beberapa hal, Timur  lebih maju dari Barat yang belum cukup beradab. Dalam pertempuran  Poitiers, yang lebih biadab barangkali bukan yang dikalahkan oleh  Charles Martel (ta-ngan kanan raja Spanyol, Frank, yang mengalahkan  tentara Islam di Poitiers pada tahun 1732).
Roger  Garaudy, boleh jadi, membuat Barat marah, karena ia memandang peradaban  Barat sedang mengarah pada kehancuran; sebuah ‘ramalan’ yang sebenarnya  juga sudah dikemukakan sejak jauh-jauh hari antara lain oleh para  sejarawan seperti Oswald Spengler (Prusia) dan Arnold Toynbee  (Inggris).ramalan-ramalan’ (ilmiah) itulah pula, agaknya, yang kemudian  melahirkan tesis Huntington yang terkenal, The Clash of Civilizations  (bentrok antar peradaban), yang menempatkan Islam sebagai salah satu  ancaman bagi peradaban Barat.
Dan, bukan tidak mungkin,  ramalan-ramalan ilmiah itulah yang mengendap di kepala George Bush  junior dan kawan-kawan, yang akhirnya mengilhami mereka untuk menyatakan  perang terhadap dunia Islam, dengan selubung perang melawan  terorisme.Hal seperti itu tentu bisa membuat Roger Garaudy menangis,  seandainya ia bisa menyaksikan di alam kehidupannya yang baru.Lalu,  siapakah sebenarnya Roger Garaudy? Di bawah ini adalah sebagian dari  biografinya, yang bersumber dari pengungkapannya sendiri.
Terjebak di tengah krisis
Saya  seorang filsuf Prancis yang di-anggap terkemuka. Semula nama saya Roger  Garaudy, setelah menjadi muslim, nama itu saya ubah menjadi Raja  Jaraudy. (Dalam bahasa Arab, raja’ berarti harapan).
Tahun  itu, 1933, Eropa sedang ter-puruk dalam krisis besar, yang baru reda  pada tahun 1939. Saya masih seorang pelajar ketika menyaksikan Hitler  naik ke puncak kekuasaan. Krisis tersebut mendorong saya masuk Kristen  (sebelumnya atheis). Mengapa?
Kristen adalah pilihan  pertama, dengan harapan saya bisa menemukan arti hidup di sana, karena  saat itu kami, orang-orang Eropa, yakin bahwa kami sedang menyaksikan  akhir dunia karena krisis yang teramat hebat itu. Pada saat yang sama,  saya juga melihat Komunis sebagai topangan lain. Komunis saya lihat  sebagai satu-satunya pilihan untuk dapat lolos dari krisis tersebut, dan  karena di mata saya Komunis adalah front terbaik untuk menghadang  Nazisme Hitler.

Di Prancis, misalnya, kebanyakan penulis, seniman,  para dosen universitas, serta para pemenang hadiah Nobel, semua menjadi  anggota Partai Komunis, atau sedikitnya menjadi para sahabat Komunis.
Kegiatan  saya waktu itu akhirnya menyeret saya masuk ke tahanan. Saya terjeblos  ke penjara pada tahun 1940, dan masih dikurung sampai akhir Perang  Du-nia ke-II, di sebuah kamp yang terletak di sebuah gurun Aljazair  (jajahan Prancis). Di sinilah saya alami kejadian aneh. Ketika itu saya  memimpin pemberontakan dalam kamp, yang membuat saya ditangkap dan  disidang, lalu harus menerima vonis hukuman tembak. Komandan pasukan  Prancis menyerahkan saya kepada para serdadu muslim Aljazair, untuk  dieksekusi.
Perjalanan menuju Islam
Bukunya yang membuat Israel marah: Mitos-mitos di Balik Pendirian Negara Israel.
Saya  terkejut ketika mereka menolak mengeksekusi saya. Mereka mengajukan  beberapa alasan yang tidak saya pahami, karena mereka bicara dalam  bahasa Arab. Baru belakangan, melalui teman berkebangsaan Aljazair, saya  mengetahui bahwa alasan mereka tak mau menembak saya adalah karena  mereka muslim. “Sebagai muslim, mereka tidak mau menembak orang yang  tidak berdaya.” 
Itulah perkenalan pertama saya dengan Islam, dan itu  memberikan pengalaman yang saya rasa lebih berharga daripada yang pernah  saya terima di Sorbonne (nama salah satu gedung di universitas Paris  yang terkenal, sehingga seolah merupakan nama universitas itu sendiri).Setelah  bebas, saya masih tinggal di Aljazair selama setahun, dan selama itulah  saya bertemu dengan orang berpribadi besar, yang sangat mempengaruhi  pikiran saya. Dia seorang pemimpin muslim bernama Syaikh Al-Basyir  Al-Ibrahimi, yang ketika itu menjadi Ketua Liga Sarjana Muslim Aljazair.
Saya  menemui beliau ditemani Ammar Ozijan, penulis buku The Best Holy War.  Di markas beliau, saya melihat sebuah foto besar. “Ini foto Amir Abdul  Qadir Al-Jaziri,” katanya, “seorang musuh Prancis, dan merupakan seorang  pahlawan besar abad 19.”Pelajaran tentang Islam yang saya terima  dari beliau adalah perekenalan kedua saya dengan Islam. Perkenalan yang  ketiga terjadi setelah perang Aljazair.
Saya  menganggap Aljazaiar tanah air kedua setelah Prancis. Di sana saya  menjadi orang yang anti-(politik)-Prancis. Saya menulis banyak artikel  yang mengungkapkan penindasan dan tindakan-tindakan keji tentara  Prancis.
Perubahan itu tentu saja tidak mendadak,  tapi ternyata sangat efektif sejauh menyangkut kepercayaan dan jalan  pikiran kaum pelajar serta para pekerja di tengah rakyat.Saat itu  saya menjadi profesor sebuah universitas, tapi saya justru memetik  pelajaran berharga dari para pelajar dan pekerja; yaitu bahwa akibat  keberhasilan suatu sistem ternyata lebih berbahaya da-ripada dampak  kegagalannya. Bahayanya terletak pada model kemajuan Barat. Ke-majuan  yang tidak peduli apakah itu diwa-kili Kapitalisme, yang melahirkan  berbagai perang dan krisis intern, atau Sosialisme Soviet, yang dengan  model yang sama mendera rakyatnya, memeras Dunia Keti-ga dan melahirkan  persaingan senjata serta kekuasaan
.
Ingat saja slogan-slogan Stalin  dan penggantinya, Kruschev, yang memusatkan perhatian pada kepentingan  pemburuan dan persaingan (Sosialisme) dengan Kapitalisme. Saya tidak  tahu Sosialisme apa namanya ini.
Ketika saya membuka mata  lebih lebar, saya pun yakin dengan metode kemajuan dan perkembangan  seperti itu a-dalah mustahil mewujudkan ajaran Sosialis. Sosialisme yang  dicanangkan Soviet itu tidak akan pernah terwujud di suatu bagian dunia  mana pun. Saya, akhirnya, keluar dari Partai Komunis.Itu terjadi tahun  1970.
Pergaulan yang lama dan terakhir dengan Islam  bermula di tahun 1968, ketika – menurut keyakinan saya – gejala pertama  dari suatu perubahan di tengah-tengah orang Eropa secara umum, dan dalam  politik Prancis khususnya, mulai kelihatan.Setelah itu, saya bekerja  sama dengan sejumlah pejabat UNESCO (United Nations Educational,  Scientific and Cultural Organization), mendirikan The institute for the  Dialogue among Civilizations (Yayasan Internasional untuk Dialog antar  Kebudayaan). Tujuannya adalah menyoroti peran-an negara-negara non-Barat  dan sumbangan-sumbangan mereka bagi kebudayaan dunia, sehingga dalam  soal ini tidak bisa hanya stempel Barat saja yang harus diakui, yang  menyebabkan orang-orang Barat muncul sebagai orang-orang super (unggul).
Saya  menerbitkan sejumlah buku penunjang kegiatan itu, untuk membuktikan  bahwa kebudayaan Barat, yang menon-jolkan individualisme, telah  menjauhkan nilai kemanusiaan dari diri manusia sendiri, memisahkannya  dari keagungan ruhaniah, merampasnya dari rasa kemasyarakatan, dan  meletakkan suatu bentangan di antara sains dan teknologi di satu sisi  dan sains dengan akal di sisi yang lain. Itu kuno, dan karena itu tidak  diperlukan lagi pada masa sekarang
.
Saya juga menerbitkan beberapa  buku yang menentang pengakuan mereka bahwa negara-negara lain tidak  punya andil dalam kebudayaan Barat. Salah satu di antaranya adalah buku  berjudul The Glad Tidings of Islam (Berita-Berita Gembira Islam), dan  sebuah buku berjudul Islam Dwells in our Civilization (Islam Menetap  dalam Kebudayaan kita). Dengan demikian, anda dapat melihat betapa  dekatnya saya dengan Islam, dan bagaimana saya telah menempuh perjalanan  panjang me-nuju Islam.
Pertemuan intuisi dan akal
Jika  saya mengenang kejadian-kejadian yang berkenaan dengan pengalaman  pribadi saya, dapat saya kemukakan bahwa yang paling mengganggu adalah  pencarian saya atas titik temu antara intuisi (ilham; naluri) dan akal.  Al-hamdu lillah, Islam menjamin saya untuk mencapai titik temu keduanya.
Ketika  peristiwa-peristiwa dunia telah membutakan dan menekan, melahirkan  sejumlah kemajuan dan kekerasan, Al-Qurãn mengajar kita untuk merenungi  dunia ini dan kemanusiaan, sebagai suatu kesatuan. Sehingga, dengan  demikian, peran yang dimainkan manusia mempunyai beberapa makna. Jika  kita melupakan Allah, kita menjadi budak yang bertindak sebagai alat  kepentingan luar. Sedangkan dengan mengingat Allah – dalam shalat, kita  mendapatkan kesadaran tentang status dan fitrah kita, yang merupakan  alasan keberadaan kita.
Al-Qurãn mengimbau untuk  memandang segala hal dengan segala kejadian sambil menghubungkannya  dengan Pencipta, dan sebagai lambang kenyataan yang buktikan bahwa  Dialah yang telah membuat peraturan yang unik ini, yang mengendalikan  alam dan manusia.Sifat dasar agama (Islam) ini adalah kerjasama dan  persatuan berdasar kehendak Allah, dan (ajaran bahwa) kepadaNya akhirnya  kita kembali.Hal yang menyebabkan manusia menjadi manusia adalah  kemungkinannya untuk mencapai nilai-nilai yang dirancang Allah. Dia bisa  mematuhi perintah Allah atau menentangnya. Islam tidak merecoki  makhluk-makhluk lain seperti tumbuhan, hewan, dan barang-barang yang  tidak bisa bebas dari aturan yang mengendalikan mereka. Kita tahu, hanya  manusia yang bisa membantah.
Manusia bisa menjadi seorang muslim  menurut kemauan bebas serta pilihannya, ketika ia menyadari sistem yang  menyatukan alam ini. Manusia bertangung jawab sepenuhnya terhadap  nasibnya sendiri, sebagaimana ia mempunyai kemampuan untuk menentang  atau patuh terhadap tuntunan-tuntnan Allah.
Sejarah dari sudut persatuan
Dari  suatu seminar yang diadakan UNSECO (ia tidak menyebut tahunnya) di  Paris, yang mengambil tema Dapatkah Islam Memimpin Masa Depan Barat?,  saya mengajukan kemungkinan untuk membaca sejarah dari sudut pandang  persatuan. Yaitu bahwa Nabi Ibrahim, Isa, dan Muhammad saw, satu sama  lain, saling menguatkan.
Dengan cara pandang itu, saya  menegaskan bahwa setiap rasul yang diutus Allah telah meletakkan dasar  bagi rasul yang menggantikannya. Allah memilih Nabi Muhammad sebagai  penutup para rasul dari agama-agama wahyu itu. Ini berarti bahwa Islam  telah sempurna dengan turunnya Al-Qurãn, yang di dalamnya menyebutkan  bahwa semua rasul adalah muslim.
Islam adalah  satu-satunya agama yang mengakui agama-agama terdahulu, dan menganggap  semua rasul sebagai muslim. Nabi Muhammad tidak mengatakan bahwa ia  membawa ajaran baru. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa ia diutus untuk  mengembalikan manusia pada agama Ibrahim; dan menerangkan bahwa ajaran  agama-agama terdahulu telah dipu-tarbalik oleh Yahudi.
Dua pilihan manusia
Seperti  telah saya ungkapkan, kini kita sedang berhadapan dengan berbagai  kebebasan lain dan bentuk negara lain, yang bisa kita tegakkan. Saya  yakin bahwa kini cuma ada dua pilihan bagi manusia.
Manusia  bisa berdiri di baris terdepan di depan makhluk hidup yang lain,  sebagai binatang yang lebih maju; yang bedanya dengan makhluk-makhluk  lain adalah karena ia mempunyai sel-sel otak yang lebih banyak, dan  tangannya lebih trampil, jika dibandingkan dengan hewan. Itu semua  adalah alat baginya untuk bersaing dengan sesamanya, untuk memuaskan  nafsu kehewanannya. Mereka berlomba-lomba berebut makanan, membuat  rumah, dan alat-alat untuk membela diri. Tapi, mereka akan tetap sebagai  hewan yang memproduksi peralatan, senjata-senjata untuk dirinya  sendiri; dan kebebasannya bisa diukur dalam hubungan dengan besarnya  kemampuan untuk berkembang, serta kekuasaannya atas alam dan sesamanya.  (Itu pilihan yang pertama).
Pilihan kedua adalah bahwa perbedaan  antara manusia dengan hewan tidak terletak pada kemampuan dasarnya untuk  menghasilkan peralatan dan senjata, tapi pada kemampuannya untuk  bergerak dari fase (tahap) kekinian ke fase abadi, dari fase tindakan ke  fase pengertian tentang hidup dan mati, yang dengan itulah manusia  menjadi beda dari makhluk-makhluk lain.
Membendung kampanye zionis
Tentang  maksud saya mendirikan The International Institute for the Dialogue  among Civilizations adalah untuk mem-bendung kampanye Zionis yang sangat  terorganisir dengan baik di Barat, yang tentu berusaha menjegal  tumbuhnya pengertian yang benar terhadap Islam. Yaya-san yang kami  dirikan itu meliputi usaha-usaha seperti berikut:
Pertama,  untuk memulai pekerjaan itu dengan mengarang dua buku sebagai langkah  awal, yang salah satunya telah diterbitkan dengan judul The Glad Tidings  of Islam, yang di dalamnya saya berusaha mengemukakan kenyataan bahwa  Zionis menemui kegagalannya di Barat kini, da-lam mempropagandakan  pengakuan-pengakuan bersifat dongeng yang memutar balik fakta, untuk  membuktikan bahwa me-reka adalah “manusia pilihan Tuhan”, dan bahwa  Palestina adalah “tanah yang di-janjikan” bagi mereka, sehingga karena  itu mereka secara leluasa menginjak-injak hak-hak bangsa Palestina.
Dongeng  Zionis mengajukan pernyataan sejarah dalam Perjanjian Lama untuk  menunjang politik ekspansi (perluasan wi-layah) mereka (untuk mendirikan  apa yang mereka sebut The Kingdom of David – Kerajaan Daud, yang dalam  dokumen The Zionist Protocol sebenarnya meliputi se-luruh dunia). Mereka  tidak hanya akan mencaplok daerah-daerah dari Sungai Nil hingga Selat  Dardanela, tapi juga Terusan Suez, daerah Teluk, dan juga Maroko,  seperti dikatakan Ariel Sharon.▲
(Diterjemahkan dari majalah Kedubes Malaysia, Islamic Herald a PERKIM bimonthly magazine, volume 8, 1984).
Monday, 26 March 2012
Roger Garaudy, Juru Bicara Islam di Barat
Subscribe to:
Post Comments (Atom)

 






 
 


0 comments:
Post a Comment