Redaksi Menerima kiriman tulisan baik opini, artikel dan lain-lain
Tulisan bisa dikirim via email ke alamat : pwkpii.mesir@gmail.com
Jazakumullah khairan katsiran

Friday, 17 June 2011

Memaknai Kedermawanan


Pak Udin,begitu kami biasa memanggilnya.Umurnya sudah cukup tua,mungkin lebih dari 50 tahun.Aku sendiri tak tahu pasti berapa tepatnya,namun dari cara berjalannya yang sudah mulai goyah,kulitnya yang kelihatan lunak dan keriput serta guratan wajahnya yang lelah, aku yakin bahwa tebakanku tentang umur nya tidak terlalu jauh meleset.
Pak Udin tinggal di rumah sangat sederhana bekas perumahan jatah untuk kepala SLTP di Kecamatanku.Rumah berukuran 6 x 9 meter itu ditempati pak udin beserta istri dan anak-anaknya yang berjumlah 3 orang.Kebetulan rumah jatah tersebut sudah lama tidak dihuni oleh Kepala SLTP yang bertugas.Yang kutahu beberapa kepala SLTP terakhir yang ditugaskan kesini,lebih memilih untuk tinggal di rumah kontrakan ketimbang menghuni rumah “resmi” ini.Daripada rumah ini tertinggal tak berpenghuni dan akhirnya akan menjadi sarang jin,Pak Udin pun menawarkan diri untuk menghuni rumah tersebut.Gayung pun bersambut,pihak SLTP setuju dan menerima “proposal” pak Udin untuk tinggal disana.
Sehari-harinya pak Udin bekerja menjual kacang rebus.Jam kerjanya dari habis Ashar sampai jam 12 malam.Pagi harinya ia kerja menjadi buruh di salah satu sawah milik orang kaya dikampungku.Terkadang beberapa kerja sampingan pun dilakoninya untuk menambah penghasilan keluarga.Pernah kulihat ia menjadi salah satu buruh dalam proyek pembangunan jalan di desaku,dilain waktu aku pun pernah melihatnya mengangkut gerobak beras di pasar.Kehidupan nya yang miskin ditambah dengan 3 orang anaknya yang masih dalam bangku pendidikan,membuatnya harus bekerja sangat keras untuk memenuhi kebutuhan tersebut meskipun umurnya sudah terlalu tua untuk melakoni pekerjaan itu.
***
Malam itu ,dipertigaan jalan tempat biasanya para penjual makanan ringan berjejeran,kulihat wajah pak Udin tampak murung.Ada gurat kesedihan yang memancar dari wajahnya yang tua itu.Aku pun lantas mendekati gerobak kacang rebus miliknya.Kepulan asap lembut dan harum khas kacang rebus pun sontak menyapa hidungku.”Pak bungkusin kacangnya satu dong ! ” sapaan ku membuyarkan lamunannya,entah apa yang sedang dipikirkannya,tapi sangat jelas wajahnya memancarkan kesedihan.
Rupanya malam itu,tak banyak uang yang diperoleh Bapak 3 anak tersebut.”Bahkan untuk modal saja belum cukup” lirihnya sembari memasukkan kacang rebus kedalam kantong plastik.Tanpa banyak pikir,aku pun menambah pesananku  5 kantong lagi.Pikirku sambil menolong Jualannya Pak Udin,toh nanti malam kacang ini bisa menjadi konsumsi saat menonton pertandingan Final Liga Champion dengan beberapa orang temanku.Pak Udin pun tersenyum mendengar pesananku sembari berucap syukur.Tapi tetap saja belum menghilangkan gurat murung di wajahnya. Lukisan di wajahnya itu yang memaksa aku untuk lebih lama lagi di tempat itu, namun bukan untuk menambah pembelian jumlah kacang. “Sudah berapa banyak terjual malam ini Pak?” tanyaku mengagetkannya. Nampaknya ia tak menyangka mendapat pertanyaan itu.
Pak Udin kelihatan berpikir sebentar.Lantas kemudian berkata ” Kebetulan 3 hari belakangan penjualan bapak berkurang nak,cuma uang kembali modal yang bisa dibawa pulang,kalaupun ada lebihnya itu pun sangat sedikit,tapi…” Pak Udin menghentikan kalimatnya dan tertunduk sesaat.Seakan tersadar aku sedang memperhatikan wajahnya,buru-buru ia menegakkan kepalanya dan memaksakan senyum pada wajahnya.
“Kenapa Pak? Kok sedih,” aku lihat dengan jelas ia sangat bersedih dan menduga kesedihan itu dikarenakan sedikitnya keuntungan yang diperolehnya tiga malam terakhir. Namun ternyata dugaanku salah. “Bukan itu nak, biar cuma jualan kacang rebus dan hidup sederhana ,Bapak merasa sebagai orang berpenghasilan. Bapak nggak mau dianggap orang lemah, dan oleh karena itu bapak selalu menyisihkan sedikit dari keuntungan berjualan kacang rebus untuk zakat atau sedekah ke orang yang lemah dan membutuhkan…”
Aku terkejut mendengar jawabannya,nyaris tak ada kata yang bisa terucap dari mulutku saat mendengar alasannya.Aku hanya bisa pamit pulang pada beliau.Aku  lantas paham apa yang disedihkan oleh Pak Udin,dengan penjualannya yang tanpa keuntungan,bagaimana ia bisa berinfak ?.
“Entah berapa yang bisa bapak sedekahkan dari sedikit keuntungan bapak malam ini ?” Kalimat terakhir yang menohok makna kedermawanan yang selama ini ku pahami.Kalimat itu pula yang membayangiku sepanjang malam.Final Liga Champion pun tak menarik lagi…

*Oleh : Zamzami saleh

0 comments:

Post a Comment