Redaksi Menerima kiriman tulisan baik opini, artikel dan lain-lain
Tulisan bisa dikirim via email ke alamat : pwkpii.mesir@gmail.com
Jazakumullah khairan katsiran
Showing posts with label Cerpen. Show all posts
Showing posts with label Cerpen. Show all posts

Thursday, 22 March 2012

Menggapai Cita dan Asa ; sebuah sketsa

Ilustrasi
Oleh : Abdurrahman Muhammad


Mesir adalah negeri yang menjadi impianku sejak masih duduk dibangku Aliyah, dimana ada Azhar yang sangat dikenal orang karena kualitas manusia yang dilahirkan olehnya. Memang,universitas Al-Azhar sudah tidak asing lagi di telinga kita karena ia adalah universitas tertua di dunia. Bagi mahasiswa indonesia yang kuliah disini, mesir merupakan negera kedua dan Azhar adalah rumahnya. Jadi, dengan dibekali keinginan dan tekad yang kuat ditambah sedikit kemampuan akhirnya aku bisa sampai juga di bumi kinanah ini. Rasa gembira di hati tidak bisa lagi di ungkapkan, hanya dengan ucapan Alhamdulillah dan rasa syukur yang bisa aku persembahkan kepada Allah, karena memang diri ini tidak sanggup lagi untuk mengekspresikannya.

Di negeri inilah aku dan kalian akan memulai kehidupan yang sebenarnya, yaitu ingin menjadi seorang pemuda yang ideal dan pulang seperti apa yang diharapkan masyarakat terhadap kita. Namun di negeri ini pula kita dihadapkan dengan berbagai permasalahan baru yang memang sebelumnya tidak pernah kita temukan. memang ini sudah di era modern dimana tekhnologi sudah berkembang. Internet contohnya, sesuatu yang sangat wajib untuk kita miliki saat ini supaya dalam hidup tidak ketinggalan informasi. Lalu ada  facebook yang menjadi sarana paling penting dalam kehidupan kita sehari-hari untuk berkomunikasi dan menyambung silaturrahmi. Tapi sayangnya, banyak yang tidak bisa mengatur waktu sehingga berjam – jam di depan komputer hanya untuk balas komen dan duduk tersenyum. Siapa yang salah disini ? Apa harus kita tinggalkan internet-an atau facebook-an?

Jujur mungkin jawaban pribadiku adalah Tidak. Aku tak sanggup berpisah denganmu facebookku. Namun apakah dengan semuanya itu tidak akan buat kita terlena ? Apa masih ada dihati kita cerita tentang tujuan utama kaki ini berpijak di bumi para nabi ?

Di kesunyian malam, sejenak diri ini berdiam memikirkan ketidakjelasan masa depan yang selalu di tersayatkan dan buramnya masa lalu yang menghantui. Padahal hati ini selalu berharap ingin jadi seorang pemuda yang ideal. Apa engkau punya saran kawan?

Inilah namanya perjuangan jawab hatiku, pasti ada tantangan yang harus dilalui dan tantanganku adalah melawan arus modern tanpa harus ku terbawa arus. Apalagi sekarang aku hidup dimasa muda, yaitu masa yang hidup diantara dua masa yang lemah, dimana masa yang penuh dengan keemasan dan kejayaan dan masa yang akan dimintai pertanggung jawaban khusus kelak di akhirat.

Aku teringat akan sepenggal  syairnya bang Rhoma irama yang dikatakan Ikal dalam Film sang pemimpi “masa muda, adalah masa yang berapi api” perkataan presiden Soekarno dalam pidatonya “ambilkan kepadaku sepuluh orang pemuda maka akan kugoncangkan dunia”, bukankah semuanya  ini merupakan kata – kata motivasi buatku untuk bergerak dan tidak lupa akan tujuan utamaku pergi ke negeri seribu menara ini ?

 “Aku pasti bisa” batinku berucap. Aku harus terus bergerak untuk maju. Jangan terlena dengan keadaan dunia yang sudah semakin tua. Aku harus terus dan terus berpacu, selalu dan selalu. Aku harus yakinkan jiwa ini kalau pemberhentian itu tidak disini, istirahat itu tidak disini, tapi disana di puncak obsesi dan kemuliaan.

Hari berganti hari, aku masih tetap dalam perjuangan ini. Meskipun banyak mahasiswa indonesia disini tapi tetap yang menentukan pribadiku adalah diriku sendiri. Mereka hanya membantuku dalam mengarungi samudera ini, karena memang kita memiliki tujuan yang sama, tapi tetap kesuksesanku ada pada diriku. Aku yang harus menyikapi dan aku yang bertanggung jawab karena ini untuk masa depanku.

Sampai sekarang aku belum bisa berbuat apa – apa. Paling tidak dalam hal ini, agar hidupku bisa lebih bermakna dan bisa memaknai masa – masa indah yang sangat penting ini, yaitu masa mudaku agar bisa menjadi lebih bagus. Mungkin langkah terbaik yang harus aku ambil adalah dengan belajar dari orang – orang yang lebih dahulu hidup, mendengar nasehat mereka, meminta pendapat mereka tentang bagaimana menjadi seorang pemuda muslim yang ideal agar bisa aku terapkan dalam kehidupanku. Dan jika sekiranya aku belum bisa setidaknya aku sudah tahu, karena dalam hal ini tahu lebih bagus daripada tidak tahu sama sekali. Bisa jadi pedoman kalau ingin melangkah dan masih ada kesempatan sebelum melenceng jauh.

Jadi mari kita coba menoleh sejenak ke belakang. Belajar dari sejarah bagaimana pandangan seorang pemuda sukses luar biasa yang bisa memberikan inspirasi kepada banyak manusia dalam menemukan tujuan hidupnya ; Imam Hasan Al Banna. Menurutnya,  ada empat kriteria pemuda pahlawan, yaitu keimanan, keikhlasan, semangat dan amal. Keimanan itu terbit dari hati yang cerdas, keikhlasan berasal dari nurani yang suci, semangat berasal dari perasaan yang menggelora dan kerja yang tak pernah henti berasal dari tekad yang kuat. Semoga Allah memberikan kita kehormatan mendapatkan sifat-sifat tersebut.

Sastrawan Pakistan, Muhammad Iqbal, pernah menuliskan dengan indah sifat-sifat seorang pemuda muslim ideal yang penuh kepahlawanan. Sungguh sifat-sifat itu bukanlah khayalan semata, namun benar-benar telah tercermin dalam kepribadian pemuda-pemuda muslim sebelumnya yang menggoncangkan dunia. Dan seharusnya dimiliki oleh calon-calon pahlawan yang ingin mengikuti kehidupan mereka.

Inilah kriteria pemuda muslim yang ideal, semoga aku dan engkau kawan, bisa menjadi bagian dari pemuda pemuda muslim yang ideal itu, atau paling tidak bisa mengikuti jejak mereka.

Dia Pribadi muslim,
Berhati emas, berpotensi prima,
Yang lembut dalam berbahasa
dan teguh membawa Suluh

Dia ibarat  sutera halus di tengah sahabat tulus
Dia ibarat gerimis embun tiris
memekarkan bunga-bunga

Dia ibarat topan beliung 
Yang mengguncang laut ke relung-relung

Dialah gemericik air di taman asri
Dialah penumbang segala belantara dan Sahara

Dialah pertautan agung iman Abu Bakar
Keperkasaan Ali
Kesederhanaan Abu Dzar
dan Keteguhan Salman

Dia berdiri kokoh di dunia yang bergolak
Ibarat lentera ulama di tengah gulita 

Dia memilih syahid fi sabilillah di atas segala kursi dan upeti
Dia menentang tindakan Kuffar 
pola aniaya di mana saja

Maka nilainya pun membumbung tinggi
Harganya semakin tak bertepi
Maka siapakah yang akan sanggup membelinya

Kecuali Rabb-nya?


(kalau engkau pernah menonton Sinetron KCB 3, puisi ini pernah dibacakan oleh Ayatul Husna saat siaran di Radio JPMI (mungkin episode 48). Aku dapatnya dari sana.. :-D)

Sungguh kalimat-kalimat yang menginspirasi. Rasanya tak bosan aku membacanya, agar ia bisa menyelusup masuk ke relung jiwa, menggerakkan alam bawah sadar dan melahirkannya menjadi amal..




Wednesday, 22 June 2011

Laki-laki dekat Mihrab

Kutemui dia pertama kalinya di Mesjid Salam saat langit membuncah merah pertanda datangnya waktu maghrib.Mahasiswa muda satu angkatan dengan ku yang selalu terlihat duduk tafakkur di dekat mihrab sedangkan aku baru sampai di pintu mesjid.Aku melangkah ke arahnya seraya menjulurkan tangan dan berucap "Assalamu'alaikum Akhi , Apa kabar ?" dengan senyum yang teduh ia menjawab "Wa'alaikumussalam akhi,kabar ana baik,semoga antum juga begitu hendaknya".Wajahnya waktu itu terlihat bahagia,seakan2 sebuah nikmat besar sedang menghampirinya.



lalu iqomah pun berkumandang...



***



Kutemui lagi dia di Mesjid Salam saat panas membara seakan membakar kota penuh sejarah ini.Asap dan debu yang berterbangan membuat semuanya kelam.Beruntung suci dan segarnya air wudlu mengembalikan kembali kekuatan yang mulai sirna ditelan teriknya hari.Kulihat dia masih duduk di tempat yang sama saat kutemui dulu.Duduk dekat mihrob seakan menjadi pilihan nya.agar menjadi saf terdepan sekaligus saf termulia.Kujulurkan lagi tanganku seraya berucap "Assalamu'alaikum Akhi , Apa kabar ?".Dengan pandangan sayu seakan sedang ditimpa sebuah masalah berat ia menjawab "Wa'alaikumussalam akhi,kabar ana baik,semoga antum juga begitu hendaknya".Ingin ku bertanya ada apa yang sedang menimpanya.sayang Iqomah pun berkumandang...



***



Kutemui lagi dia yang istimewa di Mesjid Salam saat dingin nya malam disapu oleh kehangatan sinar mentari.Sekitar pukul 09.00 pagi saat waktu dluha sedang berjalan.Kulihat dia masih setia menempati tempat duduk pilihannya.Di Dekat mihrob dimana sang imam dan khatib menjalankan tugasnya.Penasaran yang kubawa sejak pertemuan kemarin membuat ku bertekad untuk bertanya langsung tentangnya.Lagi, kujulurkan tangan ku sambil berucap "Assalamu'alaikum Akhi , Apa kabar ?" , lalu dengan muka cerah seakan seluruh keindahan sinar terpancar dari wajahnya ia pun menjawab "Wa'alaikumussalam akhi,kabar ana baik,semoga antum juga begitu hendaknya" .Aku pun langsung bertanya "Akhi ada masalah apa yang menimpa antum kemaren ? ana lihat di pertemuan pertama ana dengan antum,wajah antum sangatlah bahagia ,mulut antum pun seakan tak berhenti berucap syukur.Pertemuan kita yang kedua,wajah antum begitu merana,seolah sebuah beban berat sedang diletakkan di bahu antum.Dan hari ini wajah antum kembali bahagia,bahkan nyaris lebih berbahagia dari waktu pertama kali kita bertemu.Kalau ana boileh tahu,ceritakanlah apa gerangan yang sedang antum alami ?



***



Dengan wajah yang tersenyum indah,ia menjawab "Saat pertemuan kita yang pertama,sesungguhnya ana waktu itu habis meng-khitbah seorang perempuan.Dan puji syukur tak terhingga kepada Allah,khitbah ana diterima ,baik oleh si wanita maupun keluarganya.Rasa bahagia ini kemudian meliputi sekujur badan ana dan wajah ini pun tak berhenti tersenyum dan bersyukur.Sebuah proses awal dari langkah untuk menyempurnakan agama telah ana coba lalui,dan diberi kemudahan.Makanya ana lalu duduk di dekat mihrob tersebut dan mencoba bersyukur sebanyak-banyaknya atas karunia Allah."



"Saat pertemuan kita yang kedua" lanjutnya, " ana waktu itu sedang dilanda gundah gulana,Betapa tidak,pernikahan ana tinggal satu bulan lagi,namun tidak sepeser pun modal yang ana siapkan untuk pernikahan tersebut.Jangan kan biaya untuk bulan pertama,biaya untuk mengadakan akad nikah dan walimahan pun tiada.Belum lagi rencana ke depan untuk terus berumah tangga.Ana sudah pusing kesana kemari bekerja untuk mencari biaya tersebut,namun belum juga terlihat hasilnya.Kesedihan ini pun yang membuat ana akhirnya mencoba menyerahkan diri kepada Allah (lagi).Ana duduk di dekat mihrob mesjid seraya berdoa dan menumpahkan segala gundah gulana kepada Yang Maha Pencipta ".



"Dan hari ini,ana kembali duduk di dekat mihrob.Bersyukur tiada tara.Sebab Allah kembali memudahkan jalan ana.Ceritanya kemaren sore,ana mencoba menceritakan kondisi ana kepada wanita yang telah ana khitbah.Ana ceritakan sejujur-jujurnya bahwa ana sampai sekarang belum juga memiliki modal yang nantinya akan digunakan untuk menjalani akad nikah,walimahan dan tentu saja biaya hidup kita untuk sebulan.Mendengar cerita ana tersebut,wanita yang ane khitbah lalu berucap "Wahai laki-laki mulia yang telah meng-khitbah ku,jangan kau anggap aku wanita yang materialistis,Jangan samakan aku dengan wanita yang menjadikan harta sebagai tumpuan hidupnya.Cukuplah Allah untuk hidup kita.Biarkanlah Allah yang kan mencukupi rezki kita.Hidup ini hanyalah sementara.Ia begitu singkat.Aku ikhlas dengan kondisi yang kau alami".Jawaban wanita yang ana khitbah tersebut menyentakkan dada ana ,bahwa jangan pernah putus asa dari harapan Allah."



"Malam nya" lanjut sang teman , "tiba-tiba seorang teman dari paman ana menelpon,mengatakan bahwa ia mempunyai lowongan pekerjaan yang cocok untuk ana.Insya Allah gajinya cukup untuk kehidupan sehari-hari.Teman paman ana itu juga mau membiayai setengah dari biaya pernikahan dan walimahan ana nanti.Oleh karena itulah maka di waktu dluha ini ana kembali duduk disini.Ana akan perbanyak syukur ana kepada Allah.karena Allah cukup bagi kita.Tidak usah berputus asa dari Kasih SayangNYA" ujarnya mengakhiri cerita.Aku sendiri turut berbahagia.Bahagia karena sang teman ini telah kembali berbahagia.Bahagia karena di waktu yang mulia ini Allah telah memberikan pelajaran berharga lewat sang teman,dan Bahagia bahwa untuk kesekian kalinya,telah ada yang mengingatkan bahwa Jangan pernah putus harapan dari Allah"



***



Beberapa hari kemudian.Cuaca kota nabi ini masih begitu panas.Peluh membasahi sekujur tubuh mengeluarkan aroma yang tidak sedap.Beruntung kebiasaan membawa minyak wangi di kantong paling tidak cukup untuk mengurangi aroma tidak sedap tersebut.Setelah berwudlu, aku pun melangkah ke dalam mesjid untuk melaksanakan shalat Ashar yang tidak sempat ku ikuti secara berjama'ah karena terjebak macet.



Aku berdiri menghadap kiblat.Sebelum takbir , Ku layangkan pandangan ku ke seluruh area mesjid.Pandangan ku berhenti tatkala melihat ke arah mihrab,sesosok tubuh yang begitu familiar sedang duduk bertafakkur disana.Terlihat air matanya mengalir deras.Aku pun coba dekati ia perlahan-lahan.Ia sendiri terus menangis , mengeluarkan air mata yang membasahi seluruh mukanya.



Dan ku dengar sayup-sayup isaknya lirih tak berhenti berucap "hasbiyallah wa ni'mal wakil, ni'mal wawla wa ni'man nashir"...

Monday, 3 January 2011

Waktu yang Memaksa Kita Untuk Berpisah

Kebahagiaan seorang anak adalah ketika mereka mendapatkan kasih sayang dari  kedua orang tuanya. Dan di kala  mereka memasuki  masa pubertas mereka lebih membutuhkan perhatian dan bimbingan yang lebih besar.  Tapi kenyataannya tidak semua anak bisa mendapatkan kebahagiaan itu. Maka simaklah sebuah kisah yang mengandung berjuta hikmah bagi segenap yang membaca.



Hadirlah seorang anak kecil yang sangat periang dan humoris. Dia tidak pernah mendapatkan kasih sayang ayahnya karena ayahnya meninggalkannya ketika dia masih kecil. Sebut saja namanya  Aisyah. Semenjak usia 12 tahun, Aisyah sudah tinggal di pesantren. Karna dia anak yang kurang mampu dari segi ekonomi dia masuk pesantren itu dengan catatan dia harus bersih-bersih di pesantren. Meski hanya menyapu, mengepel dan kadang-kadang harus menyetrika, untuk anak seumur dia adalah pekerjaan yang berat, tapi demi menuntut ilmu dia menjalani  dengan senang hati

Hari-hari Aisyah disibukan dengan berbagai kegiatan dari pagi sampai sore. Aisyah mempunyai 24 teman dalam satu kelas. Dia termasuk anak yang humoris dan jika dia tidak masuk kelas maka kelaspun sunyi, itulah kelebihan Aisyah. Dia anak yang baik dan senang membuat teman-temannya tertawa dengan ide-ide goribah-nya.

Hampir semua anak pesantren mengenal Aisyah karena dia anak yang rajin dan selalu membantu teman-temannya. Empat tahun sudah dia tinggal di pesantren, dia tidak sendiri karna dia selalu bersama teman-temannya. Dan dia juga mempunyai kakak angkat yang bernama Zahroh.

Pada suatu sore Aisyah dan Zahroh berbincang-bincang sambil duduk santai. Zahroh bertanya, “Siapakah orang yang kamu sayangi?”

Aisyah menjawab, “Ibuku...”. “Kenapa?” Tanya Zahroh lagi.

“Karena ibuku adalah pahlawan buat aku. Karna ibuku adalah orang yang selalau setia menemaniku, meski kerap kali aku memuat jengkel tapi ibuku tak pernah marah. Dia orang yang sangat sabar, dia rela berkorban demi aku…” jelas Aisyah panjang lebar.

Zahroh masih bertanya lagi, “Siapakah orang yang kamu benci?”

Aisyah menjawab dengan tegas, “Ayahku!”

Zahroh bertanya kembali dengan raut muka yang sedikit kaget, “Loh, kenapa?”

“Karna ayahku  menyakiti hati ibuku dan dia pergi dengan wanita lain,” jawab Aisyah dengan enggan.

Perbincangan itupun berakhir dikarnakan bunyi jaros yang menandakan waktu bagi seluruh  santriwan santriwati berkumpul di masjid mempersiapkan sholat Magrib berjemaah dan disambung dengan kajian salafiyah.

Fajar pagipun menyambut dengan hangatnya. Semua santri sudah siap menerima pelajaran yang akan disampaikan oleh ustad  Asep. Di tengah pelajaran, santri di hebohkan dengan sakitnya Aisyah secara tiba-tiba. Dia batuk-batuk sampai mengeluarkan darah dan seketika itu juga langsung pingsan. Ahirnya ruangan kelaspun menjadi ribut dengan isak tangis teman-temannya yang merasa khawatir dengan kondisi Aisyah saat itu.

***

Sudah hampir satu minggu tapi penyakit Aisyah tidak kunjung sembuh, malah penyakitnya bertambah parah. Ketika ibunya mengetahui anak kesayangannya sakit keras, beliau langsung meminta izin kepada pihak pesantren supaya Aisyah dirawat di rumah. Bapak pimpinan pesantren langsung mengizinkan. Aisyah pun di rawat di rumah. Tanpa bisa disembunyikan, isak tangis ibunya terdengar sangat jelas di telinga Aisyah. Meski kondisi Aisyah sangat lemah tapi dia berusaha untuk menghibur hati ibunya. Aisyah berkata, “Ibu, janganlah kau menangis karna tangisan ibu lebih membuat hati Aisyah sedih dari pada penyakit yang aku alami,”. Seketika itu ibunya pun memeluk dan menciuminya. Aisyahpun tersenyum meski senyuman itu diiringi dengan butiran air mata.

Hari berganti hari tapi tak terlihat tanda-tanda kesembuhan malah semakin hari semakin parah. Setiap batuk Aisyah selalu mengeluarkan darah. Melihat penyakit yang diderita anak kesayangannya, hati ibunya serasa di cabik-cabik,.Tanpa berfikir panjang ibunya pun membawa Aisyah ke rumah sakit meski dengan uang yang pas-pasan, ibu Aisyah tetap nekat. Sudah hampir lima hari Aisyah dirawat di rumah sakit ahirnya kondisi Aisyah sedikit membaik. Teman-temannyapun sebagian menjenguk Aisyah ke rumah sakit sambil membawa sedikit bantuan uang perawatan selama Aisyah di rumah sakit,. Sedangkan biaya obat Zahroh yang menanggung. Meski keadaan  Aisyah belum sembuh total Aisyah ingin sekali cepat –cepat kembali ke pesantren untuk menggali ilmu kembali. Karna semangatnya yang begitu besar ibunyapun tidak bisa menahannya.

Aisyah kembali ke pesantren dengan wajah yang berseri-seri meski terlihat masih sedikit pucat.

Dia ahirnya bisa mengikuti kegiatan seperti biasanya. Nampak keceriaan di muka Aisyah dan teman-temannya setelah beberapa minggu mereka berpisah. Tapi kini perpisahkan itu memberi kehangatan ketika rindu telah terobati dengan kembalinya sosok wanita yang selalu semangat belajar dan berjuang menuntut ilmu itu ke pesantren.

***

Hari barganti hari kini masanya mereka menuai buah kebahagaiaan karena tinggal tiga bulan lagi mereka di wisuda. Di tengah keceriaan temannya semua, lagi- lagi Aisyah pingsan dan keluar darah dari mulutnya. Ternyata penyakitnya semakin parah meski fisiknya terlihat seperti orang sehat tapi tubuhnya lemah. Kali ini penyakit Aisyah bertambah parah. Hampir sekujur tubuhnya dibasahi oleh darah. Dia batuk-batuk sambil mengeluarkan darah yang begitu banyak.

Suara tangis para santri terdengar keras. Mereka tidak tega melihat kondisi temannya itu yang seakan-akan mau menemui ajalnya sebentar lagi. Ketika ibunya dikabarkan Aisyah sakit, ibunyapun langsung menemuinya. Sesampainya di pesantren, pecahlah tangisannya yang terdengar begitu jelas menyisakan haru dan pilu bagi orang yang mendengarnya. Rasa resah dan gelisah beriringan dengan rasa takut yang begitu besar menyelimuti hati ibu Aisyah. Alangkah kagetnya ketika ibu Aisyah melihat kondisi anaknya yang semakin kritis, beliau langsung memeluk anaknya. Ia berkata dalam hati Ya Tuhan jangan KAU cabut nyawa anaku, cabut sajalah nyawaku aku rela menukar nyawaku dengan nyawa anaku”. Aisyah kemudian berkata, “Ibu maafkan Aisyah kalau selalu merepotkan Ibu dan tidak bisa menemani Ibu lagi. Ibu aku mencintaimu. Aku selalu berdoa supanya Allah Swt  menyatukan hati kita tidak hanya di dunia ini saja, tapi kita akan selalu bersama dalam naungan ridho-NYA”. Ahirnya dia meninggal. Tangisan teman-temannya pun semakin terdengar. Rasanya mereka tidak percaya kalau temannya kini sudah meninggal. Di dalam saku Aisyah ditemukan sebuah surat.
Untuk ibuku tercinta


Ibu, entah kenapa hati ini merasa bahwa kita akan berpisah. Meski aku sebenarnya tidak ingin pergi meninggalkanmu. Aku sangat menyayangimu. Di wajahmu aku melihat ketegaran dan keikhlasan. Meski sebenarnya aku merasakan kesedihan dalam hati ibu, tapi tidak terlihat dalam wajahmu rasa sedih sedikitpun. Meski aku belum dewasa tapi aku tahu bahwa perpisahan itu akan menyisakan rasa luka, apalagi jika kesetiaan di balas dengan penghianatan. Aku benci sama ayah, ayah meninggalkanku di kala aku masih berumur  tiga tahun. Aku iri sama teman-teman di saat mereka mendapatkan kasih sayang kedua orang tua, aku hanya mendapatkan kasih sayang dari ibu. Ibu yang selalu menemaniku, menyayangiku, memelukku dan melindungiku. Sedangkan ayah bersenang-senang dengan istri mudanya. Ayah…kembalilah.

Tuhan aku berharap jangan kau pisahkan aku dengan ibuku, karna aku belum sempat  membahagiakannya, menghapus semua luka yang digores oleh ayah ku sendiri. Aku berjanji akan membahagiakan ibuku sampai akhir hayatnya.Tapi jika aku yang mendahuluinya maka waktulah yang memisahkan kami, hatiku hanya untuknya meski aku tidak lagi bersamanya....

Penulis :

Sukmi sujanah

Sekretaris I

Perwakilan PII Mesir 2010-2012

*Tulisan ini juga di muat di Buletin “Musafir” PWK PII Mesir Edisi Desember 2010