Redaksi Menerima kiriman tulisan baik opini, artikel dan lain-lain
Tulisan bisa dikirim via email ke alamat : pwkpii.mesir@gmail.com
Jazakumullah khairan katsiran

Wednesday, 28 March 2012

Ketika Ulama berkata Cinta

foto : googleimage
 Oleh : Uda Zami

Paling tidak, ada 3 tokoh besar Islam lintas zaman yang membuat karangan tentang cinta menurut persfektif masing-masing. Yang pertama adalah Imam Al-Ghazali. Dalam kitab Al-Mahabbahnya, beliau mengatakan bahwa cinta kepada Allah adalah tujuan puncak dari seluruh maqam spiritual dan ia menduduki level yang tinggi.

"(Allah) mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya." (QS. 5: 54). Dalam tasawuf, setelah di raihnya maqam mahabbah ini tidak ada lagi maqam yang lain kecuali buah dari mahabbah itu sendiri. Pengantar-pengantar spiritual seperti sabar, taubat, zuhud, dan lain lain nantinya akan berujung pada mahabatullah (cinta kepada Allah).

Yang kedua adalah Imam Ibn Hazm Al-Andalusi Az-Zhohiri. Buku Tauqul Hamamah -nya ( Thauq al- Hamâmah fî al-Ulfah wa al-Ulâf ) menyorot tentang cinta antara manusia dengan pandangan yang realistis. Sangat kontras dengan Al-Mahabbah versi Imam Al-Ghazali yang lebih menyorot konsep cinta manusia dengan Rabb-nya. Buku ini cenderung bernuansa Sastra klasik walaupun isinya sendiri banyak menggambarkan konsep Ibn Hazm dalam memegang Dienul Islam Ini. Ketinggian nilai bahasanya serta kedalaman maknanya menjadikan buku ini salah satu referensi utama dalam psikologi cinta klasik di eropa.

Menurut Ibnu Hazm, cinta itu sulit diuraikan. Tetapi pada orang yang jatuh cinta terdapat pertanda.Pertama, kecanduan memandang orang yang dikasihi. Kedua, segera menuju ke tempat kekasih berada, sengaja duduk di dekatnya dan mendekatinya. Ketiga, gelisah dan gugup ketika ada seseorang yang mirip dengan orang yang dicintainya. Keempat, kesediaan untuk melakukan hal-hal yang sebelumya enggan dilakukannya. Adapun yang mencoreng cinta menurut Ibnu Hazm adalah berbuat maksiat dan mengumbar hawa nafsu.

Diantara tulisan beliau dalam buku tersebut, “Cinta awalnya permainan dan akhirnya kesungguhan. Dia tidak dapat dilukiskan, tetapi harus dialami agar diketahui. Agama tidak menolaknya, syariat pun tidak melarangnya."

Yang ketiga adalah Imam Ibn Qayyim Al-Jauziyah. Ulama besar ahli hukum yang dikenal juga sebagai Ahli 'Penyakit dalam / penyakit jiwa dan hati' ini menjelaskan konsep cinta dalam persfektif tersendiri. Buku Raudhatul Muhibbin wa Nuzhatul Musytaqin yang beliau karang, mencoba untuk memandang dua konsep cinta diatas (cinta hamba kepada Rabb-nya dan Cinta hamba sesamanya) dengan pandangan yang lebih berimbang.

Di awal buku, Ibnul Qayyim terlebih dahulu mencoba mendefenisikan cinta itu tersendiri. Beliau berkata “Karena pengertian manusia tentang istilah cinta ini sangat mendalam dan lebih banyak berkaitan dengan hati mereka, maka tidak heran jika nama-nama lain untuk istilah cinta juga cukup banyak. Ini hal yang sangat lumrah dalam suatu yang dipahami secara mendalam atau rentan bagi hati manusia". Menurut beliau, ada lebih 50 padanan makna yang sesuai dengan kata Al-Hubb / cinta, diantaranya sebagai berikut :

  • Cinta bermakna kesucian, kebeningan dan kejernihan. 
  • Cinta bermakna percikan dan riak, seperti riak dan percikan air yang tampak ketika hujan deras turun. Begitu juga dengan cinta seseorang membuat hati beriak ketika teringat dengan sang kekasih. 
  • Cinta bermakna teguh dan tidak berpindah, sebagai-mana teguhnya unta ketika ia duduk diperintah oleh majikannya, sekalipun banyak batu cadas yang melukainya, begitu pula dengan cinta ketika ia telah terbuhul kuat, maka ia tidak akan mau berpindah ke pada yang lain.
  • Cinta bermakna inti, isi dan biji yang dijadikan benih. 
  • Cinta bermakna bejana besar dan berisi penuh yang tidak mungkin lagi dimuat dengan sesuatu yang lain, begitu pula dengan cinta ketika ia telah memenuhi hati, ia tidak dapat diisi dengan sesuatu yang lain. 
  • Cinta juga bermakna tungku sebagai tempat pembakaran yang diatasnya diletakkan sesuatu, begitu juga dengan cinta, ia menerima beban yang dipikul atas nama cinta

Imam Ibnul Qayyim dalam kitab ini juga membagi Cinta ke dalam beberapa tingkatan, yang pertama adalah Al-Alaqoh yaitu adanya ikatan dan hubungan seseorang dengan kekasihnya. Yang kedua adalah Ash-shobaabah artinya orang tersebut mencurahkan atau menumpahkan cintanya kepada kekasihnya.

Yang ketiga adalah Al-Ghorom, yaitu melekatnya rasa cinta di dalam hatinya sampai-sampai kecintaan tersebut takkan bisa lagi dipisahkan dari dirinya. Yang keempat adalah Al-'Isd yaitu rasa cinta yang berlebihan dan mengandung syahwat. Mencintai lawan jenis karena fisiknya. Yang kelima adalah Asy-syauq yaitu Hati yang serasa berjalan dan terbang menuju yang dikasihinya. Yang keenam At-Tatayum yaitu penghambaan, pemujaan kepada seseorang yang dia cintai dan ini mengandung makna ketundukan, menghinakan dirinya kepada kekasihnya, seperti budak, seorang hamba sahaya yang menundukkan kecintaannya pada tuannya.

Dan yang selanjutnya adalah Al-Hullah dan ini adalah puncaknya kecintaan, kecintaan yang paling sempurna dan penghabisannya sehingga tidak tersisa lagi kecintaan di dalam hatinya kecuali kepada sang kekasih

Salah satu kutipan dalam kitab beliau yang terkenal adalah ucapan beliau, “Cinta itu mensucikan akal, mengenyahkan kekhawatiran, memunculkan keberanian, mendorong berpenampilan rapi, membangkitkan selera makan, menjaga akhlak mulia, membangkitkan semangat, mengenakan wewangian, memperhatikan pergaulan yang baik, serta menjaga adab dan kepribadian. Tapi cinta juga merupakan ujian bagi orang-orang yang shaleh dan cobaan bagi ahli ibadah.”

Konsep cinta versi Ibnul Qayyim sendiri bisa dipakaikan dalam hubungan sesama Makhluk maupun kepada Allah. Tentunya kalau kita gabungkan 3 konsep besar dari ulama ini, kita akan mengambil kesimpulan bahwa cinta sesama manusia itu sendiri merupakan hal yang tidak bisa dihindari, walau begitu seorang mu'min yang ta'at dan cinta kepada Allah akan selalu menyandarkan cintanya hanya kepada Allah, atau dalam bahasa lain bahwa cintanya kepada manusia adalah sebab mencintai Allah juga.

Konsekuensi ketika seseorang mencintai manusia karena Allah adalah bahwa dalam mencintai manusia tersebut, ia tidak akan melewati pagar-pagar syari'at yang telah ditetapkan oleh Allah. Ia akan selalu menjaga cintanya hanya kepada Allah. Dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhori dan Imam Muslim dari Sahabat Anas bin Malik, Rasulullah menyebutkan ada 3 golongan yang akan merasakan manisnya iman, salah satunya adalah yang mencintai seseorang semata-mata hanya karena Allah.

Dari hal diatas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa pembahasan tentang cinta sendiri merupakan hal yang sangat menarik dari dulunya, dan bahasan ini tidak mengenal sekat. Semua orang bahkan para Ulama pun ikut membahasnya. Bahasan cinta bukanlah hal yang tabu karena ia adalah fitrah manusia yang diberikan Allah kedalam Hati mereka. Yang jadi masalah adalah ketika cinta menjauhkan seseorang dari Yang Maha Mencinta, Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Bagaimana mungkin kita mengaku mencintai seorang kekasih karena Allah lalu kita lakukan larangan yang telah Allah tetapkan bagi kita ?

0 comments:

Post a Comment