Redaksi Menerima kiriman tulisan baik opini, artikel dan lain-lain
Tulisan bisa dikirim via email ke alamat : pwkpii.mesir@gmail.com
Jazakumullah khairan katsiran

Thursday 15 March 2012

Peran Akidah dalam Membangun Masyarakat

Oleh : Andy Hariyono*

Pendahuluan
Bismillah, inilah awal kata yang penulis ajukan untuk mengawali diskusi kita hari ini. Mungkin bukan menjadi persoalan bagi kita akan permulaan kata di atas, namun perlu penulis tegaskan kembali bahwa kata tersebut disamping adanya nash hadits yang menganjurkan untuk selalu mengucapkannya ketika mengawali segala aktiftis, ia juga mampu membangkitkan semangat ketauhidan kepada-Nya.

Berbicara mengenai tauhid tidaklah lepas dari segala hal yang berkaitan dengan Islam, baik itu akidah, syariah (fikih) dan akhlak. Dengan akidah manusia memiliki keyakinan yang kuat akan agamanya, dengan syariah manusia dapat menjalankan ibadahnya dengan baik dan benar, kemudian terakhir dengan akhlak manusia dapat menjadikan amalan ibadahnya lebih indah untuk dipersembahkan kepada Rabnya.

Agar lebih terarah diskusi kita nantinya, mungkin tulisan ini hanya akan membahas secara ringkas mengenai akidah islamiyah (tauhid) dan implikasinya terhadap perubahan sosial di tengah-tengah masyarakat.

Pengertian dan Ruang Lingkup Akidah
Akidah dapat kita sebut sebagai pandangan hidup, pegangan hidup atau prinsip hidup sesorang dalam memandang sesuatu. Istilah akidah sendiri telah dikenal dalam dunia Islam sejak lama, jika melihat literartur Islam kita dapat menemukan beberapa buku seperti, Akidah Thahawiyah (321 H), Al-Aqaid al-Adludiyah li ‘Adludin ‘Abdurrahman al-Aiji as-Syarazi (756 H), Al-Aqain an-Nisfiyah li Umar bin Muhammad an-Nisfi (537 H) dan lain sebagainya.

Akidah tidaklah semuanya benar, ada pula akidah yang menyimpang dari kebenaran. Prof. Dr. Muhammad Sayyid Ahmad Musayyar dalam bukunya Fatawa’l Aqidah Al-Islamiyah membagi akidah menjadi dua bagian, pertama akidah yang benar yakni akidah islamiyah dan terakhir akidah yang salah atau akdiah-akidah di luar akidah islamiyah.

Dalam dunia Islam ilmu akidah mempunyai beberapa nama disiplin ilmu, diantaranya, Ilmu Tauhid, Al-Fikhu al-Akbar, Ushuludin, Ilmu Akidah dan Ilmu Kalam (Filsafat Agama).

Ruang lingkup akidah, sebagaimana termaktub dalam hadits riwayat Umar bi Khatab, berkisar antara Iman kepada Allah Swt, malaikat-malaikat, kitaib-kitab, nabi-nabi, hari akhir dan qodla serta qadar-Nya. Untuk menyederhanakan itu semuanya, para ulama membagi pembahasan akidah menjadi tiga pokok pembahasan; 1. Al-Ilahiyat (Ketuhanan), 2. An-Nubuwat (Kenabian), 3. As- Sam’iyyat (hal-hal yang berkaitan dengan segala bentuk informasi dari Rasulullah Saw). Ketiga pembahasan tersebut dapat dirasakan para mahasiswa Al-Azhar, terutama mereka yang memilih fakultas ushuludin strata satu.

Di tahun pertama misalnya, para mahasiswa mempelajari akidah dalam lingkup Ketuhanan, baik itu sifat dan asma, kemudian di tahun kedua mereka mempelajari akidah dalam lingkup sama dengan penambahan hal-hal yang berkaitan dengan Kenabian serta Sam’iyyat, masuk di tahun ke tiga kembali lagi kepembahasan Ketuhanan dan Kenabian, dengan penekanan di bidang Kenabian, dan di tahun terakhir kembali lagi membahas Kenabian dan beberapa informasi seputar aliran-aliran sesat di abad modern.


Akidah dan Masyarakat
Hemat penulis, pelajaran akidah yang terdapat di kampus sudah sangat mencukupi kebutuhan mahasiswa untuk mendalami pengetahuannya, terlebih bagi mereka yang aktif menghadiri kegiatan belajar-mengajar di kampus. Belum lagi ditambah mereka yang selalu menghadiri beberapa majlis-majlis ilmu seperti di ruwaq-ruwaq masjid Al-Azhar ataupun di Mudhayafah.

Dari sana, penulis memandang perlu adanya perluasan, sehingga mempelajari akidah tidak sebatas pengetahuan saja, melainkan lebih kepada tataran aplikasi di kehidupan sehari-hari. Untuk itu, dalam tulisan ini penulis lebih memilih pembahasan akidah terutama mengenai masyarakat ketimbang pembahasan mengenai hal-hal akidah tersebut di atas.

Kenapa Masyarakat?
Mungkin timbul pertanyaan, kenapa harus masyarakat yang menjadi objek diskusi kali ini? bukankan pembahasan masyarakat lebih pantas kita bicarakan di ranah sosiologis ketimbang teologis yang seharusnya mengurus ketuhanan dan lain sebagainya. Untuk menjawabnya, pertama, aplikasi dari akidah tidaklah terlepas dari interaksi makhluk baik secara vertikal (Khalik) maupun horizontal (makhluk). Agar keduanya berjalan dengan selaras, diperlukan latihan mengenai akidah aplikatif dalam kehidupan sehari-hari, dalam hal ini masyarakat sangat erat kaitannya sebagai wahana latihan. Kedua, masyarakat dapat menjadi contoh penerapan akidah dalam kehidupan sehari-hari, dan ketiga, masyarakat profetik atau masyarakat yang dicita-citakan Rasulullah Saw tidaklah lepas dari pembangunan aplikasi akidah dalam kehidupan sehari-hari.

Prngertian Masyarakat
Setelah kita mengetahui adanya kaitan yang erat mengenai akidah dan masyarakat, ada baiknya apabila kita membahas pengertian masyarakat. Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI, masyarakat merupakan sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Adapun pengertian definitf dari masyarakat dapat kita lihat sebagai berikut;
  1. Selo Sumardjan, masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan.
  2. Menurut Karl Marx masyarakat adalah suatu struktur yang menderita suatu ketegangan organisasi atau akibat adanya pertentangan antra kelompok-kelompok yang terbagi secra ekonomi.
  3. Menurut Emile Durkheim masyarakat merupakan suatu kenyataan objektif pribadi-pribadi yang merupakan anggotanya.
  4. Menurut Paul B. Hartono & C. Hunt masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relative mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok/kumpulan manusia tersebut.

Faktor-faktor/Unsur Masyarakat
Menurut sosiolog Indonesia, Soerjono Soekanto, alam masyarakat setidaknya memeliki unsur sebagai berikut;
  1. Beranggotakan minimal dua orang.
  2. Anggotanya sadar sebagai satu kesatuan.
  3. Berhubungan dalam waktu yang cukup lama yang menghasilkan manusia baru yang saling berkomunikasi dan membuat aturan-aturan hubungan antar anggota masyarakat.
  4. Menjadi sistem hidup bersama yang menimbulkan kebudayaan serta keterkaitan satu sama lain sebagai anggota masyarakat.

Dari definisi dan unsur masyarakat di atas, secara sederhana dapat kita ketahui bersama bahwa masyarakat merupakan suatu kelompok yang anggotanya saling berinteraksi dan saling memberikan pengaruh antara satu dengan yang lainnya. Karena “lingkaran” masyarakat ini tempat berputarnya pertukaran pengaruh, maka dari itu perlu adanya pengaruh yang baik dan benar dalam masyarakat tersebut, agar pengaruh yang “berotasi” pengaruh yang baik dan benar pula.

Berbicara mengenai masyarakat sangatlah luas cakupannya, karena masyarakat merupakan satuan manusia yang berkelompok, sedangkan terdapat berbagai macam kelompok manusia di lingkungan kita. Di dalamnya kita dapat mengenal masyarakat kota, masyarakat desa, masyarakat hukum, masyarakat madani, masyarakat majemuk, masyarakat modern, masyarakat tradisional, masyarakat pelajar dan lain sebagainya. Mungkin bagian terakhir (masyarakat pelajar) lebih tepat menjadi obrolan diskusi kita hari ini.

Fenomena Masyarakat Pelajar
Masyarakat pelajar merupakan suatu etintas sosial yang terdiri dari pelajar -dalam hal ini dapat kita masukkan mereka yang belajar dari buaian hingga liang lahat- baik di Indonesia secara umum ataupun di Mesir secara khusus. Untuk yang pertama dapat kita melihat fenomena pelajar siswa ataupun mahasiswa di Indonesia, sedangkan yang terakhir pelajar Indonesia di Mesir.

Sebagai misal, budaya tauran pelajar sudah menjadi bagian dari ‘kurikulum’ ekstrakulikuler saat ini, seperti kasus yang menimpa SMU 6 Jakarta berujung pada bentrokan wartawan versus pelajar, mobilitas pelajar pada saat jam belajar di Semarang hanya karena menyambut pejabat, dan data dari Badan Narkotika Nasional (BNN), 611 pelajar jadi tersangka kasus narkoba. Untuk di Mesir, pelajar Indonesia lebih asik beraktifitas sebagai pelajar “rumah(an) tangga” ketimbang pelajar kampus, talaqi ataupun majelis-majelis ilmu lainnya, indikasinya terlihat dari kurang aktifnya pelajar ke kampus, dan minimnya kegiatan yang bertopik kepelajaran.

Foto : Tendaweb.com
Saat ini sudah jarang kita menemukan peran pelajar yang “membangun” di lingkungan sosial kita, kita lebih sering melihat pelajar berinteraksi denga kitabulwajah (facebook) ketimbang dengan kitabullah (al-Quran), berkicau di twitter ketimbang di masjlis taklim, belum lagi syndrome video game dan agenda-agenda seputar mall ataupun yang lainnya. Benar, jika facebook dan twitter bukanlah larangan dalam Islam, namun bukankah ketidak seimbangan aktifitas termasuk hal yang merusak pelajar.

Fenomena di atas hanyalah potret mini dari masyarakat kita saat ini. Diakui atau tidak, hal tersebut di atas sangat berkaitan erat dengan aplikasi akidah dalam tataran teknis kehidupan. Kalaulah saja seorang pelajar memahami benar derajatnya di sisi Allah Swt tentulah hal-hal yang membuatnya “turun” nilai akan dijauhkan semungkin bisa.

Sebaliknya, mari kita saksikan di era Umar bin Khatab, melalui Amru bin Ash dengan semangat akidah dapat memperluas ajaran agamanya hingga masuk ke Mesir (18 H) dan membangun masjid yang kita kenal dengan masjid Amru bin Ash (21 H), dimana di masjid ini nantinya terdapat komunitas pelajar dalam memahami ajaran Islam. Tidak heran jika- karena kader-kader Islam kala itu memang memahami dan mengaplikasikan akidah dengan benar- bermunculan tokoh-tokoh Islam seperti, Abdullah bin Amru bin Ash, Al-laits bin Said, Imam Syafi’I, Utsman bin Hikam al-Judzami (163 H), Qadhi Ismail bin Sami’ al-Kindi, dan bermunculan juga tokoh-tokoh dalam dunia hadits, tafsir, fikih, bahasa, tasawuf, kedokteran dan lain-lain.

Tidak ketinggalan pembangunan masjid Al-Azhar, yang mana nantinya masjid ini menjadi lembaga pendidikan dan kiblat ilmu agama Islam di seluruh dunia, bahkan melihat semangat pelajar nusantara, pernah ada di salah satu bagian masjid Al-Azhar ruwaq khusus bernama ruwaq al-Jawi, ditambah diplomasi pertama kali antara Indonesia-Mesir berawal dari diplomasi kultural dalam hal ini pelajar islam Indonesia yang sedang menempuh studi di Al-Azhar.

Degredasi Masyarakat Pelajar
Terjadi degredasi masyarakat pelajar khususnya pelajar Indonesia, padahal secara akidah, apa yang kita terima(?) sama dengan apa yang diterima para sahabat r.a, tabi’in ataupun ulama-ulama sekaliber imam syafi’i. Dalam artian, minimal input kalimat tauhid “Laa ilaaha illallaah” yang sederhana telah kita terima bersama, lantas kenapa outputnya berbeda?

Taruhlah sebagai misal output kalimat tauhid, Abu Al-Hasan Ibnu Ismail Al-Asy’ari (260-324) pendiri aliran As’ariyah yang madzhabnya banyak dianut di abad ini, Ibnu Taimiyah yang dikenal sebagai bapak reformasi Islam dan selalu menyerukan semangat berijtihad, Mohhammad ibn Abdul Wahhab (1779) yang mendengungkan semangat egalitarian walaupun gerakannya saat ini belum menunjukkan hasil egaliter di Saudi, Syah Waliyullah dari Delhi (1762), Ibn Ali al-Sanusi pendiri gerakan Sanusiah, yang tujuan pembentukannya untuk perubahan-perubahan sosial, moral dan ekonomi, Hasan Basri pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin yang ditakuti Zionis Israel, K.H Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah, K.H Hasyim Asyari pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Yuzdi Ghazali inisiator/pendiri gerakan Pelajar Islam Indonesia (PII) yang menyatukan pelajar santri dan pelajar sekolah warisan belanda dan tokoh lainnya.

Tauhid Aplikatif
Sekilas output kalimat “Laa ilaaha illallaah” di atas memberikan sinyal kepada kita agar pelajar tidak hanya diam mengisi dirinya sendiri dengan ilmu pengetahuan, melainkan harus juga diberengi dengan aktifitas sosial agar kehadirannya di tengah masyarakat tidak menjadi beban melainkan solusi bagi masyarakat. Aplikasi dari pemahaman tauhid dalam kehidupan sosial inilah yang penulis maksud dengan tauhid aplikatif.

Tauhid merupakan inti dari keyakinan ajaran Islam, di sinilah letak pentingnya memahami akidah dengan benar. Maka dari itu, di awal penulis singgug, jika pengaruh dalam masyarakat itu baik maka akan baik pula hasilnya, dan pengaruh yang baik timbul dari akidah yang baik dan benar. Hal ini senada dengan perkataan Prof. Dr. Amin Rais bahwa, tauhid adalah platform seluruh nilai-nilai luhur Islam. Mudah dibayangkan jika platform sendiri itu tidak jelas, maka seluruh strktur nilai yang dibangun di atasnya akan menjadi centang perantang.

Dengan demikian, “penuhanan” terhadap facebook, twiiter, mall atau segela bentuk aktifitas yang menjauhkan kita kepada Allah Swt akan dapat terhindari.

Penutup
Sudah seharusnya kesadaran memahami akidah dalam tataran aplikatif dibangun semenjak dini. Penulis sadar masih banyak kukurangan dalam penyampaian, semoga tulisan sederhana ini dapat menjadi pembuka diskusi taklim Ali kali ini.

Daftar Pustaka
  1. At-Tamhid fi Diraasatil Aqidah Al-Islamiyah, Prof. Dr. Sayyid Ahmad Musayyar.
  2. Fatawa fil Aqidah Al-Islamiyah, Prof. Dr. Sayyid Ahmad Musayyar
  3. Al-Azhar Fi Alfi ‘Aam, Dr. Muhammad Abdul Mun’im Khofaji.
  4. Islam dan Pembaharuan, Enslikopedi masalah-masalah, John J. Donohue dan Jhon L. Esposito.
  5. Diktat Tauhid Universitas Al-Azhar S1 tahun 1-4, fakultas Ushuludin Jurusan Tafsir
  6. Sejarah Tuhan, Karen Amstrong.
  7. Tulisan Esay berjudul an Indonesian Community in Cairo, Michael Laffan.
  8. www.organisasi.org
  9. www.pusatbahasa.kemdiknas.go.id

* Penulis adalah kader Pelajar Islam Indonesia (PII) Perwakialn Mesir yang saat ini sedang menempuh studi di Universitas Al-Azhar jurusan Tafsir Al-Quran.

0 comments:

Post a Comment