Oleh : Uda Zami
Imam Al-Ghazali |
Mungkin tidak ada yang tidak kenal dengan Kitab Ihya' Ulumiddin. Begitu terkenalnya kitab ini bahkan hampir menyaingi tingkat ke-terkenal-an dan ke-terpopuler-an sang pengarangnya, Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali. Magnum Opus Imam Ghazali ini benar-benar kitab dahsyat. Hampir seluruh aspek kehidupan dibahas dengan sudut pandang seorang Hamba Allah oleh Al-Ghazali dalam kitab ini. Tak heran ketika Syekh Muhammad Abduh pernah berkata "Kitab Ini (ihya' ulumiddin) adalah kitab dimana seorang manusia tidak boleh melakukan perjalanan kecuali harus membawanya kemana-mana". Kebijakan-kebijakan yang ditawarkan oleh Imam Al-Ghazali dalam Ihya' begitu menyentuh sendi-sendi hubungan manusia dengan Tuhannya.
Bagi yang sudah khatam alias tamat membaca buku ini, selain terheran-heran dengan kekuatan isinya, akan menyimpan sebuah tanda tanya pada dirinya sendiri. Kenapa Al-Ghazali tidak memasukkan pembahasan tentang Jihad dalam bukunya ini ? padahal mestinya sebagai salah satu doktrin penting dalam Islam, jihad harus dibahas. Bahkan kalau perlu harus dibuatkan satu bab khusus tentangnya. Namun ternyata malah sebaliknya. Dari 5 Jilid besar ihya' ulumiddin (cetakan terbaru 10 jilid), Imam Al-Ghazali malah tidak membahas Jihad (dengan makna zahirnya yakni perang) sama sekali.
Sebelum kita coba menerka-nerka tentang kenapa Imam-Ghazali tidak memasukkan bab Jihad dalam kitabnya, menarik kalau kita coba mengingat masa-masa kehidupan Al-Ghazali. Imam Al-Ghazali hidup disaat peradaban Islam di Dinasti Abbasiyah sedang mencapai puncaknya. Seluruh aspek kehidupan sedang berada di dalam masa yang sangat cemerlang. Ilmu pengetahuan telah mencapai sendi-sendi dimana belum pernah ada bangsa sebelumnya yang mencapainya. Tingkat kemakmuran rakyat terbilang tinggi. Islam memang benar-benar menjadi Kiblat dunia waktu itu. Dari sisi Ilmu pengetahuan, Universitas Nizhamiyah yang diketuai oleh Al-Ghazali sendiri bisa dibilang sebagai lembaga pendidikan terbaik serta kiblat perkembangan IPTEK saat itu.
Walau begitu, ada kerapuhan lain yang muncul menghantui masa emas ini. Dari dalam, Islam sendiri diancam dengan bayang-bayang pengkhianatan Syiah, terkhusus Syiah sekte Ismaili. Kematian beberapa tokoh besar terutama sang penggagas Universitas Nizhamiyah, Nizhamul Muluk, tak lepas dari campur tangan Syiah sendiri. Syiah terus dan terus mencoba menguasai pemerintahan dengan segala cara. Dan akhirnya nanti sejarah memang membuktikan bahwa salah satu sebab utama kenapa dinasti Abbasiyah adalah pengkhianatan sang wazir yang beraliran syiah.
Dari luar, tentara salib tetap terus merongrong kekuasaan Islam. Hari demi hari, serangan mereka terhadap wilayah kekuasaan Islam semakin gencar. Bahkan, baitul maqdis pun sempat jatuh ke tangan mereka.
Nah, dua situasi ini sebenarnya membutuhkan motivasi-motivasi Jihad untuk menguatkan ummat Islam. Ruh jihad memang harus dikobarkan, mengingat Islam sendiri diserang secara fisik dari luar dan dalam. Namun, Imam Ghazali malah tidak membahasnya sama sekali. Dari sinilah, di kemudian hari, karya Emas Imam Ghazali ini kemudian diserang. Selain diserang karena (katanya) Ihya' Ulumiddin berhasil "mematikan" kreativitas Umat Islam dan bertanggung jawab atas mundurnya filsafat Islam, kitab ini juga dituding berhasil melemahkan semangat umat untuk berjihad.
Namun apakah benar seperti itu ?
Kalau kita membaca dan menghayati serta meneliti efek besar kitab Ihya ulumiddin ini secara objektif, mungkin kita akan meralat tudingan kita. Seperti yang kita ketahui, zaman saat Imam Ghazali hidup adalah zaman keemasan Islam. Dengan perkembangan dan kemajuan tata hidup yang pesat, ternyata menimbulkan side effect yang tidaklah bisa dipandang sebelah mata. Umat Islam secara perlahan mulai dilanda penyakit-penyakit moral. Kebobrokan prilaku terjadi dimana-mana, apalagi dikalangan birokrat. Situasi ini berdampak langsung pada masyarakat Islam. Bahkan, dalam perperangan melawan tentara salib pun islam harus mengalami kekalahan yang berujung pada jatuhnya Baitul Maqdis.
Nah, Imam Ghazali melihat fenomena Rusaknya Akhlak dan Moral ini sebagai hal paling utama yang menyebabkan lemahnya umat islam. Sehingga, ketika ruh Jihad terus dikumandangkan namun tanpa perbaikan Akhlak, tetap saja tidak akan berkobar. Imam Ghazali menilai bahwa Ruh Jihad baru akan berkobar saat jiwa-jiwa umat dihiasi oleh akhlak yang baik.
Dengan landasan inilah, Imam Ghazali memulai "proyek" jihad ala beliau dengan mulai memperbaiki akhlak umat. Perbaikan akhlak adalah tema besar kitab Ihya' Ulumiddin itu sendiri. Bagi saya, Imam Ghazali sendiri sebenarnya sedang memberikan kuliah besar tentang Jihad lewat proses perbaikan Akhlak di Ihya'-nya, tanpa harus menyebut Jihad itu sendiri. Jihad memang akan tumbuh dengan sendirinya, saat akhlak umat itu baik. Ruh jihad para muslim akan berkobar dengan sendirinya, saat akhlak mereka kokoh.
Kitab Ihya' beliau juga mengajarkan bahwa pembenahan umat itu tidaklah mesti lewat proyek perombakan sistem besar-besaran. Pembenahan umat harus dimulai dari bawah, dari individu-individu. Belajar dari sejarah Nabi Muhammad yang mendidik para sahabat perlahan-lahan, dari hal-hal kecil, dari kerja-kerja sederhana, dari sekelompok kecil manusia, hingga akhirnya berhasil membentuk muslim yang militan. Yang ruh Jihadnya selalu berkobar lantaran akhlak dan jiwa mereka itu berada dalam kondisi prima, tidak lemah apalagi bobrok.
Sejarah akhirnya mencatat, bahwa didikan Jihad Ala Imam Ghazali dalam Ihya' nya memang membentuk muslim yang militan dan berakhlak mulia. Nuruddin Zanky dan Muridnya, Sholahuddin Al-Ayubi yang berhasil merebut kembali Bumi Palestina dan Baitul Maqdis dari tangan tentara salib, adalah orang-orang yang menjadikan Ihya' sebegai bacaan wajibnya. Mereka berhasil dididik secara tidak langsung oleh Al-Ghazali bahwa memang akhlak yang baik adalah modal besar dalam jihad, bahwa Ruh jihad akan berkobar di jiwa-jiwa yang berakhlak baik. Tentara binaan Nuruddin Zanky dan Sholahuddin al-Ayubi pun akhirnya berhasil merebut kembali wilayah-wilayah kekuasaan Islam.
Selain itu, kita juga lihat bahwa Imam Al-Ghazali ternyata tidak terjebak dengan Istilah. Beliau tidak berteriak-teriak "Jihad" namun menumbuhkannya di hati muslim lewat proses perbaikan akhlak tadi di Ihya'nya. Di Ihya' beliau mengajarkan bahwa jiwa-jiwa yang berakhlak baik dengan Tuhannya, dengan nabinya, dengan seluruh entitas dalam Islam, maka didalamnya akan tumbuh sendiri panggilan dan semangat yang berkobar-kobar untuk jihad.
Nah, belajar dari hal ini. Semestinya tugas utama kita adalah memfokuskan diri pada perbaikan Umat. Perbaiki ibadah mereka, perbaiki akhlak mereka, perbaiki cara berpikir dan gaya hidup mereka. Rubahlah mereka juga dengan akhlak. Rubahlah dengan cara-cara yang diajarkan Nabi Muhammad. Ketika di dalam pribadi muslim sudah tertanam akhlak Islam, maka cita Islam yang gemilang akan terwujud, panggilan jihad pun bukan lagi panggilan kosong dan horror bagi mereka. Tidak usah terlalu sering berteriak 'Jihad' ketika disaat yang sama kita lupa bahwa masih banyak muslim yang merosot akhlaknya di sekitar kita. Justru musuh Islam sendiri akan memanfaatkan hal itu untuk mereduksi makna Jihad dan memberikan pemahaman Jihad lain di tubuh muslim yang merosot moralnya.
Toh, ketika kita berhasil mengubah sistem kehidupan menjadi yang Islami, namun umat muslim saja masih bolong-bolong shalatnya, masih rusak akhlaknya, tetap saja masyarakat Islami tidak akan terwujud. Belajar dari sejarah Nabi Muhammad. Beliau butuh 13 tahun untuk mempersiapkan pribadi-pribadi sahabat yang bermental Islami, yang beribadah Islami, yang berakhlak Islami, sehingga apapun nantinya perintah yang turun kepada mereka, mereka siap memanggulnya bahkan walau harus kehilangan nyawa. Inilah tugas kita bersama.
Hmm, saya sendiri tidak pernah yakin, bahwa kita akan sanggup berjihad, namun shalat kita masih bolong-bolong, bangun pagi berjama'ah masih berat, prilaku kita masih menyakiti orang lain. Tingkat kesalehan kita, tingkat ketinggian akhlak kita, akan berefek langsung pada tingkat komitmen dan keberanian kita di medan Jihad nantinya.
Wallahu a'lam bish-showab
assalamu'alaikum..
ReplyDeletemaaf sebelumnya, kok di artikel anda tidak di cantumkan refrensi ya,.??