Redaksi Menerima kiriman tulisan baik opini, artikel dan lain-lain
Tulisan bisa dikirim via email ke alamat : pwkpii.mesir@gmail.com
Jazakumullah khairan katsiran

Wednesday, 22 June 2011

Laki-laki dekat Mihrab

Kutemui dia pertama kalinya di Mesjid Salam saat langit membuncah merah pertanda datangnya waktu maghrib.Mahasiswa muda satu angkatan dengan ku yang selalu terlihat duduk tafakkur di dekat mihrab sedangkan aku baru sampai di pintu mesjid.Aku melangkah ke arahnya seraya menjulurkan tangan dan berucap "Assalamu'alaikum Akhi , Apa kabar ?" dengan senyum yang teduh ia menjawab "Wa'alaikumussalam akhi,kabar ana baik,semoga antum juga begitu hendaknya".Wajahnya waktu itu terlihat bahagia,seakan2 sebuah nikmat besar sedang menghampirinya.



lalu iqomah pun berkumandang...



***



Kutemui lagi dia di Mesjid Salam saat panas membara seakan membakar kota penuh sejarah ini.Asap dan debu yang berterbangan membuat semuanya kelam.Beruntung suci dan segarnya air wudlu mengembalikan kembali kekuatan yang mulai sirna ditelan teriknya hari.Kulihat dia masih duduk di tempat yang sama saat kutemui dulu.Duduk dekat mihrob seakan menjadi pilihan nya.agar menjadi saf terdepan sekaligus saf termulia.Kujulurkan lagi tanganku seraya berucap "Assalamu'alaikum Akhi , Apa kabar ?".Dengan pandangan sayu seakan sedang ditimpa sebuah masalah berat ia menjawab "Wa'alaikumussalam akhi,kabar ana baik,semoga antum juga begitu hendaknya".Ingin ku bertanya ada apa yang sedang menimpanya.sayang Iqomah pun berkumandang...



***



Kutemui lagi dia yang istimewa di Mesjid Salam saat dingin nya malam disapu oleh kehangatan sinar mentari.Sekitar pukul 09.00 pagi saat waktu dluha sedang berjalan.Kulihat dia masih setia menempati tempat duduk pilihannya.Di Dekat mihrob dimana sang imam dan khatib menjalankan tugasnya.Penasaran yang kubawa sejak pertemuan kemarin membuat ku bertekad untuk bertanya langsung tentangnya.Lagi, kujulurkan tangan ku sambil berucap "Assalamu'alaikum Akhi , Apa kabar ?" , lalu dengan muka cerah seakan seluruh keindahan sinar terpancar dari wajahnya ia pun menjawab "Wa'alaikumussalam akhi,kabar ana baik,semoga antum juga begitu hendaknya" .Aku pun langsung bertanya "Akhi ada masalah apa yang menimpa antum kemaren ? ana lihat di pertemuan pertama ana dengan antum,wajah antum sangatlah bahagia ,mulut antum pun seakan tak berhenti berucap syukur.Pertemuan kita yang kedua,wajah antum begitu merana,seolah sebuah beban berat sedang diletakkan di bahu antum.Dan hari ini wajah antum kembali bahagia,bahkan nyaris lebih berbahagia dari waktu pertama kali kita bertemu.Kalau ana boileh tahu,ceritakanlah apa gerangan yang sedang antum alami ?



***



Dengan wajah yang tersenyum indah,ia menjawab "Saat pertemuan kita yang pertama,sesungguhnya ana waktu itu habis meng-khitbah seorang perempuan.Dan puji syukur tak terhingga kepada Allah,khitbah ana diterima ,baik oleh si wanita maupun keluarganya.Rasa bahagia ini kemudian meliputi sekujur badan ana dan wajah ini pun tak berhenti tersenyum dan bersyukur.Sebuah proses awal dari langkah untuk menyempurnakan agama telah ana coba lalui,dan diberi kemudahan.Makanya ana lalu duduk di dekat mihrob tersebut dan mencoba bersyukur sebanyak-banyaknya atas karunia Allah."



"Saat pertemuan kita yang kedua" lanjutnya, " ana waktu itu sedang dilanda gundah gulana,Betapa tidak,pernikahan ana tinggal satu bulan lagi,namun tidak sepeser pun modal yang ana siapkan untuk pernikahan tersebut.Jangan kan biaya untuk bulan pertama,biaya untuk mengadakan akad nikah dan walimahan pun tiada.Belum lagi rencana ke depan untuk terus berumah tangga.Ana sudah pusing kesana kemari bekerja untuk mencari biaya tersebut,namun belum juga terlihat hasilnya.Kesedihan ini pun yang membuat ana akhirnya mencoba menyerahkan diri kepada Allah (lagi).Ana duduk di dekat mihrob mesjid seraya berdoa dan menumpahkan segala gundah gulana kepada Yang Maha Pencipta ".



"Dan hari ini,ana kembali duduk di dekat mihrob.Bersyukur tiada tara.Sebab Allah kembali memudahkan jalan ana.Ceritanya kemaren sore,ana mencoba menceritakan kondisi ana kepada wanita yang telah ana khitbah.Ana ceritakan sejujur-jujurnya bahwa ana sampai sekarang belum juga memiliki modal yang nantinya akan digunakan untuk menjalani akad nikah,walimahan dan tentu saja biaya hidup kita untuk sebulan.Mendengar cerita ana tersebut,wanita yang ane khitbah lalu berucap "Wahai laki-laki mulia yang telah meng-khitbah ku,jangan kau anggap aku wanita yang materialistis,Jangan samakan aku dengan wanita yang menjadikan harta sebagai tumpuan hidupnya.Cukuplah Allah untuk hidup kita.Biarkanlah Allah yang kan mencukupi rezki kita.Hidup ini hanyalah sementara.Ia begitu singkat.Aku ikhlas dengan kondisi yang kau alami".Jawaban wanita yang ana khitbah tersebut menyentakkan dada ana ,bahwa jangan pernah putus asa dari harapan Allah."



"Malam nya" lanjut sang teman , "tiba-tiba seorang teman dari paman ana menelpon,mengatakan bahwa ia mempunyai lowongan pekerjaan yang cocok untuk ana.Insya Allah gajinya cukup untuk kehidupan sehari-hari.Teman paman ana itu juga mau membiayai setengah dari biaya pernikahan dan walimahan ana nanti.Oleh karena itulah maka di waktu dluha ini ana kembali duduk disini.Ana akan perbanyak syukur ana kepada Allah.karena Allah cukup bagi kita.Tidak usah berputus asa dari Kasih SayangNYA" ujarnya mengakhiri cerita.Aku sendiri turut berbahagia.Bahagia karena sang teman ini telah kembali berbahagia.Bahagia karena di waktu yang mulia ini Allah telah memberikan pelajaran berharga lewat sang teman,dan Bahagia bahwa untuk kesekian kalinya,telah ada yang mengingatkan bahwa Jangan pernah putus harapan dari Allah"



***



Beberapa hari kemudian.Cuaca kota nabi ini masih begitu panas.Peluh membasahi sekujur tubuh mengeluarkan aroma yang tidak sedap.Beruntung kebiasaan membawa minyak wangi di kantong paling tidak cukup untuk mengurangi aroma tidak sedap tersebut.Setelah berwudlu, aku pun melangkah ke dalam mesjid untuk melaksanakan shalat Ashar yang tidak sempat ku ikuti secara berjama'ah karena terjebak macet.



Aku berdiri menghadap kiblat.Sebelum takbir , Ku layangkan pandangan ku ke seluruh area mesjid.Pandangan ku berhenti tatkala melihat ke arah mihrab,sesosok tubuh yang begitu familiar sedang duduk bertafakkur disana.Terlihat air matanya mengalir deras.Aku pun coba dekati ia perlahan-lahan.Ia sendiri terus menangis , mengeluarkan air mata yang membasahi seluruh mukanya.



Dan ku dengar sayup-sayup isaknya lirih tak berhenti berucap "hasbiyallah wa ni'mal wakil, ni'mal wawla wa ni'man nashir"...

Friday, 17 June 2011

Kembali ke Idealita Sistem


Tulisan ringan,semoga jadi bahan renungan,di kala idealita sistem PII mulai mengalami degradasi penerapan Sistemnya (Kalaulah tanpa Sistem lantas apa yang Jadi Standar gerakan kita … ? )
Di suatu petang, saya sempat chating via yahoo messenger dengan salah seorang keluarga besar Pelajar Islam Indonesia ( PII ) yang berada di Indonesia.Obrolan yang diawali basa – basi santai antara seorang “alumni PII” dan aktifis PII ini lalu meningkat ke diskusi sederhana mengenai kondisi realita ummat islam di Indonesia.Seperti biasa,diskusi dengan Kader PII sangatlah menarik.Mengingat iklim intelektual yang selalu dibangun PII dalam setiap kegiatannya.Di akhir diskusi, kakanda keluarga besar tersebut  mengetikkan sebaris kalimat yang cukup menyentak perasaan saya “ 63 tahun lebih umur PII,hari ini apa lagi yang bisa PII berikan untuk ummat ? ”
Lembar sejarah Perjuangan Ummat Islam  Indonesia telah mengukir organisasi Pelajar Islam Indonesia ( PII ) sebagai salah satu aktor yang cukup banyak memberikan kontribusinya.Di tengah kegalauan Bangsa Indonesia yang masih sangat muda dan sarat dengan masalah, PII muncul untuk menjadi pemersatu antara barisan pelajar umum yang berorientasikan “dunia” dan kaum santri yang berorientasikan “akhirat”.Masjid Kauman Yogyakarta dan Jalan Margomulyo nomor 8 pun menjadi saksi kebangkitan PII waktu itu.
PII pun turut andil menumpas gerakan Komunis PKI yang dipimpin Muso di Madiun.PII dengan sayap brigadenya juga ambil bagian dalam melawan agresi belanda II.Bahkan PKI pun menjadikan PII sebagai “musuh alami ”nya yang mereka buktikan dengan peristiwa Kanigoro (kanigoro affair).Sebuah peristiwa dimana massa PKI dengan beringas menyerbu lokasi pengkaderan PII di sebuah masjid di Kanigoro yang tujuannya untuk menciutkan nyali para kader PII.Namun bukannya takut,PII malah semakin menegaskan kesungguhannya dalam memperjuangkan eksistensi Islam dan Indonesia.Jargon “Tandang ke gelanggang walau seseorang” pun dimunculkan waktu itu untuk membakar semangat kader PII dalam berjuang.
Perjuangan PII tetap berlanjut setelah kejadian Kanigoro affair tersebut.PII turut andil dalam gerakan eksponen 66 lewat KAPPI yang diketuai oleh Kanda Muhammad Husni Thamrin.Kader PII turun ke jalan,menyuarakan aspirasi rakyat yang selama ini terkekang oleh Demokrasi terpimpin ala Presiden Soekarno.PII lewat KAPPI pun turut membidani kelahiran TRITURA ( Tiga Tuntutan Rakyat ) yang menyuarakan perbaikan sistem di Indonesia.
Masa-masa selanjutnya,kader PII terus aktif berdakwah di segala penjuru nusantara.Menyiarkan islam ke berbagai pelosok negeri.Nilai – nilai intelektual ,akademik, dan Islami  memberikan nuansa tersendiri dalam setiap kegiatan yang diselenggarakan PII.Bahkan ketika PII harus bergerak Underground/bawah tanah akibat dilarang pemerintah Soeharto yang waktu itu mewajibkan seluruh organisasi agar menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal dimana PII memilih bertahan dengan asas Islamnya dan kemudian di bubarkan.
Sekarang masa-masa tersebut telah berlalu.Paska peristiwa jatuhnya orde baru tahun 1998,PII pun kembali muncul ke permukaan.Tiada lagi tentara,polisi ataupun intel yang setiap saat menggerebek lokasi kegiatan PII.Semua kegiatan PII bebas dilaksanakan tanpa ada yang melarang.Pertanyaan besar pun muncul melihat realita gerakan PII hari ini yang mulai lemah dan seolah kehilangan orientasi  “apa lagi yang bisa PII berikan untuk ummat hari ini? ”
***
Ilustrasi sejarah perjuangan PII diatas menunjukkan bahwa setiap zaman mempunyai masalah yang berbeda dimana PII harus selalu siap untuk menjawabnya.Masalah tidak bersifat abadi mengingat keberadaannya yang senantiasa berubah sesuai kondisi.Oleh karena itu diperlukan evaluasi dan pembenahan secara terus – menerus dan berulang-ulang agar PII dapat berbuat yang terbaik bagi ummat islam.
Tujuan PII “kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan yang sesuai dengan islam bagi segenap rakyat indonesia dan ummat manusia” sejatinya menggambarkan sebuah sikap idealisme yang empiris dimana  PII senantiasa mengarahkan gerakannya kearah yang idealis namun tetap berpijak dengan realitas masalah sehingga muncul relevansi antara masalah yang terjadi dengan jawaban yang digagas oleh PII.
Ada beberapa hal pokok yang jadi pandangan kita dalam melihat kondisi  PII hari ini.Pertama,kualitas sumber daya kader.Tak bisa dipungkiri bahwa sebagus apapun sistem yang ada dalam tubuh PII,tetap tidak akan bisa berjalan dengan baik kalau kader penggeraknya tidak mumpuni.Oleh karena itu perlunya diadakan kaderisasi yang benar-benar menciptakan kader militan dan mumpuni dalam menjalankan roda organisasi.Hal inilah yang kemudian menjadi persoalan PII hari ini dimana kaderisasi cenderung lamban dan menurun kualitasnya.PII hari ini seringkali lebih mementingkan kuantitas ketimbang kualitas,akibatnya fatal.Roda organisasi berjalan tidak lancar dan semakin hari pun kualitas kader menjadi tambah turun.Kita bisa lihat dari setiap proses kaderisasi yang ada.Training yang di luar standar ditambah dengan ta’lim dan kursus yang tidak berjalan membuat gerak PII semakin pincang.
Kedua,kemampuan organisasi PII untuk menganalisa dan menjawab tantangan.Harus diakui bahwa kualitas analisa dan gerak nyata merupakan kekuatan PII dalam melakukan setiap gerakan.Sayang,lemahnya pelaksanaan kaderisasi berimplikasi pada tubuh organisasi dimana kader-kader yang menjadi penggerak tidak cukup mampu dalam menganalisa kebutuhan sosial,bahkan untuk melakukan sebuah gerakan.Sehingga seringkali gerakan yang dimunculkan PII di tingkat daerah dan Nasional cenderung tidak menghasilkan kontribusi nyata.
Oleh karena itu,PII sebagai organisasi yang gerakannya bertumpu pada  para kadernya, harus kembali ke idealita sistem.Harus kita sadari bahwa kebanyakan kita terlalu sering melanggar sistem yang ada dalam PII.Baik itu sistem kaderisasi (implementasi ta’dib) maupun sistem organisasi.Kasus-kasus seperti percepatan kaderisasi (kader karbitan) maupun lemahnya daya kontrol organisasi terhadap kader sudah saatnya untuk kita benahi.
Sistem ta’dib (training,ta’lim dan kursus) sejatinya sudah cukup ideal,namun dalam pelaksanaan seringkali ada yang terlupakan ataupun ditoleransi melewati batas.Sebut saja kasus – kasus kader intermediate training maupun advance training yang lulus di luar standar,Kader-kader paska training yang tanpa follow up ,serta ta’lim dan kursus yang sangat jarang dilaksanakan.Untuk itu kedepan perlunya sikap idealis kita dalam mengimplementasikan sistem ta’dib secara komprehensif agar kader yang dihasilkan benar-benar mumpuni.
Begitu juga dengan kontrol organisasi terhadap kader.Masalah-masalah kuno yang cukup membuat PII hari ini dipandang sebelah mata seperti kader PII yang perokok,yang bermasalah di sekolah,yang  pemalas,bahkan yang pacaran semestinya mulai dikritisi dan ditindak dari sekarang.
Tentunya diperlukan kesadaran massif dari seluruh anggota dan kader PII dalam melaksanakan idealisasi sistem ini Agar ke depan PII bisa lebih meneguhkan posisinya sebagai salah satu aktor bangsa dan ummat islam yang berkontribusi nyata.Mengutip perkataan Rakanda Muh.Husni Thamrin dalam bukunya “Gerakan Eksponen ‘66” – Massa yang militan,dinamis,dan tidak destruktif tidak akan terbentuk tanpa menyiapkan pressure group dengan sebaik-baiknya,perlu waktu dan latihan-latihan serta pembinaan secara intens – mari bersama-sama kita wujudkan kader PII yang militan dan  dinamis dengan menerapkan sistem yang telah ada secara komprehensif.
*Oleh : Zamzami Saleh
Ketua Umum
Perwakilan PII Mesir 2010-2012
*Tulisan ini juga di muat di Buletin “Musafir” PWK PII Mesir Edisi Desember 2010

Pentas muslimah Sebagai aset dakwah


Sifat Islam sebagai agama fitrah yang hadir berupa panduan untuk seluruh manusia, baik lelaki maupun perempuan menunjukan bukti yang nyata wujud dari sebuah tanggungjawab kekhalifahan di muka bumi ini. Petunjuk tersebut dapat kita temukan dalam kitab suci Al-Quran bahwa Mayoritas dari setiap perintah keagamaan bersifat ijmaly (umum) yang merangkum kaum lelaki dan perempuan, seperti halnya Islam pun tidak sama sekali membedakan antara mereka dari segi tanggungjawab di atas bumi juga pembalasan di akhirat nanti.
Kontribusi muslimah di dalam gerakan dakwah menjadi  sesuatu yang tidak dapat dinafikan lagi. Contoh ini telah dibuktikan oleh para muslimah terdahulu seperti Khadijah binti Khuwailid sebagai perempuan pertama yang menyambut seruan Iman dan Islam, Aisyah binti Abu Bakar sebagai salah satu gudang ilmu, Ummu Ammarah Nusaibah binti Ka’ab yang mati-matian di medan Uhud dan beberapa kali terlibat dalam peperangan khususnya bagian logistik dan medis , Sumaiyah binti khubath, orang pertama yang mendapat gelar syahidah seorang budak perempuan dari Mekkah yang dinikahi oleh seorang Yasir bin Amir bin Malik. Sumayyah menjadi syahidah ketika ia menentang umpatan dan sumpah serapah Abu Jahal yang mengolok-olok Rasulullah saw, sejarah diatas adalah bukti konkret bahwa peran muslimah memiliki cakupan jauh lebih luas dari hanya sekadar beroperasi di dalam rumahnya.
Namun legalitas tersebut bukan sebagai dalih atas ideologi baru seputar dunia wanita, jika kita mereview kembali muslimah pada era kekinian, tidak sedikit yang telah terkontaminasi oleh corak globalisasi yang tidak terfilter dengan baik, corak ini terlihat dari munculnya ide-ide emansipasi dan feminisme negatif  yang demikian santer di dunia bagian barat, erat kaitannya dengan Women Liberation movement ( gerakan pembebasan wanita ). Gerakan ini dikenal dengan sebutan “ Women’s Lib ( WL ) kedua  ideologi tersebut seringkali membuyarkan peran strategis wanita muslim sebagai aset dakwah yang tidak melulu harus dikolerasikan dengan ragam aktifitas yang ingin disejajarkan dengan laki-laki saja, tapi lebih dari itu yakni kembali kepada diri muslimah sendiri, kesadaran akan kodratnya sehingga gerak-gerik yang ia hasilkan selalu berlandaskan islam. Lazimnya perempuan=perempuan muslim tidak perlu resah, karena islam sejatinya sangat memuliakan wanita serta memberikan hak-haknya di ranah keagamaan, intelektual juga sosial.
Ada beherapa pilar yang dapat dijadikan sandaran bagi muslimah untuk berkiprah dalam lapangan dakwah di masyarakat:
Pertama, Pria dan wanita memiliki derajat hak dan tanggung jawab yang sama disisi Allah Ta’ala. Namun jangan beranggapan bahwa persamaaan ini juga mcnuntut tugas yang sama. kcduanya bagaikan dua bintang yang berada dalam orbit berbeda. namun saling melengkapi. Untuk itu, keduanya pun harus memiliki bekal yang cukup sehingga tugas yang diletakkan pada pundaknya dapat terlaksana.
Kedua, pria dan wanita diberi bekal fitrah dan potensi yang sama. Saat Allah Ta’ala menciptakan manusia, tak pernah dibedakan apakah ia perempuan atau laki-laki. Karena itu, peluang perempuan untuk berprestasi terbuka sama lebarnya dengan laki–laki. Tinggal sekali lagi, tentu keduanya berada pada orbit masing-masing.
Maka tak heran jika Rasulullah saw memuji wanita Anshar yang giat bertanya: ,,Allah akan merahmati wanita Anshar, mereka tidak malu-malu lagi mempelajari agama.”
Ketiga, wanita islam haruslah wanita yang penuh dengan vitalitas dan kerja nyata. Rasulullah saw menganjurkan agar kaum wanita selalu berkarya,”Sebaik–baik canda seorang mukminah di rumahnya adalah bertenun.” (Asadul Ghabah, jilid 1 hal.241)
Qailah Al-Anmariyah, seorang sahabiyah yang juga pedagang, pernah bertanya pada Rasul: ,,Ya Rasulullah, saya ini seorang pedagang. Apabila saya mau menjual barang, saya tinggikan harganya di atas yang diinginkan, dan apabila saya membeli saya tawar ia di bawah yang ingin saya bayar. Maka Rasul menjawab,” Ya, Qailah! Janganlah kau berbuat begitu. kalau mau beli, tawarlah yang wajar sesuai yang kau inginkan. dikasih atau ditolak.”  Islam tidak melarang seorang wanita menjadi dokter, guru sekolah, tokoh masyarakat, perawat, peneliti dalam berbagal bidang ilmu, penulis, penjahit serta profesi lain sepanjang itu tidak bertentangan dcngan kodrat kewanitaanya.
Keempat, hendaknya aktivitas di berbagai bidang itu tidak melupakan tugas utama seorang wanita  sebagai  penanggung-jawab masalah kerumah-tanggaan
Jika keserasian ini terjaga, maka tak hanya ummat Islam yang heruntung karena mendapat tambahan tenaga dan partner baru dalam berjuang, di samping itu pula kita menyadari bahwa tanggungjawab yang kita pikul lebih besar dari kapasitas kemampuan yang kita miliki, oleh karenanya posisi manusia sebagai mahluk sosial yang tidak dapat hidup secara individualis menunjukan perlunya kerjasama dan kebersamaan (jamaah) dalam upaya  mendukung ruang gerak dakwah kita, agar senantiasa mengantarkan kepada clta-cita menegakkan kalimat Allah, begitupun cita-cita Islam tidak akan tercapai jika kita hanya menyatakan bahwa Islam itu benar, indah dan sempurna tetapi kebenaran, keindahan dan kesempurnaan itu tidak kita perjuangkan dan kita dakwahkan. Semoga Allah Ta’ala selalu menyertai langkah kita semua. Amilin
*oleh : Marisa Pitria
Ketua IV Bidang PII Wati
Perwakilan PII Mesir 2010-2012
*Tulisan ini juga di muat di Buletin “Musafir” PWK PII Mesir Edisi Desember 2010

Memaknai Kedermawanan


Pak Udin,begitu kami biasa memanggilnya.Umurnya sudah cukup tua,mungkin lebih dari 50 tahun.Aku sendiri tak tahu pasti berapa tepatnya,namun dari cara berjalannya yang sudah mulai goyah,kulitnya yang kelihatan lunak dan keriput serta guratan wajahnya yang lelah, aku yakin bahwa tebakanku tentang umur nya tidak terlalu jauh meleset.
Pak Udin tinggal di rumah sangat sederhana bekas perumahan jatah untuk kepala SLTP di Kecamatanku.Rumah berukuran 6 x 9 meter itu ditempati pak udin beserta istri dan anak-anaknya yang berjumlah 3 orang.Kebetulan rumah jatah tersebut sudah lama tidak dihuni oleh Kepala SLTP yang bertugas.Yang kutahu beberapa kepala SLTP terakhir yang ditugaskan kesini,lebih memilih untuk tinggal di rumah kontrakan ketimbang menghuni rumah “resmi” ini.Daripada rumah ini tertinggal tak berpenghuni dan akhirnya akan menjadi sarang jin,Pak Udin pun menawarkan diri untuk menghuni rumah tersebut.Gayung pun bersambut,pihak SLTP setuju dan menerima “proposal” pak Udin untuk tinggal disana.
Sehari-harinya pak Udin bekerja menjual kacang rebus.Jam kerjanya dari habis Ashar sampai jam 12 malam.Pagi harinya ia kerja menjadi buruh di salah satu sawah milik orang kaya dikampungku.Terkadang beberapa kerja sampingan pun dilakoninya untuk menambah penghasilan keluarga.Pernah kulihat ia menjadi salah satu buruh dalam proyek pembangunan jalan di desaku,dilain waktu aku pun pernah melihatnya mengangkut gerobak beras di pasar.Kehidupan nya yang miskin ditambah dengan 3 orang anaknya yang masih dalam bangku pendidikan,membuatnya harus bekerja sangat keras untuk memenuhi kebutuhan tersebut meskipun umurnya sudah terlalu tua untuk melakoni pekerjaan itu.
***
Malam itu ,dipertigaan jalan tempat biasanya para penjual makanan ringan berjejeran,kulihat wajah pak Udin tampak murung.Ada gurat kesedihan yang memancar dari wajahnya yang tua itu.Aku pun lantas mendekati gerobak kacang rebus miliknya.Kepulan asap lembut dan harum khas kacang rebus pun sontak menyapa hidungku.”Pak bungkusin kacangnya satu dong ! ” sapaan ku membuyarkan lamunannya,entah apa yang sedang dipikirkannya,tapi sangat jelas wajahnya memancarkan kesedihan.
Rupanya malam itu,tak banyak uang yang diperoleh Bapak 3 anak tersebut.”Bahkan untuk modal saja belum cukup” lirihnya sembari memasukkan kacang rebus kedalam kantong plastik.Tanpa banyak pikir,aku pun menambah pesananku  5 kantong lagi.Pikirku sambil menolong Jualannya Pak Udin,toh nanti malam kacang ini bisa menjadi konsumsi saat menonton pertandingan Final Liga Champion dengan beberapa orang temanku.Pak Udin pun tersenyum mendengar pesananku sembari berucap syukur.Tapi tetap saja belum menghilangkan gurat murung di wajahnya. Lukisan di wajahnya itu yang memaksa aku untuk lebih lama lagi di tempat itu, namun bukan untuk menambah pembelian jumlah kacang. “Sudah berapa banyak terjual malam ini Pak?” tanyaku mengagetkannya. Nampaknya ia tak menyangka mendapat pertanyaan itu.
Pak Udin kelihatan berpikir sebentar.Lantas kemudian berkata ” Kebetulan 3 hari belakangan penjualan bapak berkurang nak,cuma uang kembali modal yang bisa dibawa pulang,kalaupun ada lebihnya itu pun sangat sedikit,tapi…” Pak Udin menghentikan kalimatnya dan tertunduk sesaat.Seakan tersadar aku sedang memperhatikan wajahnya,buru-buru ia menegakkan kepalanya dan memaksakan senyum pada wajahnya.
“Kenapa Pak? Kok sedih,” aku lihat dengan jelas ia sangat bersedih dan menduga kesedihan itu dikarenakan sedikitnya keuntungan yang diperolehnya tiga malam terakhir. Namun ternyata dugaanku salah. “Bukan itu nak, biar cuma jualan kacang rebus dan hidup sederhana ,Bapak merasa sebagai orang berpenghasilan. Bapak nggak mau dianggap orang lemah, dan oleh karena itu bapak selalu menyisihkan sedikit dari keuntungan berjualan kacang rebus untuk zakat atau sedekah ke orang yang lemah dan membutuhkan…”
Aku terkejut mendengar jawabannya,nyaris tak ada kata yang bisa terucap dari mulutku saat mendengar alasannya.Aku hanya bisa pamit pulang pada beliau.Aku  lantas paham apa yang disedihkan oleh Pak Udin,dengan penjualannya yang tanpa keuntungan,bagaimana ia bisa berinfak ?.
“Entah berapa yang bisa bapak sedekahkan dari sedikit keuntungan bapak malam ini ?” Kalimat terakhir yang menohok makna kedermawanan yang selama ini ku pahami.Kalimat itu pula yang membayangiku sepanjang malam.Final Liga Champion pun tak menarik lagi…

*Oleh : Zamzami saleh

Belajar Menerima Kesalahan Sendiri

Mungkin diantara pekerjaan yang mudah dilakukan di dunia ini adalah Menuding alias menyalahkan orang lain atas setiap kegagalan yang terjadi.Pengkambing hitaman terhadap seseorang tak jarang menjadi reaksi kita pertama kali ketika melakukan kesalahan.Yah kesalahan apapun itu,baik dari yang tarafnya “sepele” seperti gagal dalam ulangan harian,kalah main kelereng,terjatuh dari sepeda ,sampai yang masuk daerah “serius” seperti masalah pekerjaan,keretakan rumah tangga dan hubungan sosial kemasyarakatan.Selalu ada saja orang yang kita anggap ikut andil dalam proses kegagalan tersebut.


Saya sendiri teringat,dahulu ketika masih berseragam putih biru dan duduk dibangku salah satu pesantren ternama di kota Bukittinggi.Waktu itu saya hidup di kos-kosan bersama dengan beberapa teman dari daerah-daerah lain.Suatu malam terjadi hubungan pendek di Kamar saya yang membuat lampu kamar saya mati.Karena memiliki bakat dalam dunia “perlistrikan” saya kemudian mencoba memperbaiki kabel sambungan lampu tersebut,sambil mengkreasikannya dengan membuat lampu-lampu kecil warna-warni dengan daya kurang dibawah 5 watt.Pengerjaan tersebut pun hanya di terangi dengan sebatang lilin.

Beberapa teman pun kemudian masuk ke kamar,melihat-lihat proses kerja saya.Sayang beberapa teman kemudian mengeluarkan komentar-komentar yang membuat konsentrasi saya hilang.Walhasil ketika lampu tersebut saya colokan kembali,lampu utamanya berhasil hidup dan menerangi kamar saya,namun lampu kecil warna-warni yang saya kreasikan ternyata tidak hidup dengan sempurna,bahkan ada yang hangus terbakar tak tahu kenapa.Saya kemudian langsung menyalahkan teman saya yang mengganggu konsentrasi saya tadi.Bahkan karena emosi saya yang meledak waktu itu-mungkin faktor kecewa plus capek- bogem mentah pun saya layangkan ke muka dan kepala teman saya tersebut.Dan malam itu pun terjadi drama action martial art di kamar saya sebelum dilerai oleh teman-teman yang lain.

Pengalaman saya diatas mungkin menjadi salah satu kisah kecil penudingan dari sekian juta kisah lain yang mungkin terjadi di dunia ini.Di sekolah misalnya,ketika angka 4 tertera dalam lembaran jawaban ujian fisika,dengan mudah kita berkata “guru tak Becus mengajar” atau “Apa yang diajarkan guru berbeda dengan yang diujikan” atau bahkan “Memang,guru fisika itu sudah lama sentiment dengan saya”.Ketika gagal dalam Ujian naik kelas,mulut kita seakan respon berujar “ Bagaimana tidak gagal,sarana dan prasarana yang mendukung pembelajaran tidak lengkap di sekolah ini “ atau “ Maklumlah suasana kelas ga mendukung untuk konsentrasi belajar “.

Ketika kita bekerja dan terlambat dalam memberikan laporan tugas kepada atasan,komputer pun jadi sasaran “ ah dasar komputernya soak,error melulu,mana printernya ngadat lagi”.Tugas makalah kelompok yang gagal presentasi yang mengakibatkan kita di evaluasi habis-habisan oleh Dosen,teman sekelompok pun dianggap biang kegagalan karena tidak kooperatif dan tidak banyak membantu.

Dalam kehidupan rumah tangga dan bermasyarakat pun tak jarang penudingan itu dilakukan.Anak menangis,mengadu kepada bapaknya bahwa dia dipukul oleh temannya.Tak ayal sang bapak pun mencak-mencak dengan bermacam-macam makian tanpa mau tahu siapa yang salah,dan siapa yang memulai.Kehancuran rumah tangga pun tak jarang memunculkan orang ketiga dan keempat yang dianggap biang kehancuran,padahal siapa tahu kealpaan – kealpaan serta kekurangan dalam pergaulan rumah tangga lah penyebab utama yang kemudian terlupakan.

Dalam berorganisasi pun sering terjadi demikian.Ketika ada kegiatan yang pengunjungnya sedikit,orang lain pun jadi sasaran,dianggap tidak mau mendukung kegiatan organisasi kita.Ketika ada kegagalan dalam pelaksanaan program kerja,partner pun jadi “korban”,dianggap tidak banyak andil dan lebih banyak kerja ga jelas.Dan masih banyak lagi contohnya.

Kita sering terlupakan bahwa seringkali kegagalan yang menimpa kita,ternyata tidak kita sikapi sebagaimana mestinya.Dengan spontan mulut kita langsung berujar,mencari kambing hitam atas setiap kesalahan.Padahal kalau kita telusuri lebih lanjut,ternyata kesalahan kita lah penyebab dari kegagalan tersebut.Kita bisa jadi alpa untuk mengantisipasi beberapa celah kesalahan sehingga tak jarang kegagalan tersebut murni kita lah penyebabnya.Sayangnya,seringkali pandangan dan pikiran yang jernih untuk melihat kegagalan tersebut, tertutupi rasa kecewa yang mendalam.Rasa tidak ingin disalahkan pun menjadi rentetan ketidak arifan dalam menyikapi kegagalan tersebut.Sikap defensif yang kita miliki pun akhirnya mengalahkan sikap untuk menerima kesalahan tersebut dengan arif dan menjadikannya pembelajaran kedepan.

***

Sikap menerima kesalahan sendiri dan mengambil pelajaran atas segala kegagalan yang terjadi semestinya mulai kita munculkan dan kita biasakan dalam kehidupan kita.Setidaknya hari ini mari kita usahakan untuk meminimalisirnya.Mari kita mulai dari diri sendiri,bertekad untuk tidak menuding orang lain tatkala ada kegagalan yang menimpa.Jadikan sikap menerima kesalahan sebagai langkah awal untuk meng’arifi seluruh episode kehidupan kita di dunia ini.

Dan tatkala kita mampu menerapkannya kedalam diri kita,ajaklah keluarga dan orang terdekat untuk melakukan hal yang sama.Saya terbayangkan sebuah komunitas masyarakat,terdiri dari orang-orang yang berani mengakui dan menerima kesalahannya serta menjadikan kesalahan dan kegagalan tersebut sebagai pembelajaran untuknya ketimbang menuding orang lain atas kesalahannya.Duh pasti nikmat hidup dalam komunitas seperti itu.Menikmati pergaulan dengan orang-orang yang secara berani bertanggung jawab atas segala kesalahan dan kegagalannya.Alangkah indahnya dan bahagianya hidup ini.

Mari kita mulai detik ini juga,belajar menerima kesalahan diri sendiri tanpa tudingan dan tanpa kambing hitam.Insya Allah kita bisa……

Pengantar Ilmu Ushul Fiqh


A. Ta’rif dan Obyek Pembahasan Ushul Fiqh

kata ushul fiqh adalah kata ganda yang berasal dari kata “ushul” dan “fiqh” yang secara etimologi mempunyai arti “faham yang mendalam”. Sedangkan ushul fiqh dalam definisinya secara termologi adalah ilmu tentang kaidah-kaidah yang membawa kepada usaha merumuskan hukum-hukum syara’ dari dalil-dalinya yang terperinci. Adapun definisi ini dikemukakan oleh Amir Syarifudin. Dan Berikut merupakan definisi-definisi ushul fiqh menurut ulama ushul yang lain:

  • Abdul Wahab Khalaf memberikan definisi bahwa ushul fiqh adalah pengetahuan tentang kaidah dan pembahasannya yang digunakan untuk menetapkan hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalilnya yang terperinci.

  • Al-Ghazali mena’rifkan ushul fiqh sebagai ilmu yang membahas tentang dalil-dalil hukum syara’ dan bentuk-bentuk penunjukan dalil terhadap hukum syara’. As-Syaukani mendefinisikan ushul fiqh sebagai ilmu untuk mengetahui kaidah-kaidah, yang mana kaidah tersebut bisa digunakan untuk mengeluarkan hukum syara’ berupa hukum cabang (furu’) dari dalil-dalilnya yang terperinci.


  • Ulama Syafi’iy mendefinisikan ushul fiqh sebagai berkut: “Mengetahui dalil-dalil fiqh secara global dan cara menggunakannya, serta mengetahui keadaan orang yang menggunakannya.“


Definisi ini mengambarkan bahwa obyek pembahasan ushul fiqh adalah dalil syara’ yang bersifat umum ditinjau dari ketepatannya terhadap hukum syara’ yang bersifat umum pula. Atau secara praktis obyek pembahasan ushul fiqh adalah dalil-dalil syara’ dari segi penunjukannya kepada hukum atas perbuatan orang mukallaf. Ushul fiqh juga membahas bagaimana cara mengistinbatkan hukum dari dalil-dalil, seperti kaidah mendahulukan hadis mutawatir dari hadis ahad dan mendahulukan nash dari dhahir. Dalam pembahasan tentang sumber hukum, dibahas pula tentang kemungkinan terjadinya kontradiksi antara dalil-dalil dan cara penyelesaiannya. Dan dibahas pula tentang orang-orang yang berhak dan berwenang dalam melahirkan hukum syara’.

B. Tujuan Ushul Fiqh

Setelah mengetahui definisi ushul fiqh beserta pembahasannya, maka sangatlah penting untuk mengetahui tujuan dan kegunaan ushul fiqh. Tujuan yang ingin dicapai dari ushul fiqh yaitu untuk dapat menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dali syara’ yang terperinci agar sampai pada hukum-hukum syara’ yang bersifat amali. 
Dengan ushul fiqh pula dapat dikeluarkan suatu hukum yang tidak memiliki aturan yang jelas atau bahkan tidak memiliki nash dengan cara qiyas, istihsan, istishhab dan berbagai metode pengambilan hukum yang lain. Selain itu dapat juga dijadikan sebagai pertimbangan tentang sebab terjadinya perbedaan madzhab diantara para Imam mujathid. Karena tidak mungkin kita hanya memahami tentang suatu hukum dari satu sudut pandang saja kecuali dengan mengetahui dalil hukum dan cara penjabaran hukum dari dalilnya. 
Para ulama terdahulu telah berhasil merumuskan hukum syara’ dengan menggunakan metode-metode yang sudah ada dan terjabar secara terperinci dalam kitab-kitab fiqh. Kemudian apa kegunaan ilmu ushul fiqh bagi masyarakat yang datang kemudian?. Dalam hal ini ada dua maksud kegunaan, yaitu:
Pertama, apabila sudah mengetahui metode-metode ushul fiqh yang dirumuskan oleh ulama terdahulu, dan ternyata suatu ketika terdapat masalah-masalah baru yang tidak ditemukan dalam kitab terdahulu, maka dapat dicari jawaban hukum terhadap masalah baru itu dengan cara menerapkan kaidah-kaidah hasil rumusan ulama terdahulu.

Kedua, apabila menghadapi masalah hukum fiqh yang terurai dalam kitab fiqh, akan tetapi mengalami kesulitan dalam penerapannya karena ada perubahan yang terjadi dan ingin merumuskan hukum sesuai dengan tuntutan keadaan yang terjadi, maka usaha yang harus ditempuh adalah merumuskan kaidah yang baru yang memungkinkan timbulnya rumusan baru dalam fiqh. Kemudian untuk merumuskan kaidah baru tersebut haruslah diketahui secara baik cara-cara dan usaha ulama terdahulu dalam merumuskan kaidahnya yang semuanya dibahas dalam ilmu ushul fiqh

C. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ushul Fiqh

Ushul fiqh merupakan komponen utama dalam menghasilkan produk fiqh, karena ushul fiqh adalah ketentuan atau kaedah yang harus digunakan oleh para mujtahid dalam menghasilkan fiqh. Namun dalam penyusunannya ilmu fiqh dilakukan lebih dahulu dari pada ilmu ushul fiqh.

Secara embrional ushul fiqh telah ada bahkan ketika Rasulullah masih hidup, hal ini didasari dengan hadits yang meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah bertanya kepada Muadz bin Jabal ketika diutus untuk menjadi gubernur di Yaman tentang apa yang akan dilakukan apabila dia harus menetapkan hukum sedangkan dia tidak menemukan hukumnya dalam al-Qur’an maupun as-Sunah, kemudian Muadz bin Jabal menjawab dalam pertanyaan terakhir ini bahwa dia akan menetapkan hukum melalui ijtihadnya, dan ternyata jawaban Muadz tersebut mendapat pengakuan dari Rasulullah. Dari cerita singkat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Rasulullah pada masanya telah mempersiapkan para sahabat agar mempunyai alternatif cara pengambilan hukum apabila mereka tidak menemukannya dalam al-Qur’an maupun as-Sunah. Namun pada masa ini belum sampai kepada perumusan dan prakteknya, karena apabila para sahabat tidak menemukan hukum dalam al-Qur’an mereka dapat langsung menanyakan pada Rasulullah.

Perumusan fiqh sebenarnya sudah dimulai langsung setelah nabi wafat, yaitu pada periode sahabat. Pemikiran ushul fiqh pun telah ada pada waktu perumusan fiqh tersebut. Diantaranya adalah Umar bin Khatab, Ibnu Mas’ud dan Ali bin Abi Thalib yang sebenarnya sudah menggunakan aturan dan pedoman dalam merumuskan hukum meskipun belum dirumuskan secara jelas.
Sebagai contoh, sewaktu sahabat Ali menetapkan hukum cambuk sebanyak 80 kali terhadap peminum khomr, beliau berkata “Bila ia minum ia akan mabuk, dan bila ia mabuk ia akan menuduh orang berbuat zina. Maka kepadanya dikenakan sanksi tuduhan berzina.” Dari pernyataan Ali tersebut, ternyata sudah menggunakan kaidah ushul, yaitu menutup pintu kejahatan yang akan timbul atau “sad al-Dzariah”. Contoh lain yaitu Abdullah ibnu Mas’ud yang menetapkan hukum berkaitan dengan masalah iddah, beliau menetapkan fatwanya dengan mengunakan metode nasakh-mansukh, yaitu bahwa dalil yang datang kemudian, menghapus dalil yang datang lebih dahulu. Dari dua contoh tersebut setidaknya sudah mampu memberi gambaran kepada kita bahwa para sahabat dalam melakukan ijtihadnya telah menerapkan kaidah atau metode tertentu, hanya saja kaidah tersebut belum dirumuskan secara jelas.

Pada periode tabi’in lapangan istinbat hukum semakin meluas dikarenakan banyaknya peristiwa hukum yang bermunculan. Dalam masa itu beberapa ulama tabi’in tampil sebagai pemberi fatwa hukum terhadap kejadian yang muncul, seperti Sa’id ibn Musayyab di Madinah dan Ibrahim al-Nakha’i di Iraq. Masing-masing ulama menggunakan metode-metode tertentu seperti mashlahat atau qiyas dalam mengistinbatkan hukum yang tidak ada dalam Al-Qur’an dan Hadits.

Berkaitan dengan hal di atas, pada periode ulama, metode-metode untuk mengistinbat hukum mengalami perkembangan pesat diiringi dengan munculnya beberapa ulama ushul fiqh ternama seperti Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’i. Berangkat dari keragaman metode dalam mengistinbatkan hukum inilah yang menyebabkan perbedaan aliran fiqh dalam beberapa madzhab tersebut.

Abu Hanifah menetapkan al-Qur’an sebagai sumber pokok, setelah itu hadits Nabi, baru kemudian fatwa sahabat. Dan metodenya dalam menerapkan qiyas serta istihsan sangat kental sekali.

Sedangkan Imam Malik lebih cenderung menggunakan metode yang sesuai dengan tradisi yang ada di Madinah. Beliau termasuk Imam yang paling banyak menggunakan hadits dari pada Abu Hanifah, hal ini mungkin dikarenakan banyaknya hadits yang beliau temukan. Disamping itu Imam Malik juga menggunakan qiyas dan juga maslahat mursalah, yang mana metode terakhir ini jarang dipakai oleh jumhur ulama.

Selain dua Imam diatas, tampil juga Imam Syafi’i. Ia dikenal sebagai sosok yang memiliki wawasan yang sangat luas, didukung dengan pengalamannya yang pernah menimba ilmu dari berbagai ahli fiqh ternama. Hal ini menjadikan beliau mampu meletakkan pedoman dan neraca berfikir yang menjelaskan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh mujtahid dalam merumuskan hukum dari dalilnya. Kemudian beliau menuangkan kaidah-kaidah ushul fiqh yang disertai dengan pembahasannya secara sistematis yang didukung dengan keterangan dan metode penelitian ke dalam sebuah kitab yang terkenal dengan nama “Risalah“. Risalah ini tidak hanya dianggap sebagai karya pertama yang membahas metodologi ushul fiqh, akan tetapi juga sebagai model bagi ahli-ahli fiqh dan para teoretisi yang datang kemudian untuk berusaha mengikutinya. Atas jasanya ini beliau dinilai pantas disebut sebagai orang yang pertama kali menyusun metode berfikir tentang hukum Islam, yang selanjutnya populer dengan sebutan “ushul fiqh“. Bahkan ada salah seorang orientalis yang bernama N.J Coulson menjuluki Imam Syafi’i sebagai arsitek ilmu fiqh. 
Namun yang perlu digarisbawahi, bahwa bukan berarti beliaulah yang merintis dan mengembangkan ilmu tersebut, karena jauh sebelumnya seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa mulai dari para sahabat, tabi’in bahkan dikalangan para Imam mujtahid sudah menemukan dan mengunakan metodologi dalam perumusan fiqh, hanya saja mereka belum sampai menyusun keilmuan ini secara sistematis, sehingga belum dapat dikatakan sebagai suatu khazanah ilmu yang berdiri sendiri.

Sepeninggal Imam Syafi’i pembicaraan tentang ushul fiqh semakin menarik dan berkembang. Pada dasarnya ulama pengikut Imam mujtahid yang datang kemudian, mengikuti dasar-dasar yang sudah disusun Imam Syafi’i, namun dalam pengembangannya terlihat adanya perbedaan arah yang akhirnya menyebabkan perbedaan dalam usul fiqh. Sebagian ulama yang kebanyakan pengikut madzhab Syafi’i mencoba mengembangkan ushul fiqh dengan beberapa cara, antara lain: mensyarahkan, memperrinci dan menyabangkan pokok pemikiran Imam Syafi’i, sehingga ushul fiqh Syafi’iyyah menemukan bentuknya yang sempurna. Sedangkan sebagian ulama yang lain mengambil sebagian dari pokok-pokok Imam Syafi’i, dan tidak mengikuti bagian lain yang bersifat rincian. Namun sebagian lain itu mereka tambahkan hal-hal yang sudah dasar dari pemikiran para Imam yang mereka ikuti, seperti ulama Hanafiyah yang menambah pemikiran Syafi’i.

Setelah meninggalnya Imam-imam mujtahid yang empat, maka kegiatan ijtihad dinyatakan berhenti. Namun sebenarnya yang berhenti adalah ijtihad muthlaq. Sedangkan ijtihad terhadap suatu madzhab tertentu masih tetap berlangsung, yang masing-masing mengarah kepada menguatnya ushul fiqh yang dirintis oleh Imam-imam pendahulunya.

D. Aliran-aliran dalam Ushul Fiqh dan Kitab-kitabnya

a. Aliran Mutakallimin

Penamaan Ulama Mutakallimim atau ulama kalam tersebut dalam hal ini karena para ulama kalam ini mengikutsertakan paham-paham teologi mereka di dalam penyusunan ilmu ushul fiqh. Keistimewaan ulama ini dalam menyusun ilmu ushul fiqh adalah pembuktian terhadap kaidah-kaidah dan pembahasannya yang dilakukan secara logis dan rasional dengan didukung oleh bukti-bukti yang autentik.

Mereka tidak hanya mengarahkan perhatiannya pada penerapan hukum yang telah ditetapkan oleh para imam mujtahid dan hubungan kaidah khilafiyah saja, melainkan semua hal yang rasional dengan didukung oleh bukti-bukti yang menjadi sumber hukum syara’. Kebanyakan ulama yang ahli dalam aliran ini adalah dari golongan Syafi’iyah dan Malikiyah.

Sedangkan kitab-kitab ushul fiqh yang terkenal dalam aliran ini diantaranya:
1. Al-Mustashfa karangan Abu Hamid al-Ghazali al-Syafi’i (wafat 505 H)
2. Al-Ahkam karangan Abu Hasan al-Amidi al-Syafi’i (wafat 631 H)
3. Al-Minhaj karangan al-Baidhawi al-Syafi’i (wafat 685 H). Sedangkan kitab yang berisi penjelasan dan komentar yang terbaik adalah kitab Syarah al-Asnawi.[11]
4. Al-Mu’tamad karangan Abu Hasan al-Bashri yang dalam aliran kalam ber-aliran Mu’tazilah
5. Al-Burhan karangan Imam Haramain

b. Aliran Hanafiyah

Ulama fuqaha yang paling banyak menggunakan metode ini adalah ulama kelompok Hanafiyah, karena itu metode ushul fiqh yang digunakan dalam aliran ini disebut aliran Hanafiyah.

Para ulama di dalam aliran ini menetapkan kaidah-kaidah dan pembahasan ushul fiqh dengan menggunakan kaidah-kaidah yang telah digunakan oleh imam mereka, dengan tujuan untuk melestarikan atau membumikan karya-karya imam mereka. Oleh karena itu dalam kitab-kitab mereka banyak menyebutkan masalah-masalah khilafiyah. Perhatian mereka hanya tertuju pada penjabaran ushul fiqh imam-imam mereka terhadap masalah khilafiyah mereka sendiri. Namun kadangkala mereka juga memperhatikan kaidah-kaidah ushul fiqh dalam perkara-perkara yang sudah disepakati. Adapun kitab-kitab yang terkenal di dalam aliran ini antara lain:

1. Kitab Ushul karangan al-Karahki
2. Kitab al-Ushul karangan Abu Bakar al-Razi
3. Kitab Ta’sis al-Nadzar karangan al-Dabbusi
4. Al-Manar karangan al-Hafidz al-Nasafi (wafat 790 H).
Sedangkan kitab yang berisi pembahasan dan komentar yang terbaik adalah kitab Misykatul Anwar.

c. Aliran Pembaharu

Ada sebagian ulama lain yang menyusun ilmu ushul fiqh dengan menggabungkan antara dua metode di atas. Maksudnya mereka mencoba memberikan bukti kaidah-kaidah ushul fiqh yang sekaligus membeberkan dalil-dalilnya dan menerapkan kaidah-kaidah itu terhadap masalah-masalah khilafiyah.

Kitab-kitab ushul fiqh yang merupakan gabungan dari kedua metode di atas antara lain adalah:
1. Kitab Badi’un Nidham karangan Muzhaffaruddin al-Baghdadi al-Hanafi (wafat tahun 694 H). Kitab ini merupakan gabungan dari kitab karangan bazdawi dengan kitab al-Ahkam.
2. Kitab al-Taudhih li shadris Syari’ah dan kitab al-Tharir karangan Kamal bin Hamam
3. Kitab Jam’ul Jawami’ karangan Ibnus Subuki, beliau merupakan ulama dari madzhab syafi’i.

Pesan untuk Intelektual Muda (Aktivis)


“Kalau kaum politik tidak mengindahkan kepentingan rakyat, mestilah kaum penulis mengindahkannya.”
Pramoedya Ananta Toer

Sejarah negeri ini tidak pernah terlepas dari peran para pemuda yang tergabung dalam kelompok-kelompok aktivis. Mereka dengan kesadaran dan keamampuan untuk mengorganisir secara baik mampu membuat perubahan dibeberapa bidang. Contoh nyata adalah peristiwa reformasi 1998 yang dipelopori kaum mahasiswa sebagai intelektual muda. Namun saya juga tidak sepaham bila yang dikatakan kaum intelektual muda hanyalah mereka yang berada dijajaran universitas, kaum pelajar pun pernah menorehkan sejarah sebagai pelopor perubahan dan menjadi pengkritis kebijakan pemerintah pada masa itu, missal organisasi PII yang memilki basis pelajar menjadi salah satu penentang kebijakan represif Orde Baru.
Namun sayang perubahan yang terjadi bukan malah menjadikan mereka para aktifis muda ini menjadi lebih kritis dan memberikan nilai lebih dimasyarakat. Gaung reformasi yang dianggap sebagai sebuah prestasi para aktivis dalam merubah struktur dan tatananan sosial berbanding terbalik dengan yang terjadi dikalangan intelektual muda kita. Ujung-ujungnya mereka justru kembali terlena dengan gaya hidup yang tidak jelas, hedonis, kemampuan berpikir kritis yang amat minim, dan umumnya penyakit itu yang sekarang menerpa para aktifis-aktifis muda kita. Apa yang menyebabkan mereka menjadi sedemikian kaku begini?
Rabun membaca lumpuh menulis……
Saya kira itu persoalan yang menjadi penyebab kemunduran dari inteletual-intelektual muda kita khususnya para aktifis., walaupun mungkin masih banyak persoalan lain. Kemampuan mereka untuk berorasi, kemampuan untuk meyakinkan public tidak diimbangi dengan kemampuan mereka dalam membaca, buruknya kemampuan dalam hal menulis. Padahal membaca dan menulis adalah salah satu katalisator perubahan, sejarah perubahan negeri ini tidak pernah terlepas dari mereka para aktifis-aktifis yang memilki kemauan dalam memetakan pemikirannya melaui bentuk tulisan. Faktanya, hanya beberapa ekor aktivis 98 yang bersedia berjuang dalam kesunyian dan menjauhi dunia gemerlap keaktivisan untuk melahirkan tulisan-tulisan yang membawa propaganda penyadaran masyarakat (Anjrah Lelono Broto)..
Padahal tradisi menulis dan membaca memiliki nilai lebih mulia nan agung. Dalam agama pun membaca dan menulis tertuang didalam kitab suci, sebut saja ayat Iqra’ dalam surah al-‘alaq yang berarti ‘baca’,namun ummat nampaknya menanggapi ini dengan berlainan persepsi sehingga makna membaca ini adalah membaca secara empiris bukan secara visual.
Dalam Al-Qur’an sendiri terulis, “Nun, demi pena dan apa yang mereka tulis.” (Qs. Al-Qolam [68] ayat 1). Dalam beberapa ayat al-Qur’an ketika ayat yang berbunyi demi matahari berarti menunjukkan sumpah Tuhan akan pentingnya peran matahari dalam siklus kehidupan kita, ’demi waktu’ mengartikan pentingnya efisiensi waktu agar dapat lebih memanfaatkannya secara produktif.  Nah, ketika ayat demi pena ini tertulis, menunjukan betapa pentingnya peran dari sebuah tulisan yang mengalir melalui tinta-tinta ilmuan atau para intelektual. Malahan dalam sebuah hadis disebutkan Nabi memuji para ulama yang menuangkan gagasannya kedapam tulisan, “Di akhirat nanti, tinta para ulama itu, akan ditimbang dengan darah para syuhada”.
Situasi semakin diperparah dengan sistem pembelajaran kita yang masih menempatkan budaya membaca dan menulis kedalam status anak tiri. Coba kita lihat sendiri tidak ada mata pelajaran manapun yang mewajbkan siswanya untuk aktif dan efektif menulis, menulis hanya sebagai bumbu dalam menerima pelajaran. Ketika menulis hanya diartikan sebagai bumbu atau menempati posisi anak tiri, maka otomatis budaya membaca pun akan semakin pudar.
Oleh karenanya ‘tidak ada hal yang paling memalukan dalam system pendidikan kita kecuali lenyapnya tradisi membaca dan menulis’ (Eko Prasetyo).
Kesadaran struktural dan personal………………
Maka apa yang perlu dilakukan?? diperlukan kesaran secara personal dari para intelektual-intelektual(aktivis) ini dengan menyadari bahwa membaca dan menulis memiliki peran nomor wahid dalam melaukan perubahan. Namun ini semua bukan semata-mata kesalahan dari para intelektual ini, sistem pendidikan negeri ini pun perlu sedikit dibenahi khususnya dalam penempatan tradisi membaca dan menulis. Pendidikan negeri semestinya menempatkan posisi membaca dan menulis dalam posisi pertama sebuah pembelajaran. Malahan bila perlu mewajibkan para siswanya untuk menghasilkan sebuah karya tulis dalam bentuk apapun.Karenanya problem kemiskinan literasi ini termasuk kedalam problem struktural pendidikan kita yang musti kita kikis bersama.
Melihat fenomena diatas sudah semestinya kita membuka kacamata kesadaran kita lebih luas untuk lebih berbenah diri. Bagaimana kita ingin merubah orang lain, bagaimana kita ingin merubah kondisi lingkungan yang buruk jika kita sendri masih terkungkung dalam lautan kemiskinan ilmu pengetahuan yang disebakan oleh miskinnya literatur. Kemiskinan literatur inilah yang menurut Prie G.S yang paling sering menerpa negeri kita, bukan hanya kemiskinan secara material. Dan akhirnya negeri kita berada pada dua probelm, pertama masalah kemiskinan material yang menerpa mayoritas masyarakat kita, kedua kemiskinan ilmu yang ditandai dengan minimnya daya kritis dan kemampuan berpikir secara sehat(khususnya membaca), dan ini mulai merasuk kedalam tubuh aktifis-aktifis modern sekarang.
Bila kita ingin berkaca sekali lagi tidak ada pendiri negeri ini yang paling banyak dan produktif menulis melebihi Bung Hatta. Tulisan dan gagasannya banyak dijadikan referensi oleh beberapa kaum intelektual dan beberapa ilmuan dunia dan lokal lainnya. Alangkah sayangnya bila Bung Hatta adalah generasi terkhir negeri ini yang memliki kemampuan literasi ini.
Karena dari itu tulisan ini sengaja saya tujukan sebagai upaya penyadaran kepada para aktifis-aktifis yang masih membara, yang masih memiki nilai idelalisme murni, yang masih memiliki niat utuk melakukan perubahan, kini saatnya kita menyongsong perubahan tersebut dengan berlandaskan ilmu pengetahuan dan akal sehat, bukan lagi sekedar omongan kosong yang tidak sarat nilai apalagi dengan jalan radikal sebagaiproblem solve nya. Sudah saatnya aktifis bukan hanya pandai dalam berorasi namun juga pandai dalam melahirkan karya tulis yang berguna bagi kemajuan bangsa ini kelak. Semoga…….
Oleh Baharunsyah
Mahasiswa FISIPOL Universitas Mulawarman,Kaltim
Aktifis PII Samarinda

M.Natsir dan Demokrasi


I. Pengantar
sejak 6 November 2008, berdasarkan Kepres No: 041/TK/TAHUN 2008 nama Natsir masuk kedalam daftar Pahlawan Nasional. Dalam diktum surat keputusan itu disebutkan bahwa gelar tersebut diberikan “sebagai penghargaan dan penghormatan yang tinggi atas jasa-jasanya yang luar biasa … dst.” Dengan demikian pengkajian terhadap pemikiran-pemikiran Natsir telah memiliki legalitas, dan bahkan menjadi kewajiban Negara dan warganya.
Sebagai sebuah asumsi, mungkin ada benarnya teori “Challang-Response” Arnold Toynbee tentang sebuah agen perubahan yang disebut dengan creative minority (minoritas yang kreatif). Toynbee yakin betul bahwa lahir kembalinya sebuah peradaban berasal dari kemampuan kelompok minoritas yang secara kreatif mampu dan berhasil merespon tantangan yang ada disekitarnya menjadi sebuah peluang emas menuju perubahan lebih baik. Jika teori itu digunakan untuk membaca sejarah perjuangan-pengisian kemerdekaan Indonesia, memang tidak sedikit para pejuang yang terjun langung kemedannya. Namun perlu ditegaskan bahwa mereka semua digerakkan oleh orang-orang yang memiliki pemikiran cemerlang, meski jumlah mereka terbatas.
Dr. Mohammad Natsir adalah salah satu diantaranya (selanjutnya disebut M. Nartsir/Natsir). Dengan beragam medan perjuangan yang ditempuhnya (politik, da’wah, pendidikan, dll), ia berusaha dengan penuh kesungguhan untuk menjadikan Islam sebagai pondasi untuk membangun Indonesia. Natsir memang tidak sendiri, ia diikuti oleh para pejuang sependirian yang bermakmum kepadanya. Dalam salah satu bait puisi Hamka kepada Natsir di sidang Konstituante 1957 menunjukkan keinginan Hamka untuk masuk kedalam “daftar” perjuangan Natsir.
Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi
Ini berjuta kawan sepaham
Hidup dan mati bersama-sama
Untuk menuntut Ridha Ilahi
Dan akupun masukkan
Dalam daftarmu ……. !
II. Mengenal Demokrasi; Tinjauan awal
Berpolitik memang tidak selalu identik dengan berdemokrasi. Sebab berpolitik dalam Islam (siyâsah), jika merujuk kepada pengertian yang disebutkan oleh Ibnu Qayyim al Jauziyah adalah upaya seseorang dalam melakukan perbaikan secara umum terhadap kehidupan manusia dan penghindaran dari kerusakan. Artinya, siapapun orangnya yang berupaya untuk mewujudkan kemaslahatan bagi manusia serta mencegah segala bentuk kerusakan, maka ia telah berpolitik. Merujuk kepada teladan Rasulullah, maka politik adalah bagian dari aktifitas beliau. Bahkan John L Esposito setuju bahwa sejak kemunculannya di Arab Saudi (sekarang) Islam berkembang sebagai gerakan keagamaan dan politik yang didalamnya agama menyatu terhadap Negara dan masyarakat. Kepercayaan tersebut berakar pada al qur’an sebagai wahyu dan as sunnah sebagai ajaran Nabinya. Lebih tegas lagi Espositu menyebutkan data sejarah, bahwa ketika Nabi Muhammad dan pengikutnya hijrah dari Makkah ke Madinah, maka posisi Nabi disana adalah sebagai; seorang Nabi, Kepala Negara, Panglima Pasukan, Hakim Agung dan pembentuk hukum. Berdasarkan perintah al Qur’an ; Taatilah Allah dan Rasul-Nya.” (Annisa: 32). Dimasa inilah Islam di Madinah semakin memperlihatkan kristalisasinya sebagai keimanan dan sebuah sistem sosio-politik.
Saat ini istilah “berpolitik” sangat identik dengan “berdemokrasi.” Hal itu lebih disebabkan karena sistem perpolitikan yang dianut banyak negara-negara modern (secara umum) saat ini adalah sistem demokrasi.
Data yang disebutkan dalam The New Ensiklopedi Britannica menjelaskan kata “demokrasi” (democracy) secara bahasa berasal dari bahasa Greek (Yunani) yaitu demos:people dan kratos:rule atau disebut dengan; “pemerintahan rakyat”. Sementara itu, ‘Kamus Besar Bahasa Indonesia’ menyebut kata “demokrasi” sebagai bentuk atau sistem pemerintahan yang segenap rakyat turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya (pemerintahan rakyat), atau sebagai gagasan, atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga Negara. Demokrasi kemudian dijadikan sebagai landasan persoalan yang menyangkut hajat orang banyak sehingga melahirkan banyak demokrasi seperti, demokrasi ekonomi, demokrasi politik, demokrasi material dan lain-lain. Dalam hal ini demokrasi menganut faham bahwa penentu kebijakan pemerintahan berada ditangan manusia (rakyat), dimana berlaku hukum “one man one vote” (setiap orang memiliki hak suara). Atau menurut pendapat lain semisal Dr. Muhammad ‘Imarah, ia menyebutkan bahwa demokrasi menganut sistem ”the voice of people is the voice of God.” Artinya rakyat adalah pemilik kekuasaan dan sumber hukum. Kekuasaan rakyat menurut sistem demokrasi adalah milk rakyat dan melalui rakyat pula untuk mencapai kedaulatan rakyat dan tujuan-tujuannya, serta kepentingan-kepentingannya.
Konsep demokrasi pada awalnya lahir dari pemikiran mengenai hubungan Negara dan hukum Yunani Kuno. Konsep itu kemudian dipraktekkan dalam hidup bernegara antara abad ke 6 SM sampai abad ke 4 M. Demokrasi yang dipraktekkan pada masa itu berbentuk demokrasi langsung. Sifat langsung itu berjalan secara efektif karena Negara kota (city state) Yunani Kuno berlangsung dalam kondisi sederhana dengan wilayah Negara yang hanya terbatas pada sebuah kota kecil dengan jumlah penduduk sekitar 300.000 orang. Selain itu pula, ketentuan-ketentuan menikmati hak demokrasi hanya berlaku untuk warga Negara resmi, sedangkan mereka yang berstatus budak belian, pedagang asing, perempuan dan anak-anak tidak dapat menikmatinya. Gagasan demokrasi Yunani Kuno ini berakhir pada abad pertangahan.
Bentuk demokrasi pada Abad pertengahan ini ditandai dengan peralihan demokrasi dari kekuasaan rakyat kepada kekuasaan agama (Paus) yang melembaga dalam pemerintahan dengan struktur masyarakat yang bersifat feodal, dan tandai oleh perebutan kekuasaan diantara para bangsawan. Kaum bangsawan dan agamawan memiliki kekuatan untuk menguasai dunia perpolitikan. Namun menjelang abad pertengahan beakhir, timbul kembali keinginan untuk menghidupkan demokrasi. Lahirnya magna charta (piagam besar) sebagai suatu piagam yang memuat perjanjian antara kaum bangsawan dan Raja John di Inggris merupakan tonggak baru kemunculan demokrasi. Dalam magna charta disebutkan bahwa raja mengakui dan menjamin beberapa hak dan hak khusus bawahannya. Selain itu piagam tersebut juga memuat dua prinsip yang sangat mendasar; pertama, adanya pembatasan kekuasaan raja; kedua, hak asasi menusia lebih penting dari pada kedaulatan raja. Momentum lainnya yang menandai kemunculan kembali demokrasi di dunia Barat adalah lahirnya renaissance dan reformasi. Ketika itu muncul pula gerakan revolusi agama yang terjadi di Eropa pada abad ke 16, bertujuan untuk memperbaiki keadaan dalam gereja Katolik. Marthin Luther berada dibalik revolusi ini yang kemudian memunculkan gereka protestan. Di Barat (Abad Modern), John Locke seorang filosof Inggris (1632-1704) melahirkan cirri khas demokrasi rakyat yang berorientasi pada hak live (kehidupan), liberal (kebebasan), dan property (hak memiliki). Sementara itu filosof asal Perancis Montesquieu (1689-1944) melahirkan apa yang dikenal dengan “tiras politica”. Tokoh-tokoh lain yang turut menonjol dalam mengembangkan demokrasi di Barat adalah Jean Jacques Rousseau dan Thomas Jefferson .
The New Ensiklopedi Britannica kembali menerangkan bahwa Dalam perkambangannya, setidaknya ada beberapa bentuk demokrasi yang muncul diantaranya; demokrasi langsung (direct democracy) yaitu corak pemerintahan demokrasi yang dilakukan secara langsung oleh semua warga Negara dalam membuat keputusan politik. Ada pula demokrasi perwakilan (representative demokrasi) yaitu corak pemerintahan yang dilakukan melalui badan perwakilan rakyat yang dipilih oleh rakyat dan bertanggung jawab kepada rakyat (warga negara diberi hak untuk turut serta menentukan keputusan politik melalui badan perwakilan rakyat. Dan terakhir demokrasi liberal/konstitusional (liberal democracy/constitusional democracy) yaitu sistem politik dengan banyak partai dimana kekuasaan politik berada ditangan politisi sipil yang berpusat di parlemen.
Sesungguhnya, implementasi sistem demokrasi tidaklah baku. Meski memiliki konsepsi dasar yang sama yaitu; kedaulatan ada di tangan rakyat, akan tetapi mekanisme penerapan demokrasi di sejumlah Negara kerap tak sama. Di Indonesia misalnya, saat ini dikenal dengan sebutan demokrasi Pancasila. Dahulu, sejak didekritkannya kembali UUD 1945 oleh Preseiden Soekarno pada 5 Juli 1959, maka ketika itu berlaku apa yang disebut dengan “Demokrasi Terpimpin” yang pelaksanaannya diantur dalam Ketetapan MPRS nomor VIII/MPRS/1965. Demokrasi terpimpin dimaksudkan untuk menentang sifat-sifat liberal demokrasi Barat yang bertentangan dengan azas-azas permusyawaratan untuk mencapai mufakat sesuai Pancasila. Namun dalam pelaksanaannya demokrasi terpimpin terlalu menonjolkan kepemimpinannya yang diberi hak untuk mengambil keputusan apabila tidak dicapai mufakat dalam suatu permusyawaratan, dan oleh karena itu meluncur kearah kediktatoran sehingga membuahkan pemberontakan G-30-S/PKI (1 Oktober 1965).
Secara umum Barat memandang bahwa sistem demokrasi merupakan sistem terbaik yang tiada banding. Ia dipandang sebagai evolusi sistem kehidupan terakhir yang pernah dilahirkan peradaban manusia. Pandangan gegabah tersebut semakin menemukan pembenarannya melalui analisa Francis Fukuyama dalam The And of History. Menurut Francis Fukuyama bentuk-bentuk pemerintahan sebelum kemunculan demokrasi liberal yang dikembangkan Barat saat ini adalah irasionalitas-irasionalitas yang pada umumya ditandai dengan berbagai kerusakan sehingga menyebabkan keruntuhan mereka. Sebaliknya ia berpendapat bahawa demokrasi liberal bebas dari kontradiksi internal yang fundamental seperti itu sehingga ia menjadikan demokrasi liberal sebagai “titik akhir” dari evolusi idiologis umat manusia, dan bentuk final pemerintahan manusia sehingga ia bisa disebut sebagai “akhir sejarah”. Francis mengikuti aliran Hegel dan Marx yang percaya bahwa evolusi masyarakat manusia tidaklah “open ended” tetapi ia akan berakhir bila manusia mencapai suatu bentuk masyarakat yang sempurna. Pandangan ini jelas tidak benar. Demokrasi nyata-nyata belum memberikan pelayanan memuaskan bagi perkembangan perdamaian dan keadilan. Tak sedikit dari Negara-negara yang menganut demokrasi (tak terkecuali Amerika) mengalami ketimpangan social cukup tinggi. Kerusuhan, peperangan, kelaparan, kemiskinan menjadi tayangan sehari-hari tak terkecuali di negara-negara makmur sekalipun. Demokrasi sesungguhnya memiliki dua waja yang berbeda; ideal-ideologis dan wajah real-pragmatis. Sebagai prodak sekularisme, sistem demokrasi lahir dari hasil pergulatan antara rasionalitas dan kuasa gereja. Akibatnya akal Barat telah menganggap pemerintahan agama hanya akan membawa kemunduran. Oleh karenanya, bentuk pemerintahan secular, liberal, dan pluralis adlaah satu-satunya solusi agar tidak terjadi pemerintahan despotic dan authoritarian. Namun demokrasi sesungguhnya memiliki kelemahan, disana terdapat kekaburan otoritas, seperti dalam demokrasi liberal dimana rakyatlah yang berdaulat, namun itu terjadi hanya beberapa tahun sekali.
III. Natsir; tentang Islam dan Demokrasi
Sebelum menghadapkan pemikiran Natsir tentang Islam dan demokrasi, terlebih dahulu kita melihat apa yang beliau pahami tentang konsep Islam secara umum.
3.1 Pandangan Natsir tentang Islam
Dengan sangat jelas Natsir memahami Islam sebagai agama penyerahan diri secara totalitas yang berkonsekwensi pada kepatuhan dan ketundukan hanya kepada Allah. Natsir mengatakan;
”Islam artinya damai, juga berarti menyerahkan diri dalam hal ini, yaitu menyerahkan diri, jiwa dan raga seluruhnya kepada Ilahi. Seorang muslim ialah seorang yang mematuhi dengan sesungguhnya akan segala suruhan Allah serta menjauhi larangan-larangan-Nya, baik yang berkenaan dengan kewajiban terhadap-Nya atau terhadap sesama manusia.”
Natsir juga menjelaskan bahwa penyerahan tersebut bukanlah penyererahan yang bersifat negatif atau dalam istilah beliau; “kurang akan makna” dimana seseorang tak lagi bisa berbuat apa-apa untuk mengusahakan diri menjadi manusia yang baik. Menurut Natsir, seseorang menyerakan dirinya kepada Allah yang Mahakuasa dengan gigih dan sekuat-kuatnya disebabkan karena yakin bahwa iradah Allah selaras dengan kehadiran manusia di dunia dan di akhirat nanti.
Bagi Natsir, Keterikatan seorang muslim dengan agamanya adalah suatu hal yang pokok. Sebab menurut sunatullâh, menantang aturan Ilahi merupakan sumber bagi kegagalan dan keruntuhan umat. Dalam salah satu penyampaian khutbah Idhul Fithri M. Natsir menjelaskan hal tersebut; ”Menentang aturan Ilahi adalah sumber dari kegagalan dan keruntuhan. Iniilah sunatullah yang berlaku bagi umat terdahulu, tetap berlaku bagi umat sekarang, dan bagi umat-umat yang akan datang seterusnya.” Islam mengikat pemeluknya dengan aturan-aturan dan undang-undang yang menghajatkan ketundukan. Tak terkecuali ketika dihadapkan pada persoalan hubungan antara manusia dengan adat istiadat. Padalah ia juga dipandang masyarakat sebagai aturan yang sakral.
Katiannya dengan hal di atas, maka Natsir memandang bahwa produk budaya suatu daerah dalam bentuk adat-istiadat tidak dapat selamanya mengikat seseorang untuk tunduk dan patuh kepada aturan tersebut, apalagi jika ia adalah seorang muslim. Karena sebagai seorang muslim, ia harus mendahulukan syari’at-Nya. Adat-istiadat yang tidak bertentangan dengan syari’at maka Islam menjaga dan membiarkannya berkembang. Namun sebaliknya, adat-istiadat yang menyalahi aturan syari’at maka ia harus dikalahkan. Dalam sebuah polemik tak berkesudahan tentang pembagian harta waris yang terjadi di ranah Minag tahun 1939, dan ketika salah satu ormas Islam semisal Perti (Persatuan Tarbiyah Islam) mengajukan usul kepada pemerintah agar polemik itu dikembalikan kepada hukum Islam, Natsir sangat menyambut positif usulan tersebut. Dengan tegas ia mengatakan; ”Agama Islam telah menetapkan suatu peraturan pembagian harta warisan dengan cukup jelas dan terang. Tiap-tiap seorang muslim tentu juga seorang Minangkabau muslim tidak lepas dari peratuan agama tersebut.” Tidak hanya sampai disitu, Natsir juga tampak tidak setuju dengan adat istiadat yang dipoles menyerupai Islam kemudian diakui identitasnya asebagai ajaran Islam. Tegas-tegas Natsir menyebutnya sebagai “bid’ah” dalam agama yaitu perbuatan-perbuatan yang disangka oleh yang melakukannya sebagai kewajiban atau anjuran. Tetapi menurut agama, sebenarnya tidak.’’ Gamal Abdul Nasir (penulis asal Malaysia) turut mengomentari pula sosok M. Natsir; “Bagi mujahid da’wah yang satu ini, kemajuan masyarakat Islam hanya dapat dicapai dengan memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara murni (tidak tercampur dengan syirik, bid’ah, khurafat, takhayyul) dan konsekwen.”
Kesimpulannya, dalam hal apapun seorang muslim harus melandasi setiap aktifitasnya dengan barometer yang telah ditetapkan oleh syari’at. Sebab bagi Natsir risalah Rasulullah mencakup prinsip-prinsip dan dasar hidup ber-’aqidah, ber-syari’ah, dan ber-nizham (undang-undang). Inilah keuniversalan syari’at Islam itu, dimana Islam tampil sebagai aturan hidup yang mengayomi pribadi-pribadi manusia, baik mereka yang muslim maupun mereka yang berbeda agama dengan ketentuan-ketentauan yang telah ditetapkan oleh syari’at. Bagi Natsir, mayoritas jumlah Islam di suatu tempat tidak akan menyebabkan ketertindasan posisi minoritas, sebab agama Islam melarang kepada umatnya untuk memaksakan doktrin agamanya kepada orang lain (Laa Ikraaha fiddiin) . Rasulullah sendiri menurut Natsir pernah mempraktekkan apa yang dikenal dengan ”Piagam Madinah” ketika harus hidup berdampingan dengan orang-orang Yahudi dan mempertahankan kedaulatan secara bersama-sama.
Tentang cakupan ajaran Islam, Natsir berkesimpulan bahwa Islam begitu lengkap. Bagi Natsir, Islam adalah aturan kehidupan yang didalamnya mengatur aspek ibadah antara pribadi manusia dengan Rabb-Nya sekaligus mengatur batasan-batasan mu’amalah antara sesama manusia. Semua aturan itu tercakup dalam tujuan hidup manusia di bumi ini yaitu untuk beribadah kepada Allah dengan makna yang sebenar-benarnya.
Melihat data-data di atas, tampak sekali bahwa pemahaman Natsir tentang Islam adalah ketundukan seseorang kepada Allah melalui ketundukan kepada aturan-aturan-Nya secara menyeluruh, lebih memilih hukum Islam dari hukum-hukum lainnya.
3.2 Pandangan Natsir tentang Demokrasi
Dalam kancah politik, Natsir memulai aktifitasnya melalui Partai Serikat Islam tahun 1930. Taklama setelah itu, beliau mendapat amanah untuk memimpin wilayah cabang Bandung. Keterlibatannya dalam partai politik semakin mengental sejak dinobatkan sebagai ketua umum Partai Masyumi pada tahun 1949 sebagai kendaran berdemokrasi. Dalam merealisasikan cita-cita Partai yaitu Ajaran dan hukum Islam yang teraplikasi dalam kehidupan bermasyarakat, ia menegaskan tiga jalan yang ditempuh; 1. Lapangan parlementer (legislatsif), 2. Lapangan pemerintahan (eksekutif) dan 3. lapangan pembinaan ummat. Kita dapat melihat ketiga aspek itu dilakukan oleh Natsir dan kawan-kawannya.
Sebagai tokoh yang menerima demokrasi sebagai jalan yang legal untuk menentukan arah kebijakan negara, Natsir tetap memiliki pemahaman tersendiri tentang praktek demokrasi. Natsir mengistilahkan ide demokrasinya dengan sebutan “Teistik Demokrasi”. Istilah ini mengacu kepada bentuk pemerintahan yang menjadikan Islam sebagai dasar negaranya. Itulah yang yang dilakukan Natsir dengan dukungan sejumlah partai Islam dalam sidang Konstituante. Dengan demikian, hukum-hukum Islam yang menjadi urat nadi mayoritas muslim di Nusantara ini dapat dilaksanakan dan menciptakan kebaikan bagi negeri. Dalam pidatonya di sidang konstituante yang membahas tentang dasar Negara, Natsir mencoba memahamkan kepada peserta sidang bahwa Islam memiliki keunggulan sistem dibandingkan dengan dua pilihan lainnya yaitu; pancasila dan sosial–ekonomi. Salah satu statemen Natsir yang terkenal ketika itu adalah;
” Saudara ketua. Ada tiga dasar yang telah dikemukakan dalam Komisi I yang dimajukan sebagai dasar Negara: Pancasila, Islam dan Sosial-ekonomi. Kewajiban saya dan kawan-kawan saya dari fraksi Masyumi adalah untuk menghidangkan kemuka sidang pleno yang terhormat … yakni kehendak kami, sebagaimana yang sudah diketahui oleh kita semua, supaya Negara Republik Indonesia kita ini berdasarkan Islam, Negara demokrasi berdasarkan Islam.
Gagasan Natsir yang mengusung ide Islam sebagai dasar negara merupakan perwujudan keyakinan Natsir terhadap ajaran Islam. Natsir memahami bahwa seseorang yang mengaku dirinya muslim, maka ia harus memiliki kepercayaan yang kuat kepada hal-hal berikut; 1) percaya dengan adanya Tuhan sebagai sumber dari segala hukum dan nilai hidup, 2) percaya dengan wahyu Tuhan kepada Rasul-Nya, 3) percaya dengan adanya hubungan antara Tuhan dan manusia atau perseorangan, 4) percaya dengan hubungan ini dapat memengaruhi hidupnya sehari-hari, 5) percaya bahwa dengan matinya seseorang, kehidupan rohnya tidak berakhir, 6) percaya dengan ibadah sebagai cara mengadakan hubungan Tuhan, 7) percaya dengan keridhaan Tuhan sebagai tujuan hidup manusia. Menurut Natsir, ahli-ahli fakir Barat yang modern dan terkemuka telah sampai kepada kesimpulan, bahwa Islam sanggup dan mampu memeberikan penjelasan yang dirindukan dan dihasratkan untuk melepaskan bangsa manusia dari bencana.. Natsir juga meyakini bahwa Islam itu adalah totalitas kehidupan dan penghambaan kepada Allah. Oleh karena itu, aktifitas seorang muslim untuk berbangsa dan bernegara harus benar-benar ditujukan untuk pengabdian keapda Allah. Lebih lanjut Natsir menguaraikan bahwa tujuan kaum muslimin, minimal ada tiga hal yaitu;
1. Mencari kemerdekaan untuk kemerdekaan Islam agar berlaku susunan dan peraturan Islam
2. Untuk kemaslahatan dan keutamaan ummat Islam khususnya
3. dan makhluk Allah pada umumnya.
Dalam sebuah tulisan berjudul “Islam ‘Demokrasi’ ?” Natsir menolak keras ide Soekarno mencoba menawarkan ide “islam disisipkan/ditambahkan kedalam Negara. Waktu itu Soekarno beranggapan bahwa dalam ruang demokrasi dimana di sana terdapat perwakilan dari rakyat maka agama dapat disisipkan kedalamnya. Meski agama dipisahkan dari Negara namun jika didalamnya terdapat mayoritas politisi muslim maka tidak akan ada peraturan yang berjalan kecuali bersifat Islam. Namun bagi Natsir, Islam bukanlah semata-mata bentuk tambahan atau ekstra bagi sesuatu yang harus dimasukkan kepada suatu Negara. Akan tetapi, menurut prinsip Islam, Negara justeru merupakan alat dan perkakas bagi berlakunya hukum-hukum Islam. Jika kemudian ada yang bertanya; bukankah Islam itu demokratis ?, maka jawaban Natsir untuk pertanyaan itu adalah; Islam memang demokratis dalam artian anti, istibdad atau absolutisme atau kesewenang-wenangan. Disisni Natsir menolak keras ide penyisipan Islam (mengambil Islam secara parsial) itu.
Dalam pemberlakukan hukum-hukum Islam di sebuah negara, Natsir berpandangan bahwa segala peraturan Islam yang sudah jelas atau merupakan prinsip pokok Islam tidak perlu menunggu keputusan Majelis Syura untuk kemudian baru dijalankan, karena ia adalah sesuatu yang final dan tetap. Bahkan hal-hal seperti itu tidak boleh diputuskan dengan cara undian “separo tambah satu suara” (voting) atau bergantung kepada siapa yang duduk di Negara tersebut. Meskipun dengan ini ada yang mengatakan Islam tidak demokratis, Natsir mengatakan; “itu terserah” sebab baginya; “Islam adalah suatu pengertian, suatu paham, suatu begrip sendiri, yang mempunyai sifat-sifat sendiri pula. Islam tak usah demokrasi 100 %, bukan pada otokrasi 100 %. Islam itu…. yah Islam.” Demikian menurut Natsir.
Melalui pernyataan di atas, dengan jelas Natsir menyebutkan adanya “Majelis Syura” dalam konsep pemerintahan yang diinginkannya, meskipun secara umum sistem demokrasi tidak menggunakannya. Apa yang dimaksudkan Natsir tentang Majelis Syura memang tidak begitu dijelaskan secara mendetail dalam tulisan-tulisannya. Akan tetapi jika merujuk kepada model organisasi di dalam tubuh Partai Masyumi, agaknya kita dapat mengambil gambarannya.
Petama, Terbentuknya Partai Masyumi adalah kendaraan ummat Islam untuk mencapai cita-cita Islam yang memilik Tujuan secara tertulis yaitu: 1) Menegakkan kedaulatan negara dan agama Islam, dan 2) Melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan Negara. Kedua, berdasarkan kedua point diatas, maka salah satu prinsip Islam dalam urusan Negara adalah berlakunya sistem syura yang mewajibkan adanya Majelis Syura. Pasal VII dari penjelasan sistem organisasi Partai Masyumi menjelaskan adanya majelis itu yang mereka sebut dengan; “Majelis Syuro.” Salah satu diktum point kesatu berbunyi; “Disamping permusyawaratan dan pimpinan partai tersebut dalam pasal V dan VI ada Majelis Syura yang terdiri dari para alim ulama.” Sementara itu hak dan kewajiban Majelis Syura dituangkan dalam penjelasan AD ART pada Pasal ke 4 point ke 7 tentang Hak dan Kewajiban Majelis Syura. Point-point secara keseluruhan adalah;
1. Majelis Syura pusat berhak mengusulkan hal-hal yang mengenai politik kepada Dewan Pimpinan Partai
2. Majelis Syura pusat wajib memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan soal-soal keagamaan yang dikemukakan oleh Dewan Pimpinan Partai.
3. Dewan Pimpinan Partai wajib meminta fatwa kepada Majelis Syura Pusat dalam soal-soal politik yang dianggapnya mengenai hukum agama
4. Keputusan yang diambil dengan suara bulat oleh Majelis Syura pusat mengenai hukum agama adalah keputusan yang tertinggi
5. Hak dan kewajiban Majelis Syura Pusat diluar sidang lengkap diwakili dan dijalankan oleh Dewan Harian Majelis Syura Pusat.
6. Dewan Harian Majelis Syura Pusat bertanggung jawab atas pekerjaan kepada sidang lengkap Majelis Sura Puat.
Secara umum, prinsip musyawarah yang ada di dalam Islam sangat dijunjung tinggi oleh Nartsir karena merupakan sunnah Rasulullah dan para sahabat. Dalam majalah Suara Masjid edisi syawal – Dzulhijjah 1402 No. 95 pada rubrik Pesan dari Mimbar Natsir menegaskan bahwa;
“Ajaran Islam menegaskan tentang prinsip musyawarah yang tidak boleh dilupakan oleh seorang pemimpin, agar ia tidak menganggap dirinya paling pintar. Khittah yang demikian ini telah disunnahkan pada masa Rasulullah shalallahu ‘alihi wasallam dan diamalkan oleh para Khulafa’ ar Rasyidun di dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup duniawi.” Bermusyawarah merupakan seni kepemimpinan untuk mencapai suatu tujuan dengan tenaga orang lain (to heve things done by other people).”
Dr. Ramly Hutabarat (Rektor UIKA Bogor) dalam bukunya “Hukum dan Demokrasi” menunjukkan perbedaan demokrasi Islam yang diusung Natsir dengan demokrasi di Barat. Natsir memandang bahwa legislative bukanlah segala-galanya dalam pemerintahan. Ia bukanlah satu-satunya yang memiliki supermasi tertinggi seperti yang dianut oleh Barat. Dalam konsep demokrasi Barat, pada umumnya semua urusan diserahkan kepada eksekutif dan legislative. Undang-undang dibuat oleh pemerintah dan wakil rakyat. Lain halnya dengan pandangan Islam dimana Natsir berpandangan bahwa yang dapat diperbincangkan dalam lembaga tersebut adalah cara-cara untuk menjalankan semua hukum, atau teknis pelaksanaan hukum dimana hukum itu sendiri telah tetap sebagaimana yang digariskan oleh Allah. Aktifis Darul Islam; Kahar Muzakkar di dalam bukunya, “Konsepsi Negara Demokrasi Indonesia” juga sepakat dengan konsep Natsir ini.
Bagi Natsir, dalam menjalankan pemerintahan Negara demokrasi berdasarkan Islam, maka sumber kekuasaan bagi penguasa adalah ketaatannya kepada undang-undang. Dalam hal ini yang berdaulat adalah hukum. Kekuasaan diterima atas pemilihan dan kerelaan rakyat. Kekuasaan digunakan untuk menegakkan yang benar, dan menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat, baik yang lemah maupun yang kuat. Dalam hal ini penguasa berhak atas kekuasaan rakyat selama ia menjalankan kekuasaannya di atas kebenaran. Rakyat juga harus diberikan hak untuk mengoreksi dan membetulkan perjalanan penguasa, bila ternyata bersalah. Dalam pidato yang berjudul ” Demokrasi dibawah Hukum” sebagai tanggapan atas demokrasi yang dibawa orde lama dan demokrasi yang akan dijalankan ole horde baru. Natsir kembali mengingatkan akan pentingnya penegakkan hukum untuk semua kalangan dari tingkat Pemimpin hingga rakyatnya. Setelah mengutip surah an Nisah: 59 (tentang ketaatan pada ulil amri) dan pidato Abu Bakar seusai di bai’at sebagai Pemimpin bagi kaum muslimin, Natsir mengatakan bahwa sumber kekuasaan penguasa adalah ketaatannya sendiri kepada undang-undang yang berlaku. Dalam hal ini, undang-undang yang berdaulat adalah undang-undang Ilahi. Kekuasaan diterima atas pilihan dan kerelaan rakyat. Kekuasaan dipergunakan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan diantara seluruh rakyat. Penguasa berhak atas ketaatan rakyat selama ia menjalankan kekuasaannya atas kebenaran (mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya).
Menurut Firdaus Syam, Natsir sudah sangat maksimal menjalankan tugasnya di konstituante, termasuk ketika memperjuangkan agar Islam menjadi dasar Negara. Dipihak lain Natsir berhasil menepis kecurigaan partai-partai non Islam. Ia bersama Prawoto Mangkusasmito, Osman Raliby dan pemimpin progresif lainnya mampu bergerak jauh ketika partai Islam harus menyesuaikan diri dengan realitas yang ada dalam tubuh konstituante. Perjuangan Natsir dalam kelompok nasionalis Islam berhadapan dengan nasionalis sekuler di konstiutante merupakan potret keberanian dan keteguhan seorang Natsir dalam menampakkan ide-idenya ditengah-tengah keberagaman.
Penutup
1. Islam adalah agama yang lengkap, mengurusi semua aspek kehidupan. Melalui pandangan ini, Natsir menjadikan sarana perpolitikan sebagai salah satu upaya menegakkan agama.
2. Politik sejatinya tidak dapat dilepaskan dari agenda penegakkan Risalah Allah di bumi ini, karena Islam mengatur seluruh aspek hidup. Dlaam konteks inilah, penulis melihat bahwa M. Natsir telah menjalankan fungsi Islam sesuai yang diyakininya. Sebagaimana Al Imam Ibnu Qayiim berpandapat bahwa antara syari’ah dan siyasah tidak boleh dipisahkan dalam menjalankan sistem hukum. Kerna menurutnya, pemisahan tersebut sama halnya dengan pemisahan semisal hakikat dan syari’at, ‘aql dan Naql. Syari’ah dan siyasah adalah satu rumpun di bawah keumuman Risalah yang dibawa oleh Rasulullah. Pemisahan hanya ada pada shahih dan fasidnya. Yang baik adalah yang sesuai dengan syari’ah, demikian pula sebaliknya. Baik siayasah, hakikat atau thariqah semuanya ada dalam satu wadah yang dibangun diatas keumuman Rasialah Nabi yang telah sempurna.
3. Natsir menginginkan Negara ini dijalankan berdasarkan kepada asas Islam. Melalui sistem demokrasi, Natsir memperjuangkan visi dan misi Partainya.
4. Melalui sistem demokrasi ini, Natsir tetap menganggap pentingnya Majelis Syura. Dimana untuk persoalan-persoalan baku dalam agama, tidak ada sistem voting atau suara terbanyak. Negara hanya menjalankan dan mengeluarkan kebijakan yang bersifat teknis pelaksanaan.
—————- Wallahu A’lam Bishawab —————–
Daftar Pustaka
1. Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara Masyarakat dan Kekuasaan, Jakarta: Darul Falah, 1999
2. Abu Ridho, ‘Amal Siyasi; Gerakan Politik dalam Dakwah, Bangung: Syamil Cipta Media, 2004
3. A.G Pringgodigdo, et, all, Ensiklopedi Umum, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1977
4. A.G Pringgodigdo, et, all, Ensiklopedi Umum, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1977
5. Buletin Da’wah yang diterbitkan oleh DDII masjid Al Munawarah , 27 September 1968
6. Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999
7. Dwi Purwoko, et, all, Negara Islam; Percikan Pemikiran H. Agus Salim, KH. Mas Mansyur, Mohammad Natsir, K.H. Hasyim Asy’ari, Depok: Permata Aristika Permata Kreasi, 2001
8. Endang Saefudin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945; Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia, Jakarta: Gema Insani Press, 1977
9. Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam; Pokok-pokok Pemikiran tentang Paradigma dan Sistem Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2004
10. Francis Fukuyama, The and of History and The Last Man, terj. Mohammad Husein. A, Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2001
11. Firdaus Syam, Amin Ra’is dan Yusril Ihza Mahendra di Pentas Politik Indonesia Modern, Jakarta: Khairul Bayan, 2003
12. Gamal Abdul Nasir, Mohammad Natsir Pendidik Ummah, Malaysia; Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, 2003
13. John L. Esposito, Islam and Politic, terj. Joesoef Sou’yb, Jakarta: Bulan Bintang, 1990
14. Lukman Hakim (Ed), M. Natsir di Panggung Sejarah Republik, Jakarta Penerbit Republika, 2008
15. Majalah Islamiya, Edisi: Thn 1 No. 6, Juli _ September 2005
16. M. Natsir, Marilah Shalat, Jakarta; Media Da’wah, 2006
17. M. Natsir, Capita Selecta 1, Jakarta: Bulan Bintang, 1973,
18. M. Natsir, Demokrasi dibawah Hukum, Jakrarta: Media Da’wah, 2002
19. M. Natsir, Capita Selecta 1 , Jakart; Bulan Bintang, tt, hal. 177
20. M. Natsir, Kumpulan khutbah Hari Raya, Jakarta; Media Da’wah, 1987
21. M. Natsir, Islam Sebagai Dasar Negara, Jakarta: Media Da’wah, 2000
22. M. Natir, Politik Melalui Jalur Dakwah, Jakarta: Media Dakwah, 2008
23. M. Natsir, Indonesia di Persimpangan Jalan, Jakarta: PT. Abadi, 1984
24. M. Natsir, Dapatkah Dipisahkan Politik dari Agama ?, Jakarta: Penerbit Mutiara, 1953
25. M. Natrsir, Keragaman Hidup Antar Agama, Jakarta; Penerbit Hudaya, 1970
26. M. Natsir, Islam dan Kristen di Indonesia, Bandung; Bulan Sabit, 1969
27. M. Natsir, Peran Islam dalam Pembangungan, Jakarta: Youth Islamic Syudy Club (YISC), 1978
28. Majalah Suara Masjid, Edisi. Syawal – Dzulhijjah 1402 H/Agustus 1982 M No: 95
29. Muhammad ‘Imarah, Ma’rakah al Musthalahât baina al Gharb wa al Islam, terj. Mustahlah Maufur, Jakarta: Rabbani Press, 1998
30. Pepora 8, Kepartaian di Indonesia, Jakarta: Kementrian Penerangan Republik Indonesia, 1951
31. Robert P. Gwinn (Ed), The New Encyclopedia Britannica, Chichago: The University of Chichago, 1992
32. Ramli Hutabarat, Hukum dan Demokrasi, Jakrata: Biro Riset DDII, 1999
33. Syamsuddin bin Abdillah bin Muhammad bin Abi Bakr Ibn al Qayyim al Jauziyah, I’lâm al Muwaqqi’în, Beirut: Dâr al Jîl, tt
34. Tim Editor, Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1978
35. Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi dan Hak-hak Asasai Manusia Masyarakat Madani
36. Yusuf Abdullah Puar (Ed), Mohammad Natsir; 70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan, Jakarta: Pustaka Antara, 1978