Permasalahan PII yang kompleks di satu sisi bisa kita pahami jika menimbang usianya yang sudah 62 tahun. Namun, jika melihat usia para penggerak organisasi yang notabene masih muda (pelajar), kompleksitas persoalan PII harusnya tidak sampai berlarut-larut seperti sekarang. Tuanya usia organisasi dan mudanya para penggerak seharusnya menjadi paduan yang bisa mengakhiri berlarut-larutnya persoalan PII saat ini. Beberapa persoalan yang rata-rata mengemuka, dari hasil pengamatan kami di beberapa pengurus PII, antara lain; kesulitan memperoleh kader penerus, jalannya kepengurusan yang sering vacuum, semakin berkurangnya basis, tidak berjalannya follow up kader pasca basic trainning, banyaknya pengurus yang mundur dalam satu periode kepengurusan, sulitnya menjalankan program-program yang non-konvensional (diluar trainning), dan meningkatnya konflik internal.
Persoalan yang disebutkan diatas bisa mewakili klaim kita kita bahwa memang persoalan PII saat ini sangat kompleks. Dalam beberapa periode terakhir, di tingkat Pengurus Besar dan di beberapa wilayah, sudah ada upaya-upaya untuk mengatasi hal tersebut. Secara nasional, pasca 1998, beberapa konsep yang dilahirkan antara lain Gerakan Seribu Komisariat, peremajaan usia kader, penambahan konsep kekaryaan dalam catur bhakti, dan terakhir adalah perubahan komisariat menjadi komunitas. Dengan tidak mengurangi penghargaan kita terhadap upaya-upaya tersebut, kita tetap harus melihat realitas PII sekarang secara kritis. Kenyataannya, setelah berbagai upaya tersebut, terlepas dari polemik apakah betul telah maksimal ataukah belum dalam implementasi, persoalan PII yang kita sebutkan diatas tetap saja masih ada dan bertambah parah.
Jika kita memakai pe-ibarat-an, maka bolehlah kita mengibaratkan segala upaya yang telah dilakukan tetapi tetap saja meninggalkan persoalan yang sama adalah seperti ”memotong rumput”. Jikalau kita ingin membersihkan rumput maka haruslah mencabut sampai ke akarnya. Pertanyaan kita kemudian adalah apa yang menjadi akar persoalan dari kompleksitas persoalan PII? Akar persoalan yang menumbuhkan kompleksitas! Makalah ini tidak akan menjawab persoalan yang disebutkan diatas satu persatu karena modusnya bisa sangat kasuistik. Makalah ini akan mencoba menelusuri akar persoalan dengan mengkaji prinsip-prinsip dasar bangunan sebuah gerakan.
Objek Kritik sebagai Raison de Etre
Sebuah gerakan selalu muncul karena ada sebuah situasi dan kondisi yang tidak ideal. Para pendiri gerakan selalu mengemukakkan kritik-kritik terhadap persoalan yang mereka anggap harus disikapi dan dicarikan solusi. Pada akhirnya sebuah gerakan akan menetapkan suatu sikap dan mempertegas posisi terhadap situasi dan kondisi yang dihadapi. Pembacaan terhadap realitas sosial, menyampaikan kritik, menawarkan solusi, sehingga akhirnya melakukan perekrutan, adalah cikal bakal lahirnya sebuah gerakan. Dalam hal ini, validitas/ketepatan bacaan terhadap realitas menjadi penentu diterima/tidaknya sebuah gerakan oleh massa.
Raison de etre, atau alasan keberadaan sebuah gerakan berisi kritik yang menyiratkan idealisme. Realitas dihadapkan pada idealitas. Idealitas dibangun dari sumber-sumber nilai yang berada dalam rasio atau agama. Dalam kasus PII maka sumber nilai itu adalah segala sesuatu yang menjadi sumber nilai agama Islam. Jadi idealisme ”kesatuan umat” adalah konsep yang memuat niali-nilai yang bersumber dari Islam. Realitas keumatan yang terpecah belah menjadi raison de etre PII. Dalam pilihan strategisnya PII mengambil peran di segmen pelajar, dengan kata lain subjek seklaigus objek gerakan PII adalah pelajar.
Namun, mengingat raison de etre adalah realitas, maka dinamika/perubahan adalah sesuatu yang niscaya dialami. Dengan demikian muncullah pertanyaan,”apakah realitas yang menjadi alasan keberadaan PII masih kontekstual”? Dalam sebuah kajian yang dilakukan oleh A. Munir Mulkhan yang membahas tentang permasalahan dikotomi santri-abangan, menjelaskan bahwa pada akhir 1970-an dikotomi santri abangan sudah tidak relevan lagi. Artinya bahwa objek kritik PII, dimana menyatakan sistem pendidikan sebagai sumber perpecahan umat dengan membagi dalam dikotomi santri-abangan, sudah tidak ada! Raison de etre PII sudah tidak ada lagi. Perubahan kebijakan di zaman orde baru telah menghilangkan dikotomi tersebut dengan cara menghilangkan diskriminasi terhadap kaum santri dan membuka peluang yang sama antara santri dan abangan dalam mengelola negara. Walaupun kajian tersebut ditujukan kepada politik keterwakilan di pemerintahan, namun bisa digeneralisasi ke dalam lapangan sosial budaya. Dalam dunia pendidikan, terbentuknya institusi pendidikan yang mengakomodir ilmu umum dan ilmu keagamaan dalam satu sekolah oleh pemerintah, menjadi indikasi telah selesainya fenomena dikotomi santri abangan di level elit dan massa.
Dalam nalar sederhana, jika alasan sudah tidak ada maka seharusnya segala sesuatu tersebut tidak perlu diteruskan. Tetapi yang terjadi di PII adalah tidak demikian, PII masih mempertahankan eksistensinya. Keganjilan ini bukanlah sesuatu yang perlu kita bingungkan. Dalam banyak kasus, eksistensi gerakan tidak selalu berpatok pada tujuan awal. Terdapat banyak tujuan alternatif yang secara evolutif terbentuk dalam sebuah gerakan. Tujuan yang demikian bisa bersifat idealistis atau pragmatis. Setelah tujuan awal kehilangan alasannya, dan sebelum tujuan alternatif menjadi orientasi baru gerakan maka diperlukan suatu fase re-orientasi. Dalam fase ini akan terjadi dinamika yang bertujuan menentukan tujuan dan strategi baru. Dengan demikian, apakah pada akhir tahun 1980an terjadi dinamika di internal PII dan melahirkan orientasi baru gerakan? Untuk menjawab persoalan tersebut tidaklah pada makalah ini akan diuraikan. Makalah ini akan mengandaikan situasi serupa yang terjadi pada akhir 1990an dimana terjadi perubahan realitas eksternal di wilayah Indonesia. Apakah pada akhir 1990an tersebut terdapat upaya re-orientasi PII?
Re-Orientasi Gerakan PII?
Relasi antara tubuh gerakan dengan realitas eksternal bersifat saling mempengaruhi. Intervensi/rekayasa sosial yang diupayakan oleh gerakan akan mempengaruhi proses perubahan sosial. Demikian pula dengan realitas eksternal, perubahan alamiah yang terjadi di masyarakat akan mempengaruhi asumsi, penilaian, dan strategi gerakan. Relasi ini akan terus terjadi jika upaya saling mempengaruhi tidak berhenti.
Pada zaman orde baru, isu azas tunggal menjadi titik kritis gerakan PII. Terlepas dari pro kontra di internal PII, isu tersebut adalah concern PII selama hampir lebih dari satu dekade. Reformasi 1998 telah memberi pengaruh yang signifikan terhadap anasir isu tersebut. Tumbangnya orde baru telah menghilangkan ”sumber” persoalan seputar azas tunggal. Maka re-orientasi gerakan PII seharusnya terjadi dalam merespon perubahan eksternal tersebut. Pada situasi yang demikian sebuah gerakan harus kembali mereposisi dirinya. Momentum perubahan tersebut telah merubah kisaran dari berbagai elemen sosial politik. Konstelasi yang baru tidak lagi sama seperti sebelum reformasi!
Berbagai upaya perubahan di internal yang dilakukan oleh PII dalam rangka menghadapi perubahan pasca 1998 yang telah kita sebutkan diawal, bisa diartikan sebagai respon PII agar gerakan tetap kontekstual. Namun apakah upaya tersebut sudah menyentuh persoalan mendasar? Dalam sudut pandang saya upaya-upaya tersebut hanya menyentuh bagian tertentu/sektoral dan tidak mendasar. Gerakan seribu komisariat merupakan upaya programatik dalam memperluas lahan garap. Euphoria menyambut reformasi mendorong keinginan untuk secepatnya terjadi peningkatan kuantitas masaa. Seperti yang kita ketahui, upaya tersebut menemui jalan buntu ketika di lapisan masyarakat umum tawaran-tawaran ide PII tidak mendapat sambutan seperti yang dibayangkan. Secara kuantitas, sampai saat ini basis PII semakin berkurang. Kemudian di muktamar Ambon 2006, penambahan konsep kekaryaan di dalam catur bhakti ternyata berhenti hanya pada teks konstitusi. Revitalisasi sistem pengkaderan, yang terakhir pada sarasehan muadib nasional di Jakarta tahun 2008, tidak menemukan jalan keluar untuk mengatasi menyurutnya kuantitas dan kualitas kader. Upaya mutakhir adalah perubahan fungsi komisariat menjadi komunitas, dimana, ide ini disahkan pada muktamar Pontianak tahun 2008. Untuk hal yang terakhir kita belum bisa menilai secara penuh karena saat ini masih dalam periode kepengurusan hasil muktamar tersebut. Untuk sementara, terlihat bahwa upaya tersebut juga jauh dari apa yang diharapkan.
Secara umum bisa dinilai bahwa semua upaya tersebut masih belum menyentuh persoalan mendasar, raison de etre. Gejala umum yang biasa muncul ketika persoalan ini belum terrjawab adalah seringnya muncul pertanyaan; arah kemana gerakan PII saat ini?; perubahan seperti apa yang ditawarkan PII kepada umat?, dan beberapa pertanyaan yang senada. Pada tingkat yang kritis, pertanyaan tersebut akan hadir dan tak terjawab oleh pihak yang secara khusus melakukan kaderisasi, instruktur. Dengan tidak mengurangi penghargaan terhadap kebebasan interpretasi, apabila pertanyaan tersebut dijawab dalam variasi yang sangat banyak, maka boleh dikatakan telah terjadi miss-orientasi gerakan. Nampaknya gejala inilah yang terjadi pada tubuh PII sekarang.
Kecenderungan romatisme perlu kita perhatikan dalam keadaan miss orientasi. Dalam proses pencarian orientasi baru gerakan, terdapat dua kemungkinan, mengulang kejayaan masa lalu dengan mengambil modus-modus gerakan seperti di masa lalu atau, meng-kreasi modus baru gerakan dengan melakukan upaya pembacaan tentang realitas masa depan. Romantisme seringkali menjadi pilihan mengingat sebuah gerakan, terutama yang bertipikal ideologis, sulit untuk keluar dari kebiasaan. Upaya-upaya untuk keluar dari kebiasaan seringkali dianggap sebagai sesuatu yang bukan berasal dari dalam gerakan. Para pelaku perubahan dianggap sebagai seseorang yang membuat kerusakan/instabilitas, atau lebih ekstrim disebut pengkhianat (traitor). Jika pelaku perubahan tersebut memiliki kebertahanan ide dan loyalitas tinggi maka perubahan bisa terjadi secara berangsur-angsur, namun jika tidak maka ”mengundurkan diri” adalah pilihan lain apabila tidak diberhentikan. Kemungkinan kedua adalah yang dominan terjadi di PII.
Keharusan re-orinetasi gerakan
Kang Kuntowijoyo dalam buku Identitas Politik Umat Islam menyatakan bahwa tugas dari gerakan iIslam adalah menawarkan cara pandang alternatif terhadap umat Islam. Tugas demikian mengandung arti bahwa realitas sebenarnya memang tidak pernah ideal dan sebuah gerakan harus selalu mengasah sikap kritis terhadap realitas kekinian untuk menggapai idealitas yang di ajarkan Islam. Objek kritik akan selalu ada namun perlu upaya untuk bisa melihat dan menyikapinya. Kemampuan membaca realitas tentu saja membutuhkan kaca mata yang dibentuk dari nilai-nilai dan ilmu pengetahuan. Sikap-sikap seperti ketidakpedulian, jumud, pragmatisme,ashobiah dan sejenisnya yang mengahalangi masuknya ilmu, adalah sikap yang harus dihindari.
Melihat sejarah dan potensi kekuatan yang dimiliki oleh PII, keinginan untuk mempertahankan eksistensi, serta mengingat perubahan eksternal yang begitu nyata dan berlansung cepat, re-orientasi PII adalah keharusan. Perlu disadari bahwa potensi yang dimiliki oleh gerakan PII bukanlah sesuatu yang mudah untuk didapat. Jejaring yang secara geografis sangat luas, secara kelas sosial bisa ditelusuri dari masyarakat bawah sampai elit kekuasaan, dan karakter khas gerakan yang sudah terbentuk. Apabila upaya penemuan orientasi kontekstual PII tidak segera ditegaskan maka efek ”ekor tikus” akan dialami PII, semakin keujung semakin kecil. Jika keadaan mis orientasi ini dibiarkan
Tuesday, 20 July 2010
Re-Orientasi Gerakan PII; Sebuah Keharusan!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment