Redaksi Menerima kiriman tulisan baik opini, artikel dan lain-lain
Tulisan bisa dikirim via email ke alamat : pwkpii.mesir@gmail.com
Jazakumullah khairan katsiran

Friday, 4 May 2012

Generasi Emas, OSIS, dan OSES


Muhadjir Effendy; Ketua Umum terpilih 2012-2015 Keluarga Besar PII Jawa Timur ; Rektor Universitas Muhammdiyah Malang (UMM)
SUMBER : JAWA POS, 04 Mei 2012
PADA 4 Mei 1947 di ibu kota Republik Indonesia, waktu itu Jogjakarta, berdiri organisasi yang diberi nama Pelajar Islam Indonesia (PII). PII menjadi organisasi pelajar pertama yang berdiri di era setelah kemerdekaan. Tatkala Jogjakarta menjadi pusat perlawanan untuk mempertahankan kemerdekaan, anak-anak sekolahan dalam PII yang baru lahir itu langsung ikut menjadi pejuang. Momentum dan suasana kelahiran tersebut, dipadu dengan anutan ideologi plus gejolak usia remaja, membuat watak organisasi itu menjadi khas, yaitu fanatik, militan, idealis-utopis dibumbui dengan romantisme perjuangan.

Watak semacam itu tetap terbawa ketika bangsa Indonesia memasuki tahap mengisi kemerdekaan. Ketika itu berbagai kekuatan ideologi menjelma menjadi partai-partai politik yang saling bersaing. Ada dua ideologi dan partai yang jelas-jelas tidak mungkin dipersatukan, yaitu Masyumi (Majelis Syura Muslimin) yang mewakili agama dan PKI (Partai Komunis Indonesia) yang komunis-ateis. Di tengah persaingan sengit itu, sekalipun menyatakan diri sebagai organisasi independen, PII mau tidak mau memiliki kedekatan dengan Partai Masyumi. Saking dekatnya, orang-orang PKI menjulukinya "Masyumi berkatok pendek".

Sikap antikomunis PII termanifestasi dalam kegiatan pengaderan. Baik sebagai bagian dari materi training, yel-yelnya, maupun nyanyian-nyanyian. Misalnya yang terdapat dalam sebuah lirik: ...hai PII! Maju terus maju, galanglah ukhuwah islamiah, jadilah pemersatu umat, jadilah pedang umat Islam, hancur leburkan ateisme, maju terus pantang mundur!

Bagi PII, keberadaan Partai Masyumi dan dirinya memang memiliki sejarah khusus. Salah satu doktrin yang ditanamkan kepada kader PII adalah pentingnya menggalang persatuan umat Islam. Dalam Ikrar Malioboro para pemimpin Islam bersepakat akan pentingnya satu kesatuan umat Islam. Mereka berikrar hanya Masyumi-lah satu-satunya partai Islam, organisasi pelajarnya adalah PII, organisasi mahasiswanya HMI, organisasi pemudanya adalah GPII, dan Pandu Islam (PI) satu-satunya organisasi kepanduannya. PII juga merujuk fatwa yang pernah diucapkan Hadhratusy Syaikh KH Hasyim Asy'ari, pendiri NU, bahwa haram hukumnya partai Islam selain Masyumi. Namun, kesepakatan itu berlangsung tidak lama karena pada 1948 PSII keluar dari Masyumi untuk menjadi partai politik sendiri dan disusul NU pada 1952.

PII pelan-pelan mulai kehilangan hak monopolinya ketika ormas dan orpol Islam mulai membentuk organisasi sayap pelajarnya sendiri. Di NU berdiri Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) pada 1954. Di Muhammadiyah, setelah terjadi pro-kontra akhirnya pada 1961 juga berdiri Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM). Kendati begitu, doktrin akan pentingnya satu kesatuan umat Islam tetap menjadi cita-cita utopia PII. Ketika pada 1960 Presiden Soekarno membubarkan Partai Masyumi, PII terkena imbasnya. PKI dan onderbouw-nya kian beringas terhadap si Masyumi bercelana pendek itu. Kasus yang sangat terkenal, misalnya, peristiwa Kanigoro pada 1965. Ketika itu BTI, organisasi onderbouw PKI, menyerbu tempat terselenggaranya training PII di Kanigoro, Kediri.

PII dan TNI

Pada 1966 keadaan jadi berbalik. Para aktivis PII -bersama IPNU, IPM, GSNI, dan lain-lain- dengan dukungan ABRI ramai-ramai mengganyang PKI melalui Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI). Beda dengan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang wilayah operasinya terbatas di kota-kota perguruan tinggi, jangkauan KAPPI bisa sampai ke pelosok tempat sekolah. Mereka bekerja sama dengan ABRI sampai level komando paling bawah, yaitu koramil. Saking dekatnya para aktivis KAPPI dengan ABRI, mereka semacam mendapat prioritas diterima di Akabri. Terutama ketika gubernur Akabri dijabat Sarwo Edhie (1970-1973). Banyak lulusan Akabri angkatan tahun '70-an yang berasal dari aktivis KAPPI, terutama PII. Sebagaimana kita tahu, mertua Presiden SBY itu tatkala menjadi komandan RPKAD (1964-1967) sangat terkenal dalam memimpin penumpasan G 30 S/PKI.

Seperti melupakan andil organisasi-organisasi siswa ekstrasekolah (OSES), justru kemudian pemerintah Orde Baru secara sistematis mencegah kehadiran organisasi ekstrasekolah masuk di sekolah. Di sekolah hanya boleh ada OSIS (organisasi siswa intrasekolah) dan pramuka.

Bagaimanapun, organisasi ekstrasekolah telah menunjukkan keunggulannya dalam menyiapkan pemimpin-pemimpin bangsa. Sebut saja, misalnya, PII telah melahirkan Jusuf Kalla. GSNI melahirkan Taufik Kiemas, dari IPM memunculkan Busyro Muqoddas. Kalau ada kekhawatiran organisasi ekstra memunculkan sikap fanatisme sempit dan kaku, itu tidak sepenuhnya benar. Bisa disaksikan bahwa PII bisa melahirkan tokoh NU seperti KH Hasyim Muzadi sekaligus tokoh Muhammadiyah seperti Prof A. Malik Fadjar. IPNU yang notabene organisasi sayap NU bisa melahirkan tokoh Muhammadiyah seperti Prof M. Din Syamsuddin. Di jajaran kabinet saat ini ada para menteri yang mulai mengasah bakat kepemimpinan sejak usia remaja melalui organisasi ekstrasekolah.

Generasi Emas Perlu Utopia

Masa remaja ibarat lempengan besi yang sedang membara, saat yang mudah ditempa untuk dibikin menjadi apa saja. Termasuk saat yang paling tepat untuk ditempa menjadi calon pemimpin bangsa. Sayang, keadaan sekolah-sekolah kita saat ini tidak cukup kondusif untuk menyemai calon-calon pemimpin itu. Anak-anak sekolah kita tidak mampu membangun "mimpi besar" karena imajinasi dan cita-cita utopis mereka tidak berkembang seperti yang seharusnya terjadi pada anak usia remaja yang bakal menjadi pemimpin masa depan. Akibatnya, naluri militansi, fanatisme, dan romantisme perjuangan mereka lampiaskan lewat tawuran masal, geng motor, vandalisme, bahkan tindakan kriminal.

Dalam memperingati Hari Pendidikan Nasional tahun ini, menteri pendidikan dan kebudayaan mengangkat masalah mempersiapkan generasi emas Indonesia (Jawa Pos, 2 Mei 2012). Menyiapkan generasi emas yang menguasai berbagai keterampilan perakitan dan produksi sangat penting.

Akan tetapi, saya kira itu bukan jalan untuk menyemai pemimpin bangsa. Tetapi, justru potensi persemaian itu ada pada organisasi-organisasi ekstrasekolah. Karena itu, demi lahirnya pemimpin generasi emas Indonesia, diperlukan kebijaksanaan yang mendorong dan memfasilitasi kembalinya organisasi-organisasi siswa ekstrasekolah alias OSES tersebut untuk berkiprah di sekolah-sekolah, seperti OSIS. ●