Redaksi Menerima kiriman tulisan baik opini, artikel dan lain-lain
Tulisan bisa dikirim via email ke alamat : pwkpii.mesir@gmail.com
Jazakumullah khairan katsiran

Monday 3 January 2011

Waktu yang Memaksa Kita Untuk Berpisah

Kebahagiaan seorang anak adalah ketika mereka mendapatkan kasih sayang dari  kedua orang tuanya. Dan di kala  mereka memasuki  masa pubertas mereka lebih membutuhkan perhatian dan bimbingan yang lebih besar.  Tapi kenyataannya tidak semua anak bisa mendapatkan kebahagiaan itu. Maka simaklah sebuah kisah yang mengandung berjuta hikmah bagi segenap yang membaca.



Hadirlah seorang anak kecil yang sangat periang dan humoris. Dia tidak pernah mendapatkan kasih sayang ayahnya karena ayahnya meninggalkannya ketika dia masih kecil. Sebut saja namanya  Aisyah. Semenjak usia 12 tahun, Aisyah sudah tinggal di pesantren. Karna dia anak yang kurang mampu dari segi ekonomi dia masuk pesantren itu dengan catatan dia harus bersih-bersih di pesantren. Meski hanya menyapu, mengepel dan kadang-kadang harus menyetrika, untuk anak seumur dia adalah pekerjaan yang berat, tapi demi menuntut ilmu dia menjalani  dengan senang hati

Hari-hari Aisyah disibukan dengan berbagai kegiatan dari pagi sampai sore. Aisyah mempunyai 24 teman dalam satu kelas. Dia termasuk anak yang humoris dan jika dia tidak masuk kelas maka kelaspun sunyi, itulah kelebihan Aisyah. Dia anak yang baik dan senang membuat teman-temannya tertawa dengan ide-ide goribah-nya.

Hampir semua anak pesantren mengenal Aisyah karena dia anak yang rajin dan selalu membantu teman-temannya. Empat tahun sudah dia tinggal di pesantren, dia tidak sendiri karna dia selalu bersama teman-temannya. Dan dia juga mempunyai kakak angkat yang bernama Zahroh.

Pada suatu sore Aisyah dan Zahroh berbincang-bincang sambil duduk santai. Zahroh bertanya, “Siapakah orang yang kamu sayangi?”

Aisyah menjawab, “Ibuku...”. “Kenapa?” Tanya Zahroh lagi.

“Karena ibuku adalah pahlawan buat aku. Karna ibuku adalah orang yang selalau setia menemaniku, meski kerap kali aku memuat jengkel tapi ibuku tak pernah marah. Dia orang yang sangat sabar, dia rela berkorban demi aku…” jelas Aisyah panjang lebar.

Zahroh masih bertanya lagi, “Siapakah orang yang kamu benci?”

Aisyah menjawab dengan tegas, “Ayahku!”

Zahroh bertanya kembali dengan raut muka yang sedikit kaget, “Loh, kenapa?”

“Karna ayahku  menyakiti hati ibuku dan dia pergi dengan wanita lain,” jawab Aisyah dengan enggan.

Perbincangan itupun berakhir dikarnakan bunyi jaros yang menandakan waktu bagi seluruh  santriwan santriwati berkumpul di masjid mempersiapkan sholat Magrib berjemaah dan disambung dengan kajian salafiyah.

Fajar pagipun menyambut dengan hangatnya. Semua santri sudah siap menerima pelajaran yang akan disampaikan oleh ustad  Asep. Di tengah pelajaran, santri di hebohkan dengan sakitnya Aisyah secara tiba-tiba. Dia batuk-batuk sampai mengeluarkan darah dan seketika itu juga langsung pingsan. Ahirnya ruangan kelaspun menjadi ribut dengan isak tangis teman-temannya yang merasa khawatir dengan kondisi Aisyah saat itu.

***

Sudah hampir satu minggu tapi penyakit Aisyah tidak kunjung sembuh, malah penyakitnya bertambah parah. Ketika ibunya mengetahui anak kesayangannya sakit keras, beliau langsung meminta izin kepada pihak pesantren supaya Aisyah dirawat di rumah. Bapak pimpinan pesantren langsung mengizinkan. Aisyah pun di rawat di rumah. Tanpa bisa disembunyikan, isak tangis ibunya terdengar sangat jelas di telinga Aisyah. Meski kondisi Aisyah sangat lemah tapi dia berusaha untuk menghibur hati ibunya. Aisyah berkata, “Ibu, janganlah kau menangis karna tangisan ibu lebih membuat hati Aisyah sedih dari pada penyakit yang aku alami,”. Seketika itu ibunya pun memeluk dan menciuminya. Aisyahpun tersenyum meski senyuman itu diiringi dengan butiran air mata.

Hari berganti hari tapi tak terlihat tanda-tanda kesembuhan malah semakin hari semakin parah. Setiap batuk Aisyah selalu mengeluarkan darah. Melihat penyakit yang diderita anak kesayangannya, hati ibunya serasa di cabik-cabik,.Tanpa berfikir panjang ibunya pun membawa Aisyah ke rumah sakit meski dengan uang yang pas-pasan, ibu Aisyah tetap nekat. Sudah hampir lima hari Aisyah dirawat di rumah sakit ahirnya kondisi Aisyah sedikit membaik. Teman-temannyapun sebagian menjenguk Aisyah ke rumah sakit sambil membawa sedikit bantuan uang perawatan selama Aisyah di rumah sakit,. Sedangkan biaya obat Zahroh yang menanggung. Meski keadaan  Aisyah belum sembuh total Aisyah ingin sekali cepat –cepat kembali ke pesantren untuk menggali ilmu kembali. Karna semangatnya yang begitu besar ibunyapun tidak bisa menahannya.

Aisyah kembali ke pesantren dengan wajah yang berseri-seri meski terlihat masih sedikit pucat.

Dia ahirnya bisa mengikuti kegiatan seperti biasanya. Nampak keceriaan di muka Aisyah dan teman-temannya setelah beberapa minggu mereka berpisah. Tapi kini perpisahkan itu memberi kehangatan ketika rindu telah terobati dengan kembalinya sosok wanita yang selalu semangat belajar dan berjuang menuntut ilmu itu ke pesantren.

***

Hari barganti hari kini masanya mereka menuai buah kebahagaiaan karena tinggal tiga bulan lagi mereka di wisuda. Di tengah keceriaan temannya semua, lagi- lagi Aisyah pingsan dan keluar darah dari mulutnya. Ternyata penyakitnya semakin parah meski fisiknya terlihat seperti orang sehat tapi tubuhnya lemah. Kali ini penyakit Aisyah bertambah parah. Hampir sekujur tubuhnya dibasahi oleh darah. Dia batuk-batuk sambil mengeluarkan darah yang begitu banyak.

Suara tangis para santri terdengar keras. Mereka tidak tega melihat kondisi temannya itu yang seakan-akan mau menemui ajalnya sebentar lagi. Ketika ibunya dikabarkan Aisyah sakit, ibunyapun langsung menemuinya. Sesampainya di pesantren, pecahlah tangisannya yang terdengar begitu jelas menyisakan haru dan pilu bagi orang yang mendengarnya. Rasa resah dan gelisah beriringan dengan rasa takut yang begitu besar menyelimuti hati ibu Aisyah. Alangkah kagetnya ketika ibu Aisyah melihat kondisi anaknya yang semakin kritis, beliau langsung memeluk anaknya. Ia berkata dalam hati Ya Tuhan jangan KAU cabut nyawa anaku, cabut sajalah nyawaku aku rela menukar nyawaku dengan nyawa anaku”. Aisyah kemudian berkata, “Ibu maafkan Aisyah kalau selalu merepotkan Ibu dan tidak bisa menemani Ibu lagi. Ibu aku mencintaimu. Aku selalu berdoa supanya Allah Swt  menyatukan hati kita tidak hanya di dunia ini saja, tapi kita akan selalu bersama dalam naungan ridho-NYA”. Ahirnya dia meninggal. Tangisan teman-temannya pun semakin terdengar. Rasanya mereka tidak percaya kalau temannya kini sudah meninggal. Di dalam saku Aisyah ditemukan sebuah surat.
Untuk ibuku tercinta


Ibu, entah kenapa hati ini merasa bahwa kita akan berpisah. Meski aku sebenarnya tidak ingin pergi meninggalkanmu. Aku sangat menyayangimu. Di wajahmu aku melihat ketegaran dan keikhlasan. Meski sebenarnya aku merasakan kesedihan dalam hati ibu, tapi tidak terlihat dalam wajahmu rasa sedih sedikitpun. Meski aku belum dewasa tapi aku tahu bahwa perpisahan itu akan menyisakan rasa luka, apalagi jika kesetiaan di balas dengan penghianatan. Aku benci sama ayah, ayah meninggalkanku di kala aku masih berumur  tiga tahun. Aku iri sama teman-teman di saat mereka mendapatkan kasih sayang kedua orang tua, aku hanya mendapatkan kasih sayang dari ibu. Ibu yang selalu menemaniku, menyayangiku, memelukku dan melindungiku. Sedangkan ayah bersenang-senang dengan istri mudanya. Ayah…kembalilah.

Tuhan aku berharap jangan kau pisahkan aku dengan ibuku, karna aku belum sempat  membahagiakannya, menghapus semua luka yang digores oleh ayah ku sendiri. Aku berjanji akan membahagiakan ibuku sampai akhir hayatnya.Tapi jika aku yang mendahuluinya maka waktulah yang memisahkan kami, hatiku hanya untuknya meski aku tidak lagi bersamanya....

Penulis :

Sukmi sujanah

Sekretaris I

Perwakilan PII Mesir 2010-2012

*Tulisan ini juga di muat di Buletin “Musafir” PWK PII Mesir Edisi Desember 2010