Redaksi Menerima kiriman tulisan baik opini, artikel dan lain-lain
Tulisan bisa dikirim via email ke alamat : pwkpii.mesir@gmail.com
Jazakumullah khairan katsiran

Tuesday 20 July 2010

Aku dan PII

andi (aku dan pii)


Dua hari belakangan ini aku selalu terpikirkan untuk menulis sebuah “sekolah” yang telah mendidikku di luar sekolah. Ini menimbulkan stimulus agar menjadikannya (baca: sekolah) keyword di CatHar hari ini. Banyak sebenarnya yang ingin aku tuliskan mengenai “sekolah” satu ini, akan tetapi karena keterbatasan daya ingat, harus diminimalisir juga agar tidak berbicara “overclock” nantinya, sembari menjaga pertanggung jawaban di hari kemudian. “Sekolah” tersebut bernama PII atau tepatnya lagi Pelajar Islam Indonesia, semoga teman-teman menikmati keyword kali ini.

Pelajar Islam Indonesia (PII), merupakan–sebagaimana dikutib bang Djayadi Hanan dalam bukunya “Gerakan Pelajar Islam di Bawah Bayang-bayang Negara” dari M.Rusli Karim- organisasi pelajar tertua setelah kemerdekaan Indonesia, bergerak di bidang sosial-pendidikan dan dakwah, lahir di Yogyakarta, 4 Mei 1947. Pendirian organsiasi ini dilatar belakangi oleh motivasi keagamaan dan motivasi kebangsaan. Ayat al-Quran yang menjadi rujukan adalah Surat Ali Imran [3] : 104 yang artinya “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”.

Sedang motivasi kebangsaan terlihat dari gerakan PII sebagai organisasi yang lahir di masa mempertahankan dan mengisi kemerdekaan, di sini PII telah menunjukkan komitmennya yang besar terhadap keberlangsungan hidup bangsa dan negara. Andil PII terhadap Negara ini terbukti dengan adanya amanat almarhum Jenderal Soedirman (Panglima Besar Angkatan Perang RI) pada resepsi Hari Bangkit (HARBA)I PII, 4 Mei 1948-PII memperingati hari lahirnya dengan istilah HARBA bukan Hari Ulang Tahun HUT- yang bunyinya:

“...Saya ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada anak-anakku PII, sebab saya tahu bahwa telah banyak korban yang telah diberikan oleh PII kepada negara... Teruskan perjuanganmu, hai anak-anakku Pelajar Islam Indoneisa. Negara kita adalah negara baru, didalamnya penuh onak dan duri, kesukaran dan rintangan banyak kita hadapi. Negara membutuhkan pengorbanan pemuda dan segenap bangsa Indonesia”.

Juga, Presiden Soeharto ikut mengakui peran PII dalam sambutannya pada peringatan Isra’ Mi’raj yang diselenggarakan PB PII di Jakarta tanggal 13 September 1966:

Saya mengenal PII sebagai satu organisasi pemuda pelajar yang saat-saat tenaganya dibutuhkan oleh bangsa dan revolusi, selalu tergolong yang pertama-tama tampil ke depan dengan semangat juang dan berkorban yang tinggi disertai rasa tanggungjawab yang besar. Indonesia pada waktu sekarang tidaklah hanya membutuhkan warga negara yang cerdas otaknyadan kuat badannya tetapi yang lebih pendting daripada itu aialah kita membutuhkan warga negara yang mempunyai i’tikad baik, mau bekerja sunguguh-sungguh, jujur, dan tinggi mentalnya. Kami yakin, dengan agama Islam sebagai dasar dan titik tolak pemikiran, maka PII tentu akan merupakan potensi yang ampuh dalam mengamankan Pancasila dalam usahanya menyelamatkan revolusi dan menegakkan keadilan dan kebenaran”.

Demikianlah cuplikan singkat mengenai PII, untuk lebih mengenal kembali mungkin buku “Gerakan Pelajar Islam di bawah bayang-bayang Negara” karangan Bang Djayadi Hanan dan buku “Warna-warni PII” dari JSP PII dapat membantu.

Masih segar dalam ingatanku, ketika pertama kali aku mengenal “sokolah” PII ini. Kala itu, di Pondok Pesantren Ngabar Ponorogo, tahun 2000 Pengurus Pusat Pelajar Islam “Wali Songo” (P3IWS) –di tahun 2003 berganti nama menjadi Organisasi Santri Wali Songo (OSWAS)-, yang dulunya merupakan basis PII daerah Ponorogo, mengadakan program BIB (Belajar Islam Bersama). Banyak materi yang diberikan namun yang teringat olehku hingga saat ini adalah materi “Scurity” yang memiliki prinsip “Buka mata Lebar-lebar, buka telingan lebar-lebar dan tutup mulut rapat-rapat”. Di BIB ini kak Adli Nurzaka sebagai instruktur memperkenalkan PII kepada para peserta termasuk aku.

Empat tahun berlalu, PII sudah jarang sekali terdengar di telinga para santri “Wali Songo”, hal ini dikarenakan sistem pondok yang telah lama melepaskan diri dari PII dengan dalih independensi institusi, dan telah lulusnya para kader-kader PII dari pesantren. Padahal harus diakui bahwa, majunya gerakan organisasi santri Pondok Pesantren Wali Songo (PPWS) waktu itu adalah jasa dari para kader-kader PII yang menyumbangkan ide-ide pemikiran yang progresif dan kritis. Bahkan di sela-sela acara ceremonial OSWAS –yang waktu itu saya pimpin- Pimpinan Pondok Bapak, K.H Zainudin As, Lc mengakui andil PII dalam membangun struktur kepengurusan masjlis riyasatil ma’had (MRM) (?)–setingkat MPR kalau di Indonesia- di masa-masa awal berdirinya lembaga tersebut.

Beliau (pimpinan pondok) –waktu itu masih ustadz pengajar- sempat meminta bantuan ke kyai Pondok Modern Gontor untuk memberikan solusi mengenai format struktur kepengurusan MRM, akan tetapi pihak Gontor  menganjurkan agar berkonsultasi dengan sesepuh-sesepuh yang ada di Wali Songo, akhirnya beliaupun pulang tanpa membawakan hasil. Sehingga teringatlah olehnya akan organisasi pelajar di PPWS yang kala itu tidak lain adalah Pelajar Islam Indonesia.

Tahun 2004 dimana aku masih duduk di kelas V tarbiyatul muallimin PPWS, OSWAS berada dalam kondisi yang kritis, dan dibilang jauh dari sebuah organisasi.  Soerjono Soekanto dalam bukunya Sosiologi Sebuah Pengantar menuliskan, “...Organisasi sudah dibentuk, maka diasumsikan akan merupakan suatu identitas tersendiri yang khusus. Hidup organisasi biasanya lama, walaupun terjadi perubahan-perubahan tapi tanpa mengubah identitas yang menjadi strukturnya. Usaha-usaha kolektif para anggota organissi disebut sebagai melakukan hal-hal yang bersifat formal, karena didasarkan pada organisasi yang memperjuangkan kepentingan bersama. Unsur-unsur organisasi merupakan bagian-bagian fungsional yang berhubungan”. Sedang para pengurus OSWAS waktu itu jarang sekali yang memahami hal ini, bahkan OSWAS hanya dianggap sebagai wadah “kekuasaan” santri agar terbebas dari aturan pondok. Walaupun ada aktifitasnya, kala itu hanyalah “turunan” atau warisan dari periode sebelumnya. Hanya itu.

Melihat kondisi seperti itu, aku pun mulai membuka-buka  beberapa arsip yang tersisa di ruang Badan Pengurus Harian (BPH) OSWAS. Di sanalah aku menemukan, beberapa litral mengenai PII, surat-surat ber kopkan PII, juga tidak ketiggalan stemple Pengurus Daerah Istimewa (PDI-PII) Ngabar. Semakin lama aku membaca arsip tersebut, semakin dalam rasa ingin tahuku akan PII itu sendiri.

Karena rasa ingin tahu mengenai PII, aku bersama temanku Aditia Prahmana pergi ke Pengurus Wilayah PII (PW-PII) Jawa Timur di Surabaya, kebetulan waktu itu lagi liburan pesantren dan kami mengikuti acara konsulat jawa timur –sebuah organisasi kedaerahan yang ada di PPWS- di Sidoarjo. Di sela-sela persiapan acara konsutlat aku dan Aditia pergi ke kota Surabaya untuk mencari markas PW-PII Jawa Timur yang terletak di Jalan Kupang PanjaanV/14. Walau agak susah mencari letak pastinya, maklum baru pertama keliling daerah Surabaya, akhirnya aku menemukan sebuah bangunan dua tingkat yang waktu itu masih belum sempurna dengan plang besar di depannya “PW-PII Jatim”.

Aku dan temanku masuk ke dalam bangunan tersebut, di dalamnya kami bertemu dengan Kak Ali, yang ternyata alumni PPWS –mantan P3IWS- yang sepertinya masih aktif di PII Jatim, kemudian tidak lama datang pula Ketua Umum PW-PII Jatim Bang Resapugar yang beberapa hari lagi mau domisioner. Dari sini obrolan kami dimulai tentang PII dan status PDI-PII Ngabar. Apakah PW-Jatim masih mengakui PDI-PII Ngabar sebagai basis PII? Ternyata jawabannya seperti yang aku duga sebelumnya, hingga periode Resapugar 2002-2004 Ngabar masih tercatat sebagai Pengurus Daerah. Dapat ditarik kesimpulan, di sini ternyata kader-kader PII Ngabar selama ini menjadi “anak nakal” di PPWS, sebagai mana PII menjadi “anak nakal” di rezim Orde Baru.

Awal obrolan dengan Bang Resapugar membuatku menjadi “anak nakal”, termasuk teman-teman pengurus angkatanku. Hingga suatu ketika ada surat masuk ke bagian administrasi pesantren –mungkin karena waktu itu para asatidznya juga manta PII jadi lolos sensor- dari PD-PII Kertosono (?) untuk mengikuti Basic Traning (BATRA) di Kertosono. Kali ini aku pergi bersama Mu’tashim El-Mandiri ke Kertosono untuk mengikutinya. Karena waktu yang kurang tepat –berdekatan dengan hari raya idul fitri- sehingga BATRA pun dibatalkan, -yah, mungkin belum ada kesempatan- akan tetapi ada penawaran dari instruktur, waktu itu Bang Syarifudin Lathif dan Bang Fajar Hanif Wirawan, untuk mengikuti Pra Batra di Ngawi.

Aku dan Elman akhirnya berdiskusi untuk mengikuti pra Batra tersebut, karena status kami santri “kabur” akhirnya aku memutuskan untuk tetap ke Ngawi sedang El-man pulang untuk “mengamankan” situasi di pesantren. Dari Pra Batara yang berlangsung tiga hari tiga malam itulah, aku mulai mengenal PII, dimana PII juga mengenalkanku lebih dalam mengenai organisasi dan beberapa materi-materi yang sangat berarti lainnya.

Setelah proses Pra Batra, datang lagi surat masuk dari PW-PII Jatim dengan agenda RAPIMWIL plus Batra dan Intra di Pare-Kabupaten Kediri, tanggal 20-27 Januari 2005. Satu hari sebelum RAPIMWIL di Pare, Aku dan Heru Santoso (juga teman satu kepengurusan di OSWAS) mulai mengatur siasat untuk keluar pesantren, disamping aku juga mempersiapkan dua kader, Susantri dan Syarifudin, yang akan diutus mengikuti traning setelah RAPIMWIL. Akhirnya kami berempat pergi jam 03.00 pagi dengan mengambil bus jurusan Treanggalek kemudian diteruskan dengan bus jurusan Kediri. Aku dan Heru hanya mengikuti Rapimwil saja karena waktunya bertepatan dengan ujian kelulusan kelas VI (3 Aliyah) -padahal ingin sekali mengikuti Traning waktu itu- sedang untuk Batra, Susantri dan Syarifudin, yang menjadi utusan PD Ngabar. Lagi-lagi belum ada kesempatan Batra.

Hingga tahun 2006, setelah aku menjadi mahasiswa di Universitas Al-Azhar, barulah aku, El-Man dan Heru Santoso dapat mengikuti Batra dari PWI.PII Mesir –setelah Muknas di Pontianak menjadi Pwk.PII Mesir-, yang ketua umumnya Bang Auli ul-Haq Marjuki dari Aceh. Dari awal Basic ini aku mulai aktif di PII, tidak lagi berada di “bawah tanah”.

Aku lebih banyak intens di PII mungkin ketika aku berinteraksi dengan orang-orang Pwk.PII Mesir periode 2006-2008. Dimana Saudara Rashid Satari (panggilan akrab Bang Ochid) menjadi ketua terpilih dalam Konferensi Wilayah ke V di Wisma Nusantara. Di periode tersebut, aku diamanahi menjadi Biro Kesekretariatan  PII sehingga harus tinggal di sekretariat. Dari sini aku banyak mengenal para instruktur pun teman-teman PII yang unik, seperti Udo Yamin Efendi, Ahmad Tirmidzi Lc. Dpl, Hamzah Amali, Rashid Satari, Gana Pryadarizal Anaedi Putra, Irsyad Azizi, Zulfi Akmal, Teguh Hudaya, Aulia ul Hak Marjuki, Aidil Susandi, Feri Ramadhansyah, Zainal Mukhlis, Erqin, Irfan Prima Putra, Agus Solehudin, Agus TR, Fery Firmansyah, Asep Sofyan (Ogay), Irfan Fathina, Yunan, teh Uci, teh Shofi, Hamidah, Majidah,  dan masih banyak lagi, yang kalau dituliskan disini bisa jadi data base nantinya.

Banyak kenangan di sela-sela ukhuwah itu semua, dari PII aQ belajar kedewasaan berintraksi, berfikir dan berkomunikasi. Secara tidak langsung PII telah mendidikku sebagai seorang yang empati terhadap pelajar, terhadap Islam dan Indonesia. I Love PII

Nasr City, Kairo.

Oleh: Andy Hariyono

*Ketua  umum PWK PII Mesir periode 2008-2010

Re-Orientasi Gerakan PII; Sebuah Keharusan!

DEMO-G~2Permasalahan PII yang kompleks di satu sisi bisa kita pahami jika menimbang usianya yang sudah 62 tahun. Namun, jika melihat usia para penggerak organisasi yang notabene masih muda (pelajar), kompleksitas persoalan PII harusnya tidak sampai berlarut-larut seperti sekarang. Tuanya usia organisasi dan mudanya para penggerak seharusnya menjadi paduan yang bisa mengakhiri berlarut-larutnya persoalan PII saat ini. Beberapa persoalan yang rata-rata mengemuka, dari hasil pengamatan kami di beberapa pengurus PII, antara lain; kesulitan memperoleh kader penerus, jalannya kepengurusan yang sering vacuum, semakin berkurangnya basis, tidak berjalannya follow up kader pasca basic trainning, banyaknya pengurus yang mundur dalam satu periode kepengurusan, sulitnya menjalankan program-program yang non-konvensional (diluar trainning), dan meningkatnya konflik internal.

Persoalan yang disebutkan diatas bisa mewakili klaim kita kita bahwa memang persoalan PII saat ini sangat kompleks. Dalam beberapa periode terakhir, di tingkat Pengurus Besar dan di beberapa wilayah, sudah ada upaya-upaya untuk mengatasi hal tersebut. Secara nasional, pasca 1998, beberapa konsep yang dilahirkan antara lain Gerakan Seribu Komisariat, peremajaan usia kader, penambahan konsep kekaryaan dalam catur bhakti, dan terakhir adalah perubahan komisariat menjadi komunitas. Dengan tidak mengurangi penghargaan kita terhadap upaya-upaya tersebut, kita tetap harus melihat realitas PII sekarang secara kritis. Kenyataannya, setelah berbagai upaya tersebut, terlepas dari polemik apakah betul telah maksimal ataukah belum dalam implementasi, persoalan PII yang kita sebutkan diatas tetap saja masih ada dan bertambah parah.

Jika kita memakai pe-ibarat-an, maka bolehlah kita mengibaratkan segala upaya yang telah dilakukan tetapi tetap saja meninggalkan persoalan yang sama adalah seperti ”memotong rumput”. Jikalau kita ingin membersihkan rumput maka haruslah mencabut sampai ke akarnya. Pertanyaan kita kemudian adalah apa yang menjadi akar persoalan dari kompleksitas persoalan PII? Akar persoalan yang menumbuhkan kompleksitas! Makalah ini tidak akan menjawab persoalan yang disebutkan diatas satu persatu karena modusnya bisa sangat kasuistik. Makalah ini akan mencoba menelusuri akar persoalan dengan mengkaji prinsip-prinsip dasar bangunan sebuah gerakan.

Objek Kritik sebagai Raison de Etre

Sebuah gerakan selalu muncul karena ada sebuah situasi dan kondisi yang tidak ideal. Para pendiri gerakan selalu mengemukakkan kritik-kritik terhadap persoalan yang mereka anggap harus disikapi dan dicarikan solusi. Pada akhirnya sebuah gerakan akan menetapkan suatu sikap dan mempertegas posisi terhadap situasi dan kondisi yang dihadapi. Pembacaan terhadap realitas sosial, menyampaikan kritik, menawarkan solusi, sehingga akhirnya melakukan perekrutan, adalah cikal bakal lahirnya sebuah gerakan. Dalam hal ini, validitas/ketepatan bacaan terhadap realitas menjadi penentu diterima/tidaknya sebuah gerakan oleh massa.

Raison de etre, atau alasan keberadaan sebuah gerakan berisi kritik yang menyiratkan idealisme. Realitas dihadapkan pada idealitas. Idealitas dibangun dari sumber-sumber nilai yang berada dalam rasio atau agama. Dalam kasus PII maka sumber nilai itu adalah segala sesuatu yang menjadi sumber nilai agama Islam. Jadi idealisme ”kesatuan umat” adalah konsep yang memuat niali-nilai yang bersumber dari Islam. Realitas keumatan yang terpecah belah menjadi raison de etre PII. Dalam pilihan strategisnya PII mengambil peran di segmen pelajar, dengan kata lain subjek seklaigus objek gerakan PII adalah pelajar.

Namun, mengingat raison de etre adalah realitas, maka dinamika/perubahan adalah sesuatu yang niscaya dialami. Dengan demikian muncullah pertanyaan,”apakah realitas yang menjadi alasan keberadaan PII masih kontekstual”? Dalam sebuah kajian yang dilakukan oleh A. Munir Mulkhan yang membahas tentang permasalahan dikotomi santri-abangan, menjelaskan bahwa pada akhir 1970-an dikotomi santri abangan sudah tidak relevan lagi. Artinya bahwa objek kritik PII, dimana menyatakan sistem pendidikan sebagai sumber perpecahan umat dengan membagi dalam dikotomi santri-abangan, sudah tidak ada! Raison de etre PII sudah tidak ada lagi. Perubahan kebijakan di zaman orde baru telah menghilangkan dikotomi tersebut dengan cara menghilangkan diskriminasi terhadap kaum santri dan membuka peluang yang sama antara santri dan abangan dalam mengelola negara. Walaupun kajian tersebut ditujukan kepada politik keterwakilan di pemerintahan, namun bisa digeneralisasi ke dalam lapangan sosial budaya. Dalam dunia pendidikan, terbentuknya institusi pendidikan yang mengakomodir ilmu umum dan ilmu keagamaan dalam satu sekolah oleh pemerintah, menjadi indikasi telah selesainya fenomena dikotomi santri abangan di level elit dan massa.

Dalam nalar sederhana, jika alasan sudah tidak ada maka seharusnya segala sesuatu tersebut tidak perlu diteruskan. Tetapi yang terjadi di PII adalah tidak demikian, PII masih mempertahankan eksistensinya. Keganjilan ini bukanlah sesuatu yang perlu kita bingungkan. Dalam banyak kasus, eksistensi gerakan tidak selalu berpatok pada tujuan awal. Terdapat banyak tujuan alternatif yang secara evolutif terbentuk dalam sebuah gerakan. Tujuan yang demikian bisa bersifat idealistis atau pragmatis. Setelah tujuan awal kehilangan alasannya, dan sebelum tujuan alternatif menjadi orientasi baru gerakan maka diperlukan suatu fase re-orientasi. Dalam fase ini akan terjadi dinamika yang bertujuan menentukan tujuan dan strategi baru. Dengan demikian, apakah pada akhir tahun 1980an terjadi dinamika di internal PII dan melahirkan orientasi baru gerakan? Untuk menjawab persoalan tersebut tidaklah pada makalah ini akan diuraikan. Makalah ini akan mengandaikan situasi serupa yang terjadi pada akhir 1990an dimana terjadi perubahan realitas eksternal di wilayah Indonesia. Apakah pada akhir 1990an tersebut terdapat upaya re-orientasi PII?

Re-Orientasi Gerakan PII?

Relasi antara tubuh gerakan dengan realitas eksternal bersifat saling mempengaruhi. Intervensi/rekayasa sosial yang diupayakan oleh gerakan akan mempengaruhi proses perubahan sosial. Demikian pula dengan realitas eksternal, perubahan alamiah yang terjadi di masyarakat akan mempengaruhi asumsi, penilaian, dan strategi gerakan. Relasi ini akan terus terjadi jika upaya saling mempengaruhi tidak berhenti.

Pada zaman orde baru, isu azas tunggal menjadi titik kritis gerakan PII. Terlepas dari pro kontra di internal PII, isu tersebut adalah concern PII selama hampir lebih dari satu dekade. Reformasi 1998 telah memberi pengaruh yang signifikan terhadap anasir isu tersebut. Tumbangnya orde baru telah menghilangkan ”sumber” persoalan seputar azas tunggal. Maka re-orientasi gerakan PII seharusnya terjadi dalam merespon perubahan eksternal tersebut. Pada situasi yang demikian sebuah gerakan harus kembali mereposisi dirinya. Momentum perubahan tersebut telah merubah kisaran dari berbagai elemen sosial politik. Konstelasi yang baru tidak lagi sama seperti sebelum reformasi!

Berbagai upaya perubahan di internal yang dilakukan oleh PII dalam rangka menghadapi perubahan pasca 1998 yang telah kita sebutkan diawal, bisa diartikan sebagai respon PII agar gerakan tetap kontekstual. Namun apakah upaya tersebut sudah menyentuh persoalan mendasar? Dalam sudut pandang saya upaya-upaya tersebut hanya menyentuh bagian tertentu/sektoral dan tidak mendasar. Gerakan seribu komisariat merupakan upaya programatik dalam memperluas lahan garap. Euphoria menyambut reformasi mendorong keinginan untuk secepatnya terjadi peningkatan kuantitas masaa. Seperti yang kita ketahui, upaya tersebut menemui jalan buntu ketika di lapisan masyarakat umum tawaran-tawaran ide PII tidak mendapat sambutan seperti yang dibayangkan. Secara kuantitas, sampai saat ini basis PII semakin berkurang. Kemudian di muktamar Ambon 2006, penambahan konsep kekaryaan di dalam catur bhakti ternyata berhenti hanya pada teks konstitusi. Revitalisasi sistem pengkaderan, yang terakhir pada sarasehan muadib nasional di Jakarta tahun 2008, tidak menemukan jalan keluar untuk mengatasi menyurutnya kuantitas dan kualitas kader. Upaya mutakhir adalah perubahan fungsi komisariat menjadi komunitas, dimana, ide ini disahkan pada muktamar Pontianak tahun 2008. Untuk hal yang terakhir kita belum bisa menilai secara penuh karena saat ini masih dalam periode kepengurusan hasil muktamar tersebut. Untuk sementara, terlihat bahwa upaya tersebut juga jauh dari apa yang diharapkan.

Secara umum bisa dinilai bahwa semua upaya tersebut masih belum menyentuh persoalan mendasar, raison de etre. Gejala umum yang biasa muncul ketika persoalan ini belum terrjawab adalah seringnya muncul pertanyaan; arah kemana gerakan PII saat ini?; perubahan seperti apa yang ditawarkan PII kepada umat?, dan beberapa pertanyaan yang senada. Pada tingkat yang kritis, pertanyaan tersebut akan hadir dan tak terjawab oleh pihak yang secara khusus melakukan kaderisasi, instruktur. Dengan tidak mengurangi penghargaan terhadap kebebasan interpretasi, apabila pertanyaan tersebut dijawab dalam variasi yang sangat banyak, maka boleh dikatakan telah terjadi miss-orientasi gerakan. Nampaknya gejala inilah yang terjadi pada tubuh PII sekarang.

Kecenderungan romatisme perlu kita perhatikan dalam keadaan miss orientasi. Dalam proses pencarian orientasi baru gerakan, terdapat dua kemungkinan, mengulang kejayaan masa lalu dengan mengambil modus-modus gerakan seperti di masa lalu atau, meng-kreasi modus baru gerakan dengan melakukan upaya pembacaan tentang realitas masa depan. Romantisme seringkali menjadi pilihan mengingat sebuah gerakan, terutama yang bertipikal ideologis, sulit untuk keluar dari kebiasaan. Upaya-upaya untuk keluar dari kebiasaan seringkali dianggap sebagai sesuatu yang bukan berasal dari dalam gerakan. Para pelaku perubahan dianggap sebagai seseorang yang membuat kerusakan/instabilitas, atau lebih ekstrim disebut pengkhianat (traitor). Jika pelaku perubahan tersebut memiliki kebertahanan ide dan loyalitas tinggi maka perubahan bisa terjadi secara berangsur-angsur, namun jika tidak maka ”mengundurkan diri” adalah pilihan lain apabila tidak diberhentikan. Kemungkinan kedua adalah yang dominan terjadi di PII.

Keharusan re-orinetasi gerakan

Kang Kuntowijoyo dalam buku Identitas Politik Umat Islam menyatakan bahwa tugas dari gerakan iIslam adalah menawarkan cara pandang alternatif terhadap umat Islam. Tugas demikian mengandung arti bahwa realitas sebenarnya memang tidak pernah ideal dan sebuah gerakan harus selalu mengasah sikap kritis terhadap realitas kekinian untuk menggapai idealitas yang di ajarkan Islam. Objek kritik akan selalu ada namun perlu upaya untuk bisa melihat dan menyikapinya. Kemampuan membaca realitas tentu saja membutuhkan kaca mata yang dibentuk dari nilai-nilai dan ilmu pengetahuan. Sikap-sikap seperti ketidakpedulian, jumud, pragmatisme,ashobiah dan sejenisnya yang mengahalangi masuknya ilmu, adalah sikap yang harus dihindari.

Melihat sejarah dan potensi kekuatan yang dimiliki oleh PII, keinginan untuk mempertahankan eksistensi, serta mengingat perubahan eksternal yang begitu nyata dan berlansung cepat, re-orientasi PII adalah keharusan. Perlu disadari bahwa potensi yang dimiliki oleh gerakan PII bukanlah sesuatu yang mudah untuk didapat. Jejaring yang secara geografis sangat luas, secara kelas sosial bisa ditelusuri dari masyarakat bawah sampai elit kekuasaan, dan karakter khas gerakan yang sudah terbentuk. Apabila upaya penemuan orientasi kontekstual PII tidak segera ditegaskan maka efek ”ekor tikus” akan dialami PII, semakin keujung semakin kecil. Jika keadaan mis orientasi ini dibiarkan

MAHASISWA DAN POLITIK

demo-mahasiswaMahasiswa secara gamblang dapat didefenisikan sebagai sosok insan yang tengah menjalani sebuah proses dalam kehidupannya yang berhubungan dengan akademis formal.Insan akademik ini -dalam proses kehidupan- dapat disebut juga sebagai insan mengalami sebuah metamorfosa dalam kehidupannya,artinya mahasiswa akan mengalami perubahan diri untuk mencapai sebuah kematangan berpikir dan bertindak,menemukan keutuhan jati dirinya,serta menjadi seseorang yang akan diandalkan untuk kemajuan nusa,bangsa dan agama.

Mahasiswa juga memiliki ranah tersendiri,baik itu ranah pemikiran,pergaulan,dan tatanan diri.Seseorang yang mengaku sebagai mahasiswa,pada dasarnya harus selalu mengasah dan meningkatkan kemampuannya.Sangat naïf jika seseorang yang mengaku sebagai mahasiswa namun hanya berpangku tangan,duduk diam bermenung,dan melakukan aktifitas yang tidak ada hubungannya dengan peningkatan kemampuan diri.

Mahasiswa -idealnya- dalam aktifitas akademinya harus mengetahui tujuan,target dan kewajibannya sebagai seorang mahasiswa.Mahasiswa juga harus berpikir,berbuat,dan bergerak dalam aktifitas akademisnya tidak jauh dari 3 tugas pokoknya sebagai mahasiswa (Tri dharma) yaitu Pendidikan,penelitian,dan pengabdian social masyarakat.Sehingga memang seseorang yang nantinya telah beranjak dari bangku pendidikan,adalah sosok yang idealis,cerdas,bijaksana,dan responsive terhadap social.

Namun sejarah telah mencatat bahwa mahasiswa ternyata juga punya peran lain dalam dunia akademisnya.Peran yang kemudian kita sebut sebagai social control.Peran dimana aktifitas mahasiswa tidak lagi hanya bergelut di dunia kampus ,pendidikan,dan social,namun lebih jauh sebagai control social yang selalu kritis dalam pikiran dan tindakan serta peran aktif dalam merespon setiap perubahan yang terjadi.Sejarah Indonesia juga mencatat mahasiswa sebagai actor utama perubahan bangsa.Bagaimana peran ini tampak secara jelas ketika Sumpah pemuda 1928,kemudian proses perencanaan kemerdekaan RI 1945,Aksi gerakan ’66 yang meruntuhkan orde lama,sampai yang terakhir proses runtuhnya rezim orde baru Soeharto pada 1998.Mahasiswa selalu ikut andil dalam setiap pergerakan Negara,yang tentu saja sikap para mahasiswa ini tidak terlepas dari sikap kritis,objektif,responsive,dan idealis.

Menarik untuk dibicarakan adalah bagaimana nilai-nilai kritis,objektif,responsive dan idealis ini mulai pudar dari diri mahasiswa akhir-akhir ini.Dapat kita lihat di Indonesia bahwa para mahasiswa yang notabenenya adalah insan akademis telah mulai melirik dunia politik praktis yang selama ini di cap “haram” oleh mahasiswa sendiri.Banyak mahasiswa Indonesia yang mulai terlihat aktif dalam politik praktis melalui keaktifannya sebagai anggota parpol maupun hanya sekedar simpatisan atau pendukung sebuah partai politik.Seakan-akan citra mahasiswa Indonesia yang identik dengan dunia pendidikan dan social yang bernilai objektif beralih ke dunia politik praktis yang bernilai subjektif.

Nah pertanyaannya kemudian bukan mengenai pantas atau tidaknya mahasiswa beraktifitas langsung dalam dunia politik praktis namun lebih jauh adalah ber-etika atau tidak.Persoalan aktifnya mahasiswa dalam dunia politik adalah persoalan Patut atau tidaknya seorang mahasiswa yang cenderung objektif mengarungi dunia politik yang subjektif dan didasarkan kepentingan.Kenapa demikian? Karena mahasiswa harus mampu berpikir,berprilaku,dan bertindak objektif,ilmiah,teoritis dan kritis.Karena sikap-sikap tersebut adalah pilar utama jati diri dan idealisme seorang mahasiswa sebagai insane akademis berpendidikan.Nah,ketika mahasiswa telah mulai aktif di dunia politik praktis meskipun hanya sebagai simpatisan dan pendukung,maka perlahan-lahan,sikap-sikap tersebut akan luntur dengan sendirinya.Sikap-sikap objektif,ilmiah,kritis akan memudar dari dirinya sehingga ketika mereka berjalan di kampus maka yang terpikir adalah bagaimana partainya bisa menang,bagaimana, partainya menjadi pilihan orang banyak,bagaimana partainya dapat menarik simpatisan yang sebanyaknya,bagaimana partainya dapat menduduki kursi - kursi penting dan strategis dalam pemerintahan.Sikap-sikap objektif,ilmiah dan kritis perlahan akan menghilang dan diganti oleh sikap pragmatis dan subjektif yang hanya berpikir bagaimana memajukan dan memenagkan partainya-meskipun dibarengi dengan dalil-dalil agama.

Pada dasarnya,Setiap orang yang sudah memiliki keberpihakan dan aktif dalam dunia politik praktis (kader,anggota,simpatisan) – apalagi kalau di iming-imingi dalil-dalil agama- akan menjadikan seseorang tersebut sangat fanatic terhadap partainya.Sehingga ia akan menelan mentah-mentah “fatwa” ,kebijakan serta pergerakan dan misi partainya.Bahkan ia akan mencari justifikasi terhadap segala apapun yang terjadi dengan partainya meskipun kenyataan dan penilaian masyarakat menyebutkan lain.

Dunia politik praktis adalah dunia kepentingan yang tujuannya adalah kekuasaan (apapun motivasinya).Kekuasaan sering membuat orang lupa.Politik praktis yang berorientasi kekuasaan apapun motivasinya dapat merubah seorang yang baik jadi tidak baik,seorang yang jujur jadi pembohong,seseorang yang dulunya tawadlu’ menjadi seseorang yang ingin jadi penguasa meskipun awalnya niatnya baik.Bukan bermaksud menilai politik sebagai barang yang haram,kotor dan najis namun politik dapat kita lihat sebagai pisau yang bermata dua,Di satu sisi dapat memberikan kebaikan bagi bersama,namun disisi dalin dapat menghancurkan.

Bukan bermaksud untuk mengharamkan dunia politik praktis bagi mahasiswa,namun sewajarnya tidak lah pantas seorang mahasiswa untuk ikut aktif dalam partai politik,mahasiswa se idealnya adalah seseorang yang mampu memposisikan dirinya sebagai seseorang insan akademis,intelektual,kritis,objektif dan idealis.Coba bayangkan ketika seseorang mahasiswa yang sedang dalam tahap penyempurnaan kematangan diri kemudian disodori hal-hal yang membuatnya tidak memiliki sifat seorang mahasiswa lagi?yang mereka pikirkan bukan lagi pendidikan dan social namun bagaimana partai saya menang?bagaimana calon wakil rakyat yang ideal menurut saya tembus ke kursi dewan?bagaiman sosok-sosok yang saya anggap berkompeten dapat menduduki kursi strategis dalam pemerintahan? Nah , kapan lagi mahasiswa akan diajari berpikir kritis,objektif dan ilmiah ? kapan lagi mahasiswa akan berpikir pentingnya menuntut ilmu kalau sudah mendapat iming-iming? Bayangkan kalau mahasiswa yang saat sekarang ini sudah diajari berpikir kepentingan, pra

Beasiswa Al-Azhar Dinaikkan

Kairo -- Senin (19/7) kabar menggembirakan bagi mahasiswa asing datang dari pihak al-Azhar. Sesuai dengan keputusan Grand Syeikh Al-Azhar, Syeikh Ahmad Tayyib, jumlah uang beasiswa bulanan untuk para mahasiswa asing baik putra maupun putri dinaikkan. Tak tanggung-tanggung, kenaikan jumlah uang bulanan ini mencapai lebih dari 100%.

Sesuai dengan pemberitahuan yang tersebar, perincian jumlah kenaikan beasiswa tersebut adalah sebagai berikut:

1. Untuk pelajar ma'had dan mahasiswa S1 di Buuts mendapatkan Le. 200 perbulan.
2. IUntuk mahasiswa Dirasat Ulya/S2 di Buuts mendapatkan Le. 210 perbulan.
3. Untuk pelajar ma'had dan dan mahasiswa S1 di luar Buus mendapatkan Le. 335 perbulan.
4. Dan untuk mahasiswa Dirasat Ulya/S2 di luar Buuts mendapatkan Le. 345 perbulan.

Pembagian uang beasiswa ini, menurut surat keputusan yang tertanggal 19 Juli 2010 akan berlaku sejak bulan ini sampai batas waktu yang belum ditentukan. (Jo)minhah azhar

Siswa Bermasalah Perlu Cuti?



siswa bermasalahMATARAM, KOMPAS.com - Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Mataram, Nusa Tenggara Barat, memberlakukan sistem cuti bagi siswa yang dianggap bermasalah oleh pihak sekolah. Selama ini cara tersebut dinilai pihak sekolah sebagai upaya efektif menurunkan angka putus sekolah.

Kepala Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 3 Mataram Faisyal di Mataram, Selasa (20/7/2010), mengatakan, kebijakan memberikan hak cuti bagi siswa bermasalah sudah diterapkan sejak lama dan efektif mengubah perilaku siswa yang dianggap kurang baik.

"Kita tidak mau menerapkan kebijakan memberhentikan siswa bermasalah, karena itu kurang baik dari sisi kemanusiaan," katanya.

Menurut dia, kebijakan cuti merupakan pola pembinaan yang diberlakukan atas dasar kesepakatan bersama antara sekolah dan orang tua siswa. Cuti diberikan apabila siswa bermasalah sudah tidak bisa lagi dibina oleh para guru yang ada di sekolah berupa peringatan hingga tiga kali berturut-turut.

"Kalau sudah kita beri peringatan sampai tiga kali, baru kita panggil orang tuanya untuk diberikan solusi cuti. Nanti kalau memang sudah mau berubah, sekolah siap menerima kembali," katanya.

Dia menambahkan, batasan cuti yang diberikan maksimal satu tahun agar siswa tersebut tidak terlalu lama meninggalkan bangku sekolah. Hal itu dikhawatirkan siswa tidak mampu menangkap pelajaran seiring usianya yang terus bertambah.

Berpikir positif

Faisyal mengakui, setiap tahun ada siswa yang mengambil cuti karena memiliki masalah, baik dengan keluarga atau masalah lain, sehingga terbawa di lingkungan sekolah. Kondisi itu terkadang membuat siswa melanggar aturan yang telah diterapkan di sekolah.

"Pertimbangannya adalah potensi perubahan yang akan terjadi pada diri siswa. Kita berikan cuti karena kita berpikir positif saja, bahwa manusia itu tidak selamanya berkelakuan buruk. Pasti ada niat untuk mau berubah," katanya.

Faisal mencontohkan, jika ada siswa yang terkena kasus narkoba akan diberikan hak cuti untuk mendapatkan pembinaan, terutama dari sisi keagamaan. Hal itu akan efektif dilakukan oleh orang tua di rumah sendiri dan melibatkan tokoh agama.

"Biasanya penanaman keagamaan yang kurang, sehingga siswa bisa dengan mudah dimasuki oleh pengaruh-pengaruh negatif, termasuk pengaruh narkoba. Tapi, untuk kasus ini di sekolah kami tidak ada," katanya.

Monday 19 July 2010

Ucapan Selamat

SELAMAT ATAS TERPILIHNYA


MUHAMMAD RIDHA


SEBAGAI KETUA UMUM PENGURUS BESAR PELAJAR ISLAM INDONESIA PERIODE 2010-2012.


SEMOGA BISA MENGEMBAN AMANAH DENGAN SEBAIK-BAIKNYA.AMIN

Sunday 18 July 2010

Keutamaan Siwak

Siwak/ pembersih gigi, adalah sebatang kayu berasal dari pohon “Arok” (pohon-pohonan yang banyak tumbuh di wilaya Timur tengah), sering kali dijumpai oleh para jama’ah Haji/ Umrah di Kota Makkah Maupun Madinah Al-Munawwarah. Sayang sekali para Jama’ah Haji/ Umrah tidak membeli dan menjadikan sebagai oleh-oleh Haji/ Umrah untuk keluarga, rekan-rekan dan para tetangganya agar mereka dapat menjalankan Sunnah dengan memakai Siwak mengingat keutamaan Siwak sangat besar. Nabi Muammad SAW, selalu memakai siwak ketika hendak bwerwudhu’, Sholat, membaca Al-Quran dan hal-hal kebaikan yang lain termasuk hendak tidur dan bangun dari tidur. Bahkan detik detik wafatnya Nabi Muhammad SAW, Beliau mencari dan menggunakan Siwak.

Nabi Muhammad SAW, sangat menganjurkan bagi UmmatNya untuk selalu memakai Siwak paling tidak minimal setiap hendak berwudhu’ dan Sholat. Mari kita simak beberapa Hadist, Sebagai berikut: Maksud Hadist, “Andai saja tidak memberatkan UmmatKu, maka Akan aku perintahkan (wajibkan) memakai Siwak setiap hendak wudhu”. Dalam riwayat yang lain, ….setiap hendak Sholat. (Bukhari).

Dalam Hadist Yang lain, Maksud Hadist: “Sholat dua raka’at menggunakan siwak lebih baik dari 70 raka’at tanpa Siwak”.

Riwayat yang lain, “Keutamaan Sholat dengan memakai Siwak, akan mendapat 70 kali lipat (pahala Sholat) tanpa Siwak”.

Bersiwak hendaknya dengan menggunakan batang yang lembut dari pohon arok, zaitun, urjun atau yang sejenisnya yang tidak menyakiti atau melukai mulut.

Bersiwak adalah termasuk dari bagian sunnah para Rasul, sebagaimana Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ayyub ra: Maksud Hadist: “Ada empat hal yang termasuk dari sunnah para Rasul: Memakai minyak wangi, menikah, bersiwak dan malu” (Ahmad dan Tirmidzi).

Hukum Memakai Siwak

Memakai Siwak hukumnya sunnah muakkad yang sangat dianjurkan oleh baginda Nabi Muhammad SAW, karena Beliau SAW tidak pernah meninggalkan memakai Siwak, khususnya ketika hendak berwudu’, Sholat, membaca Alqur’an dan bangun dari tidur. Dalam Hadist yang diriwayatkan, ada seorang yang bertanya kepada Aisyah ra, tentang sesuatu yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW ketika Beliau SAW telah memasuki Rumahnya? Aisyah menjawab “Beliau SAW memulainya dengan bersiwak” ( Bukhari dan Muslim).

Riwayat yang Lain, Maksud Hadist: “Adapun Rosulullah SAW, jika bangun di malam hari Beliau SAW mencuci dan menggosok lisan-Nya dengan siwak”.(bukhari).

Ingat..! satu kali anda bertasbih kepada Allah dengan diawali beriwak, maka dihitung 70X bertasbih. Sholat dengan diawali dengan bersiwak, akan terhitung 70X sholat. Dua rakaat Sholat tahajjud diawali dengan bersiwak, maka dihitung 140 rakaat tahajjud. Subhanallah..

Khusus bagi yang sedang berpuasa, disunnahkan memakai Siwak dari fajar hingga waktu zawal/ dhuhur adapun setelah zawal hingga terbenamnya matahari maka hukumnya makruh (pendapat Imam Syafi’i).

Faedah-faedah Memakai Siwak:

1.Menambah kefashihan membaca.

2.Menambah kecerdasan akal

. 3.Menguatkan Hafalan.

4.Menerangkan mata.

5.Mempermudah proses sakaratul maut.

6.Menjauhkan musuh.

7.Melipat gandakan pahala.

8.Memperlambat ketuaan.

9.Mengharumkan bau mulut.

10.Menghilangkan lendir dan kekuningan gigi.

11.Menguatkan gusi.

12.melonggarkan tenggorokan.

13.Menyebabkan ridha’ Allah Ta’ala.

14.Memutihkan gigi.

15.Mewariskan kekayaan dan kemudahan.

16.Menghilangkan penyakit pening dan ketegangan urat kepala.

17.Mensehatkan pencernakan makan dan munguatkannya.

18.Membersihkan hati. dan paling utama Yaitu, mengingatkan bacaan Syahadat disaat sakaratul maut.

Cara bersiwak

Cara bersiwak tidak ada ikhtilaf diantara ulama’. dalam sebuah Hadist bahwa Rasulullah SAW bersiwak dengan kayu arok, dan memulainya dari pertengahan, lalu kearah kanan lalu kekiri, demikian diulangi. sebanyak 3 X. Sebelum dan sesudah bersiwak, kayu Siwak (kayu arok atau sejenisnya) hendaklah dicuci. Siwak hendaklah disimpan posisi berdiri, jangan disimpan diatas tanah. Jika Siwak itu kering, sebaiknya direndam dengan air terlebih dahulu. Siwak berbeda dengan sikat gigi, siwak adalah kayu yang biasa dipakai untuk menggosok gigi hingga akhir masa.

Panjang Siwak yang paling ideal (disunnahkan) adalah sejengkal dan yang paling pendek berukuran tidak kurang dari 4 jari selain ibu jari (12 Cm menurut pendapat lain) Besar kayu Siwak yang ideal adalah tidak lebih besar dari ibu jari dan tidak lebih kecil dari jari kelingking, tidak terlalu keras dan tidak terlalu lembut.

Siwak Menurut Medis

Dari penelitian menunjukkan bahwa kayu siwak (Salvadora persica) mengandung bahan-bahan kimiawi yang bermanfaat untuk menekan aktivitas mikrobial dan menghambat pertumbuhannya. Penelitian daya hambat kayu siwak (Salvadora persica) terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans yang patogen terhadap mulut, dapat menunjukkan kemampuan kayu siwak sebagai salah satu alternatif zat antibakterial yang memang seharusnya dikembangkan sebagai komoditas oral cleaner device (alat pembersih mulut) yang higinis dan efektif dalam mencegah periodontal disease. Penelitian terhadap Staphylococcus aureus yang merupakan patogen pada saluran pernapasan, kulit dan luka dapat pula menunjukkan bahwa kayu siwak bukan hanya efektif sebagai komponen antibakterial mulut, namun juga efektif sebagai antibakterial yang memiliki spektrum lebih luas. (Penelitian ini dikembangkan oleh Mahasiswa Biologi FMIPA ITS).

Mari kita simak, Jika Anda pergi ke Masjid untuk Sholat berjama’ah di zaman ini, mungkin Anda melihat sedikit sekali di antara jama’ah yang bersiwak sebelum Sholat. Maka ketika Anda bersiwak sebelum Sholat di zaman ini, berarti Anda telah menghidupkan kembali sunnah Rasulullah SAW. adapun pahalanya itu seperti pahala syuhada (100 orang mati Syahid). Setidaknya Anda akan mendapat pahala seperti orang-orang yang mengikuti Anda dalam bersiwak, tanpa mengurangi pahala orang tersebut.

Pesan untuk Intelektual Muda (Aktivis)

“Kalau kaum politik tidak mengindahkan kepentingan rakyat, mestilah kaum penulis mengindahkannya.”
Pramoedya Ananta Toer





Sejarah negeri ini tidak pernah terlepas dari peran para pemuda yang tergabung dalam kelompok-kelompok aktivis. Mereka dengan kesadaran dan keamampuan untuk mengorganisir secara baik mampu membuat perubahan dibeberapa bidang. Contoh nyata adalah peristiwa reformasi 1998 yang dipelopori kaum mahasiswa sebagai intelektual muda. Namun saya juga tidak sepaham bila yang dikatakan kaum intelektual muda hanyalah mereka yang berada dijajaran universitas, kaum pelajar pun pernah menorehkan sejarah sebagai pelopor perubahan dan menjadi pengkritis kebijakan pemerintah pada masa itu, missal organisasi PII yang memilki basis pelajar menjadi salah satu penentang kebijakan represif Orde Baru.

Namun sayang perubahan yang terjadi bukan malah menjadikan mereka para aktifis muda ini menjadi lebih kritis dan memberikan nilai lebih dimasyarakat. Gaung reformasi yang dianggap sebagai sebuah prestasi para aktivis dalam merubah struktur dan tatananan sosial berbanding terbalik dengan yang terjadi dikalangan intelektual muda kita. Ujung-ujungnya mereka justru kembali terlena dengan gaya hidup yang tidak jelas, hedonis, kemampuan berpikir kritis yang amat minim, dan umumnya penyakit itu yang sekarang menerpa para aktifis-aktifis muda kita. Apa yang menyebabkan mereka menjadi sedemikian kaku begini?

Rabun membaca lumpuh menulis……

Saya kira itu persoalan yang menjadi penyebab kemunduran dari inteletual-intelektual muda kita khususnya para aktifis., walaupun mungkin masih banyak persoalan lain. Kemampuan mereka untuk berorasi, kemampuan untuk meyakinkan public tidak diimbangi dengan kemampuan mereka dalam membaca, buruknya kemampuan dalam hal menulis. Padahal membaca dan menulis adalah salah satu katalisator perubahan, sejarah perubahan negeri ini tidak pernah terlepas dari mereka para aktifis-aktifis yang memilki kemauan dalam memetakan pemikirannya melaui bentuk tulisan. Faktanya, hanya beberapa ekor aktivis 98 yang bersedia berjuang dalam kesunyian dan menjauhi dunia gemerlap keaktivisan untuk melahirkan tulisan-tulisan yang membawa propaganda penyadaran masyarakat (Anjrah Lelono Broto)..

Padahal tradisi menulis dan membaca memiliki nilai lebih mulia nan agung. Dalam agama pun membaca dan menulis tertuang didalam kitab suci, sebut saja ayat Iqra’ dalam surah al-‘alaq yang berarti ‘baca’,namun ummat nampaknya menanggapi ini dengan berlainan persepsi sehingga makna membaca ini adalah membaca secara empiris bukan secara visual.

Dalam Al-Qur’an sendiri terulis, “Nun, demi pena dan apa yang mereka tulis.” (Qs. Al-Qolam [68] ayat 1). Dalam beberapa ayat al-Qur’an ketika ayat yang berbunyi demi matahari berarti menunjukkan sumpah Tuhan akan pentingnya peran matahari dalam siklus kehidupan kita, ’demi waktu’ mengartikan pentingnya efisiensi waktu agar dapat lebih memanfaatkannya secara produktif.  Nah, ketika ayat demi pena ini tertulis, menunjukan betapa pentingnya peran dari sebuah tulisan yang mengalir melalui tinta-tinta ilmuan atau para intelektual. Malahan dalam sebuah hadis disebutkan Nabi memuji para ulama yang menuangkan gagasannya kedapam tulisan, “Di akhirat nanti, tinta para ulama itu, akan ditimbang dengan darah para syuhada”.

Situasi semakin diperparah dengan sistem pembelajaran kita yang masih menempatkan budaya membaca dan menulis kedalam status anak tiri. Coba kita lihat sendiri tidak ada mata pelajaran manapun yang mewajbkan siswanya untuk aktif dan efektif menulis, menulis hanya sebagai bumbu dalam menerima pelajaran. Ketika menulis hanya diartikan sebagai bumbu atau menempati posisi anak tiri, maka otomatis budaya membaca pun akan semakin pudar.

Oleh karenanya ‘tidak ada hal yang paling memalukan dalam system pendidikan kita kecuali lenyapnya tradisi membaca dan menulis’ (Eko Prasetyo).

Kesadaran struktural dan personal………………

Maka apa yang perlu dilakukan?? diperlukan kesaran secara personal dari para intelektual-intelektual(aktivis) ini dengan menyadari bahwa membaca dan menulis memiliki peran nomor wahid dalam melaukan perubahan. Namun ini semua bukan semata-mata kesalahan dari para intelektual ini, sistem pendidikan negeri ini pun perlu sedikit dibenahi khususnya dalam penempatan tradisi membaca dan menulis. Pendidikan negeri semestinya menempatkan posisi membaca dan menulis dalam posisi pertama sebuah pembelajaran. Malahan bila perlu mewajibkan para siswanya untuk menghasilkan sebuah karya tulis dalam bentuk apapun.Karenanya problem kemiskinan literasi ini termasuk kedalam problem struktural pendidikan kita yang musti kita kikis bersama.

Melihat fenomena diatas sudah semestinya kita membuka kacamata kesadaran kita lebih luas untuk lebih berbenah diri. Bagaimana kita ingin merubah orang lain, bagaimana kita ingin merubah kondisi lingkungan yang buruk jika kita sendri masih terkungkung dalam lautan kemiskinan ilmu pengetahuan yang disebakan oleh miskinnya literatur. Kemiskinan literatur inilah yang menurut Prie G.S yang paling sering menerpa negeri kita, bukan hanya kemiskinan secara material. Dan akhirnya negeri kita berada pada dua probelm, pertama masalah kemiskinan material yang menerpa mayoritas masyarakat kita, kedua kemiskinan ilmu yang ditandai dengan minimnya daya kritis dan kemampuan berpikir secara sehat(khususnya membaca), dan ini mulai merasuk kedalam tubuh aktifis-aktifis modern sekarang.

Bila kita ingin berkaca sekali lagi tidak ada pendiri negeri ini yang paling banyak dan produktif menulis melebihi Bung Hatta. Tulisan dan gagasannya banyak dijadikan referensi oleh beberapa kaum intelektual dan beberapa ilmuan dunia dan lokal lainnya. Alangkah sayangnya bila Bung Hatta adalah generasi terkhir negeri ini yang memliki kemampuan literasi ini.

Karena dari itu tulisan ini sengaja saya tujukan sebagai upaya penyadaran kepada para aktifis-aktifis yang masih membara, yang masih memiki nilai idelalisme murni, yang masih memiliki niat utuk melakukan perubahan, kini saatnya kita menyongsong perubahan tersebut dengan berlandaskan ilmu pengetahuan dan akal sehat, bukan lagi sekedar omongan kosong yang tidak sarat nilai apalagi dengan jalan radikal sebagai problem solve nya. Sudah saatnya aktifis bukan hanya pandai dalam berorasi namun juga pandai dalam melahirkan karya tulis yang berguna bagi kemajuan bangsa ini kelak. Semoga…….

Oleh Baharunsyah
Mahasiswa FISIPOL Universitas Mulawarman,Kaltim
Aktifis PII Samarinda

Sejarah Perkembangan Kurikulum Pendidikan di Indonesia

Deskripsi singkat tentang kurikulum apa saja yang pernah dikembangkan dalam program pendidikan di negeri tercinta Indonesia. Salah satu konsep terpenting untuk maju adalah “melakukan perubahan”, tentu yang kita harapkan adalah perubahan untuk menuju keperbaikan dan sebuah perubahan selalu di sertai dengan konsekuensi-konsekuensi yang sudah selayaknya di pertimbangkan agar tumbuh kebijakan bijaksana. Ini adalah perkembangan Kurikulum Pendidikan Kita:

RENCANA PELAJARAN 1947

Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah leer plan. Dalam bahasa Belanda, artinya rencana pelajaran, lebih popular ketimbang curriculum (bahasa Inggris). Perubahan kisi-kisi pendidikan lebih bersifat politis: dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Asas pendidikan ditetapkan Pancasila.

Rencana Pelajaran 1947 baru dilaksanakan sekolah-sekolah pada 1950. Sejumlah kalangan menyebut sejarah perkembangan kurikulum diawali dari Kurikulum 1950. Bentuknya memuat dua hal pokok: daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, plus garis-garis besar pengajaran. Rencana Pelajaran 1947 mengurangi pendidikan pikiran. Yang diutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat, materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.

RENCANA PELAJARAN TERURAI 1952

Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952. “Silabus mata pelajarannya jelas sekali. seorang guru mengajar satu mata pelajaran,” kata Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas periode 1991-1995. Ketika itu, di usia 16 tahun Djauzak adalah guru SD Tambelan dan Tanjung Pinang, Riau.

Di penghujung era Presiden Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964. Fokusnya pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Pancawardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.

KURIKULUM 1968

Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis: mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Tujuannya pada pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Jumlah pelajarannya 9.

Djauzak menyebut Kurikulum 1968 sebagai kurikulum bulat. “Hanya memuat mata pelajaran pokok-pokok saja,” katanya. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya pada materi apa saja yang tepat diberikan kepada siswa di setiap jenjang pendidikan.

KURIKULUM 1975

Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. “Yang melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management by objective) yang terkenal saat itu,” kata Drs. Mudjito, Ak, MSi, Direktur Pembinaan TK dan SD Depdiknas.

Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru dibikin sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.

KURIKULUM 1984

Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).

Tokoh penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan, Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986 yang juga Rektor IKIP Jakarta — sekarang Universitas Negeri Jakarta — periode 1984-1992. Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus hasilnya di sekolah-sekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah. Penolakan CBSA bermunculan.

KURIKULUM 1994 dan SUPLEMEN KURIKULUM 1999

Kurikulum 1994 bergulir lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya. “Jiwanya ingin mengkombinasikan antara Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984, antara pendekatan proses,” kata Mudjito menjelaskan.

Sayang, perpaduan tujuan dan proses belum berhasil. Kritik bertebaran, lantaran beban belajar siswa dinilai terlalu berat. Dari muatan nasional hingga lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesakkan agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Walhasil, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum 1999. Tapi perubahannya lebih pada menambal sejumlah materi.

KURIKULUM Berbasis Kompetensi 2004

Bahasa kerennya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Setiap pelajaran diurai berdasar kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa. Sayangnya, kerancuan muncul bila dikaitkan dengan alat ukur kompetensi siswa, yakni ujian. Ujian akhir sekolah maupun nasional masih berupa soal pilihan ganda. Bila target kompetensi yang ingin dicapai, evaluasinya tentu lebih banyak pada praktik atau soal uraian yang mampu mengukur seberapa besar pemahaman dan kompetensi siswa.

Meski baru diujicobakan, toh di sejumlah sekolah kota-kota di Pulau Jawa, dan kota besar di luar Pulau Jawa telah menerapkan KBK. Hasilnya tak memuaskan. Guru-guru pun tak paham betul apa sebenarnya kompetensi yang diinginkan pembuat kurikulum. (sumber: depdiknas.go.id)

KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran) 2006

Awal 2006 ujicoba KBK dihentikan. Muncullah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Pelajaran KTSP masih tersendat. Tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian target kompetensi pelajaran oleh siswa hingga teknis evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004. Perbedaan yang paling menonjol adalah guru lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan karangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Jadi pengambangan perangkat pembelajaran, seperti silabus dan sistem penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah koordinasi dan supervisi pemerintah Kabupaten/Kota.

Nyontek Lewat HP saat SNMPTN

SURABAYA--Media Indonesia: Kecurangan dalam pelaksanaan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2010 pada sembilan PTN di Jatim mencapai 164 kasus.

"Kasus kecurangan itu berasal dari Panlok (panitia lokal) Surabaya 99 kasus dan Panlok Malang 65 kasus," kata Wakil Koordinator Bidang Penilaian TIK SNMPTN Prof Dr Ir Arief Djunaidy MSc di Surabaya, Sabtu (17/7).

Menurut Arief Djunaidy yang juga Pembantu Rektor (PR) I ITS Surabaya itu, kecurangan itu umumnya dilakukan dengan perangkat elektronika yakni telepon genggam (HP).

"Ada yang menyembunyikan 'handset' HP di celana panjang dan ada pula yang menyembunyikan di balik jilbab atau jilbab dimanfaatkan untuk tindak kecurangan dalam SNMPTN," katanya.

Namun, katanya, kasus kecurangan sebanyak itu hanya terjadi pada saat pelaksanaan ujian, sehingga kebocoran soal ujian menjelang ujian SNMPTN tidak ada sama sekali.

"Di Jatim, ada 44.368 peserta SNMPTN yang dinyatakan tidak lulus. Jumlah itu berasal dari peminat SNMPTN di Jatim sebanyak 57.493 orang, namun hanya 13.125 peserta yang lulus," katanya.

Ia mengatakan hasil ujian SNMPTN diumumkan lewat "daring" (dalam jaringan atau "online") pada Jumat (16/7) pukul 18.00 WIB serta pengumuman manual pada papan pengumuman.

"Pengumuman manual hanya ada di ITS, ITB, Undip, UI, Ditjen Dikti, dan 'SNMPTN centre' di Telkom," katanya.

Kesembilan PTN di Jatim yang mengikuti SNMPTN adalah Unair, ITS, Unesa, IAIN Sunan Ampel Surabaya, Unijoyo Bangkalan, Unibraw Malang, UNM, UIN Malang, dan Unej (Jember). (Ant/OL-9)

Sejarah Pelajar Islam Indonesia ( PII ) Part 2

Foto : Google
2. Kiprah PII

PII MERUPAKAN gerakan pendidikan, kebudayaan dan dakwah sehingga se-nantiasa memiliki perhatian terhadap persoalan-persoalan yang berkaitan dengan ketiga bidang tersebut. Bentuk dari perhatian tersebut tentu saja berbeda dari wak-tu ke waktu, periode ke periode. Situasi dan kondisi ikut mempengaruhi respon PII terhadap masalah yang melingkupi ketiga bidang tersebut.





Pengembangan Budaya

PERHATIAN PII terhadap seni ditunjukkan dengan banyaknya lagu-lagu yang dimiliki PII. Selain itu, mulai Kongres VII PII acara tersebut selalu diikuti dengan kegiatan Porseni (Pekan Olah raga dan Seni). Demikian pula penyelenggaraan Konferensi-konferensi di tingkat wilayah dan daerah. Yang cukup meriah dalam Porseni IV bersamaan dengan Muktamar Nasional X PII di Malang pada tahun 1964. Juara umum Porseni direbut kontingen PII Jawa Tengah yang mengirim kontingen tangguh dengan personalia antara lain GM. Sudharta (karikaturis), Arifin C. Noer (alm, sutradara), Dedy Sutomo (aktor), Budiman S. Hartojo, Nurul Aini, dan lain-lain.

Pada masa perlawanan terhadap rezim orde lama, PII memang banyak me-nampung pada seniman khususnya mereka yang ikut menjadi penandatangan Manikebu. Seperti Taufiq Ismail yang baru dipecat dari HMI karena ikut menandatangani Manikebu justru diundang hadir pada Konferensi Besar VIII PII tahun 1965 di Yogyakarta bersama Bur Rasuanto. Selain itu PB PII juga menerbitkan kumpulan puisi Taufiq Ismail, "Tirani dan Benteng". Kepedulian PII terhadap pengembangan seni budaya juga diwujudkan dengan pengembangan seni teater. Di beberapa tempat muncul Teater "Empat Mei" yang berkembang dengan baik. Perhatian terhadap masalah seni budaya juga diwujudkan melalui protes PII atas munculnya "adegan kurang pantas" yang diperankan mendiang aktor S. Bono dalam film yang beredar tahun 1960-an.

Namun seiring dengan menguatnya "nafas politik" dalam gerakan PII, perhatian terhadap masalah seni budaya mulai menyurut. Sehingga banyak bakat-bakat seni para aktifis PII yang terbengkalai. Ketika berlangsung Muktamar Nasional XXI PII mulai dicoba lagi pementasan seni untuk memeriahkan kegiatan. Delegasi Jawa Barat melalui Teater Cob-cob Gerage yang diawaki para aktifis PII Cirebon, menampilkan kisah "Tapak-tapak PII di pentas Perjuangan Bangsa".

Mengingat PII sebagai sebuah gerakan pendidikan, kebudayaan dan dakwah, maka perhatian PII terhadap seni budaya memang masih perlu ditingkatkan lagi. Beberapa kali kesempatan forum-forum nasional, Peringatan Hari Bangkit, dan sebagainya; apresiasi terhadap seni dan budaya ini telah mulai ditempatkan kembali pada proporsinya. Tak heran jika di berbagai tempat yang menjadi basis gerakan PII, terdapat kelompok-kelompok seni dan budaya yang dimotori oleh para pelajar dan kader-kader PII yang mempunyai minat, bakat dan kepedulian dalam bidang seni dan budaya. Di Wilayah Jakarta, misalnya, PD PII Jakarta Pusat mempunyai Kelompok Nasyid. PD PII Jakarta Utara, memiliki Kelompok Teater Lenong Bocah, yang kerap melakukan pementasan pada acara-acara seremonial PII maupun lomba-lomba. Di komunitas Menteng Raya 58, tempat sekretariat PB PII dan PII Wilayah Jakarta berdiam, terdapat Kelompok Musik “Jiwa Merdeka” yang kerap melantunkan musikalisasi puisi dalam setiap pementasannya. Singkatnya, apresiasi terhadap bidang seni dan budaya ini telah mulai menemukan bentuknya, diilhami bahwa seni dan budaya dapat dijadikan sarana dakwah mensiarkan ajaran Islam dengan sangat estetis.

Pembinaan Masyarakat Pelajar

IKHTIAR untuk membina masyarakat pelajar sudah dimulai sejak 1950-an, de-ngan merintis yayasan-yayasan yang bersifat kesejahteraan bagi para pelajar. Misalnya PII berpartisipasi dalam pendirian Yayasan Asrama Masjid Syuhada (YASMA) di Yogyakarta, Yayasan Asrama Pelajar Islam yang mengelola Asrama Pelajar dan Mahasiswa Islam Sunan Gunung Jati (di Jalan Bunga) dan Asrama Mahasiswa dan Pelajar Islam Sunan Giri (di daerah Rawamangun) di Jakarta. Sampai kini kedua asrama tersebut masih berfungsi dengan baik sebagai tempat pembinaan kader, meski tidak langsung ditangani oleh PII.

Di Yogyakarta pernah juga didirikan Yayasan Bea Siswa Pelajar Islam oleh Cha-mim Prawira dan Amir Hamzah Wiryosukarto pada tahun 1957/1958. Kemudian ada juga Yayasan Bintang Pelajar yang antara lain menangani pengiriman pelajar SLTA ke luar negeri melalui AFS (American Field Service). Lembaga ini dirintis oleh PII dan di-pimpin secara bergilir oleh mantan aktifis PII seperti Wartomo, Hariry Hadi, M. Harjadi, Taufik Ismail, Arif Rahman, Aida Jusuf Ahmad dan Yati Sofiati Mukadi.

Setelah sempat surut, seiring dengan surutnya aktifitas PII, sekarang PII tengah menghidupkan kembali aktifitas pembinaan pelajar. Saat ini ada tiga sayap yang di-gunakan PII untuk berhubungan dengan pembinaan masyarakat pelajar. Pertama, Komite Peduli Pelajar Pelajar Islam Indonesia (KPP-PII). Komite ini lahir ketika banyak pelajar yang terpaksa putus sekolah atau terancam putus sekolah, akibat kri-sis ekonomi yang cukup panjang di Indonesia. Salah satu kegiatannya adalah menya-lurkan bea siswa bagi pelajar tingkat SD/MI, SLTP/MTs dan SMU/SMK/MA. Di samping itu juga mengadakan kegiatan-kegiatan penunjang seperti Pesantren Kilat Pelajar di masa liburan dan advokasi pelajar. Kedua, Crisis Centre fo Students (CCS). Pelaksanaan kampanye dalam Pemilu 1999 yang banyak melibatkan pelajar, yang di antaranya sebenarnya belum memiliki hak pilih mendorong lahirnya CCS. Apalagi perkembangan menunjukkan para pelajar kadang menjadi korban dalam insiden-insiden selama kampanye. Untuk itu maka CCS berupaya menggalakkan kampanye agar pelajar tidak menjadi komoditas politik semata, tapi justru para politisi semestinya memiliki perhatian serius kepada para pelajar, sebagai aset masa depan bangsa. Ketiga, Kesatuan Aksi Pelajar Islam Indonesia (KA-PII). Diilhami pembentukan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), PII kemudian membentuk KA-PII untuk mengantisipasi perkembangan situasi politik pasca runtuhnya Orde Baru, yang ditandai dengan banyaknya peristiwa kekerasan politik. Melalui KA-PII, hendak disuarakan aspirasi politik pelajar secara damai. Misalnya agar para politisi dalam suasana krisis ekonomi tidak hanya berebut kursi saja, tapi juga memperhatikan masalah pendidikan, serta persoalan penyelesaian kerusuhan di Ambon yang harus dilakukan sesegera mungkin, karena telah menyebabkan terlantarnya kegiatan belajar mengajar di sana, demikian juga persoalan Aceh yang terus berlarut-larut.

Belakangan, di era pemerintahan Abdurrahman Wahid, aksi  ‘turun jalan’ PII melalui sayap KA-PII tersebut, semakin sering dilakukan seiring dengan kebijakan pemerintah yang tidak sejalan dengan amanat reformasi. Beberapa kebijakan pemerintah soal pencabutan Tap MPRS No. XXV/1966 tentang Komunisme, kebijakan luar negeri yang pro zionis-kapitalis dan mengabaikan solidaritas terhadap negara-negara muslim – terutama didalamnya persoalan Palestina, kenaikan tarif angkutan umum, sistem pendidikan (kurikulum, penunggalan pembinaan lewat OSIS), anggaran pendidikan yang sangat rendah dan sebagainya, menjadi persoalan yang disikapi secara kritis oleh aktivis PII melalui jaringan aksi KA-PII. Jaringan aksi  KA-PII mengoptimalkan partisipasi massa pelajar melalui simpul-simpul massa PII yang berada di berbagai lokasi atau basis sekolah dan pondok pesantren di Jabotabek. Dengan demikian, pendidikan politik terhadap pelajar telah dilakukan sedari dini melalui penyaluran aspirasi kritis mereka kepada pihak-pihak yang berwenang, terkait dengan berbagai isu/persoalan yang tengah terjadi di masyarakat.

Pada tanggal 6 Nopember 1999 bersamaan dengan Peringatan Hari Lahir Briga-de PII (Harla Brigade PII) ke-52 diresmikan pembentukan Perguruan Silat Beladiri Pelajar Islam Indonesia (PSBD-PII) untuk melatih ketahanan fisik ketrampilan bela diri para pelajar pada umumnya dan anggota PII pada khususnya. Dalam pengembangan selanjutnya PSBD-PII berada di bawah koordinasi Koordinator Pusat Brigade Pelajar Islam Indonesia (Korpus Brigade PII).

Hubungan Internasional

SEGERA setelah berdiri, PII juga membuka perwakilan luar negeri. Mereka yang pernah menjadi perwakilan PII di luar negeri adalah Hasan Muhammad (Ame-rika Serikat), S. Arifin (Swiss), Shawabi (Mesir), Mukti Ali (Pakistan), Ilyas Ismed (Filipina), dan Emzita (Irak).

Selain itu PII juga merintis program AFS (American Fields Service) di Indonesia memulai tahun 1956 dengan pengiriman tujuh orang pelajar ke Amerika Serikat. Termasuk dalam rombongan pertama ini adalah penyair Taufiq Ismail dan Z.A. Maulani. Mereka yang pernah mengikuti program ini antara lain Tanri Abeng (Mantan Menteri Negara Pemberdayaan BUMN Kabinet Habibie) dan Arief Rahman (Kepala SMU Lab School). Selain itu ada juga peserta non PII, yaitu Ariel Haryanto (mantan dosen UKSW Salatiga). Pada masa pemerintahan orde lama program ini sempat dilarang oleh Waperdam Subandrio. Sekarang program ini dilanjutkan oleh Yayasan Bina Antar Budaya.

Pasang surut PII di tanah air juga mempengaruhi PII di percaturan internasi-onal. Kiprah PII di forum internasional menyurut. Baru mulai ada peningkatan aktif-itas di luar negeri pada permulaan 1990-an. Pada tahun 1990, PII ikut membidani berdirinya Persekutuan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Islam Asia Tenggara (PEPIAT) yang berkedudukan di Malaysia. Dan saat ini, mengingat situasi Malaysia yang secara politis belum stabil, maka PII hendak mengupayakan agar kedudukan PEPIAT bisa dipindahkan ke Indonesia. Selain itu PII juga ikut berpartisipasi dalam Regional Islamic Da'wah of South East Asia And Pacific (RISEAP) dan International Islamic Federation of Students Organization (IIFSO). Bahkan pada kongres IIFSO di Istambul, 1996, Ketua Umum PB PII periode 1995-1998 A. Hakam Naja, terpilih sebagai Financial Secretary.

Sekarang PII juga mulai merintis lagi pembukaan perwakilan luar negeri, dimulai dari Malaysia, Mesir, Australia, dan Yordania. Melalui pengurus perwakilan luar negeri ini PII mengusahakan beasiswa bagi anggotanya untuk melanjutkan studi di luar negeri. Yang sudah berjalan adalah di International Islamic University (IIU) Malaysia dan Al-Azhar University di Kairo, Mesir. ?

Sejarah Pelajar Islam Indonesia ( PII ) Part 1

Foto : inilah Jabar
1. Sejarah Kebangkitan dan Perkembangan

PELAJAR ISLAM INDONESIA (PII) didirikan di kota perjuangan Yogyakarta pada tanggal 4 Mei 1947. Para pendirinya adalah Yoesdi Ghozali, Anton Timur Djaelani, Amien Syahri dan Ibrahim Zarkasji.

Salah satu faktor pendorong terbentuknya PII adalah dualisme sistem pendi-dikan di kalangan umat Islam Indonesia yang merupakan warisan kolonialisme Belanda, yakni pondok pesantren dan sekolah umum. Masing-masing dinilai memiliki orientasi yang berbeda. Pondok pesantren berorientasi ke akhirat sementara sekolah umum berorientasi ke dunia. Akibatnya pelajar Islam juga terbelah menjadi dua kekuatan yang satu sama lain saling menjatuhkan. Santri pondok pesantren menganggap sekolah umum merupakan sistem pendidikan orang kafir karena produk kolonial Belanda. Hal ini membuat para santri menjuluki pelajar sekolah umum de-ngan "pelajar kafir". Sementara pelajar sekolah umum menilai santri pondok pesantren kolot dan tradisional; mereka menjulukinya dengan sebutan "santri kolot" atau santri “teklekan".

Pada masa itu sebenarnya sudah ada organisasi pelajar, yakni Ikatan Pelajar Indonesia (IPI). Namun organisasi tersebut dinilai belum bisa menampung aspirasi santri pondok pesantren. Merenungi kondisi tersebut, pada tanggal 25 Februari 1947 ketika Yoesdi Ghozali sedang beri'tikaf di Masjid Besar Kauman Yogyakarta, terlintas dalam pikirannya, gagasan untuk membentuk suatu organisasi bagi para pelajar Islam yang dapat mewadahi segenap lapisan pelajar Islam. Gagasan terse-but kemudian disampaikan dalam pertemuan di gedung SMP Negeri 2 Secodining-ratan, Yogyakarta. Kawan-kawannya yang hadir dalam pertemuan tersebut, antara lain: Anton Timur Djaelani, Amien Syahri dan Ibrahim Zarkasji, dan semua yang hadir kemudian sepakat untuk mendirikan organisasi pelajar Islam.

Hasil kesepakatan tersebut kemudian disampaikan Yoesdi Ghozali dalam Kongres Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), 30 Maret-1April 1947. Karena banyak peserta kongres yang menyetujui gagasan tersebut, maka kongres kemudi-an memutuskan melepas GPII Bagian Pelajar untuk bergabung dengan organisasi pelajar Islam yang akan dibentuk. Utusan kongres GPII yang kembali ke daerah-daerah juga diminta untuk memudahkan berdirinya organisasi khusus pelajar Islam di daerah masing-masing.

Menindaklanjuti keputusan kongres, pada Ahad, 4 Mei 1947, diadakanlah per-temuan di kantor GPII, Jalan Margomulyo 8 Yogyakarta. Pertemuan itu dihadiri Yoesdi Ghozali, Anton Timur Djaelani dan Amien Syahri mewakili Bagian Pelajar GPII yang siap dilebur di organisasi pelajar Islam yang akan dibentuk, Ibrahim Zarkasji, Yahya Ubeid dari Persatuan Pelajar Islam Surakarta (PPIS), Multazam dan Shawabi dari Pergabungan Kursus Islam Sekolah Menengah (PERKISEM) Surakarta serta Dida Gursida dan Supomo NA dari Perhimpunan Pelajar Islam Indonesia (PPII) Yogyakarta. Rapat yang dipimpin oleh Yoesdi Ghozali itu kemudian memutuskan berdirinya organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) tepat pada pukul 10.00, 4 Mei 1947.

Untuk memperingati momen pembentukan PII, maka setiap tanggal 4 Mei di-peringati sebagai Hari Bangkit PII (HARBA PII). Hal ini karena hari itu dianggap sebagai momen kebangkitan dari gagasan yang sebelumnya sudah terakumulasi, sehingga tidak digunakan istilah hari lahir atau hari ulang tahun.

Tujuan

PADA mulanya tujuan PII adalah, "Kesempurnaan pendidikan dan pengajaran bagi seluruh anggotanya." Dalam Kongres I PII, 14-16 Juli 1947 di Solo tujuan tersebut diperluas menjadi "Kesempurnaan pengajaran dan pendidikan yang sesuai dengan Islam bagi Republik Indonesia." Akhirnya tujuan tersebut semakin universal dengan perubahan lagi pada Kongres VII tahun 1958 di Palembang menjadi "Kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan yang sesuai dengan Islam bagi segenap rakyat Indonesia dan umat manusia." Rumusan tujuan PII hasil Kongres VII terse-but yang digunakan sampai sekarang ini sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasar (AD) PII Bab IV pasal 4.

Tugas Pokok, Fungsi dan Usaha

Pelajar Islam Indonesia mempunyai tugas pokok melaksanakan pelatihan, taklim dan kursus bagi para pelajar Islam guna menumbuhkan kader umat dan kader bangsa yang berkepribadian muslim, cendekia dan memiliki jiwa kepemimpinan (AD Bab V Pasal 5). Sementara itu, organisasi ini berfungsi sebagai wadah pembinaan kepribadian muslim, penghantar sukses studi, sarana berlatih dan alat perjuangan bagi pelajar Islam (AD Pasal 6).

Untuk mewujudkan tujuannya, PII bergerak secara independen di bidang pen-didikan, kebudayaan dan dakwah. Adapun usaha yang dilakukan PII –sesuai dengan Bab VI Pasal 7, adalah :

1. Mendidik anggotanya untuk menjadi orang yang bertaqwa kepada Allah SWT.

2. Mengembangkan kecerdasan, kreativitas, ketrampilan, minat dan bakat anggo-tanya.

3. Mendidik anggotanya untuk memiliki dan memelihara jiwa independen/mandiri dan kesanggupan berdiri sendiri tanpa ketergantungan kepada orang lain.

4. Membina mental dan menumbuhkan apresiasi keilmuan serta kebudayaan yang sesuai dengan Islam bagi anggotanya.

5. Membina anggota menjadi pribadi-pribadi yang tangguh dan cakap dalam mengelola arus informasi global dunia serta menangkal dampak negatif produk-produk budaya asing dan arus informasi global tersebut.

6. Membantu dalam pemenuhan minat dan kebutuhan serta mengatasi problematika pelajar.

7. Menyelenggarakan kegiatan sosial untuk kepentingan Islam dan umat Islam, serta umat manusia pada umumnya.

8. Menumbuhkembangkan semangat dan kemampuan anggota untuk menguasai, memanfaatkan serta mengikuti perkembangan Ilmu Pengetahuan dan teknologi bagi kesejahteraan umat manusia.

9. Mengembangkan dan meningkatkan kemampuan anggota untuk memahami, mengkaji, mengapresiasi dan melaksanakan ajaran serta tuntunan Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat.

10. Mencetak kader-kader pemimpin yang memiliki pandangan hidup Islami, kelu-asan pandangan dunia global dan kepribadian muslim dalam segala bidang kehidupan.

Keanggotaan

PADA awal berdirinya PII, muncul reaksi dari IPI yang menilai kehadiran PII bisa menimbulkan perpecahan di kalangan pelajar. Untuk menghindari terjadinya konflik, diadakanlah pertemuan PII dengan IPI pada tanggal 9 Juni 1947 di Gedung Asrama Teknik Jalan Malioboro, Yogyakarta. Dalam pertemuan tersebut kemudian ditandatangani Piagam Malioboro oleh Sekjen PB IPI Busono Wiwoho dan Sekjen PB PII Ibrahim Zarkasji. Salah satu butir penting dari piagam tersebut adalah hak hidup PII oleh IPI. Sebagai tindak lanjut dari penandatanganan piagam tersebut maka dimana ada IPI akan didirikan PII.

Saat itu IPI sudah ada di hampir seluruh wilayah Indonesia yanga da sekolah menengahnya. Para pelajar Islam yang menjadi anggota IPI pun ikut membantu berdirinya PII. Sebaliknya PII bersedia bekerja sama dengan IPI dalam masalah yang bisa dikerjakan bersama dan bersifat nasional. Dalam perjalanan selanjutnya perkembangan PII ternyata jauh lebih pesat dari IPI. Hal itu ditunjang dengan bergabungnya organisasi-organisasi pelajar Islam lokal ke tubuh PII. Selain PPII (Yogyakarta), PPIS dan PERKISEM (Surakarta) yang ikut mendirikan PII, pada saat penyelenggaraan Kongres I PII, 14-16 Juli di Solo, Persa-tuan Pelajar Islam Indonesia (PERPINDO) dari Aceh juga memfusikan diri ke dalam tubuh PII.

Perkembangan anggota semakin pesat pada tahun 1960-an setelah Masyumi (1960) dan GPII (1963) dibubarkan oleh pemerintah. Hal itu mendorong PII mem-buat penafsiran sendiri terhadap kata pelajar. Kalau sebelumnya pelajar adalah mereka yang di pesantren dan sekolah, kemudian diperluas menjadi minal mahdi ilal lahdi (dari ayunan sampai ke liang lahat), sesuai dengan hadits nabi tentang perintah mencari ilmu. Sehingga PII juga menjadi penampung aspirasi mantan-mantan anggota Masyumi dan GPII.

Jumlah anggota PII mulai menyusut di tahun 1980-an seiring dengan mengu-atnya nuansa politis dalam aktifitas PII, sementara pemerintah saat itu justru ber-kesan tengah mendepolitisir umat Islam. Puncak dari penyusutan itu adalah ketika PII tidak mau menyesuaikan diri dengan UU Keormasan yang disahkan 17 Juni 1985 dan mulai diberlakukan 17 Juni 1987. Akibatnya kemudian Mendagri mengeluarkan SK Mendagri No. 120/1987 tertanggal 10 Desember 1987 yang menganggap PII telah membubarkan diri dan selanjutnya melarang kegiatan yang mengatasnamakan PII. Ketika SK itu keluar, menurut Ketua Umum PB PII saat itu Chalidin Yacobs, jumlah anggota PII mencapai 4 juta orang. Namun delapan tahun kemudian, 1995, jumlah anggota PII aktif sepertinya tidak mencapai 100.000 orang.

Meski demikian, PII tidak pernah mati. Sadar penyusutan anggota tidak bisa dibiarkan begitu saja, maka ihtiar untuk bangkit kembali pun dicanangkan. Momentumnya adalah pada Muktamar Nasional XX PII tahun 1995 di Cisalopa, Bogor. Setelah melalui perdebatan sengit, diputuskan PII akan melakukan reformalisasi dengan melakukan registrasi ke Depdagri. Sejak itu jumlah anggota PII kembali terdongkrak. Hanya karena sistem administrasi yang belum rapi sesuai standard administrasi sebuah organisasi formal, jumlah secara pasti seluruh anggota PII belum bisa diketahui.

Untuk penataan kembali administrasi keanggotaan PII, maka ditentukan per-syaratan keanggotaan di PII yang meliputi anggota tunas, anggota muda, anggota biasa, anggota luar biasa dan anggota kehormatan. Anggota tunas, mereka yang duduk dijenjang pendidikan dasar (SD/MI), anggota muda, mereka yang duduk di jenjang pendidikan menengah pertama (SLTP/MTs), anggota biasa, mereka yang duduk di jenjang pendidikan menengah atas (SMU/SMK/MA), anggota luar biasa warga negara asing yang sedang belajar di Indonesia atau sebaliknya, dan anggota kehormatan adalah mereka yang memiliki jasa terhadap PII. Masa keanggotaan PII akan berakhir secara otomatis, bila yang bersangkutan telah dua tahun menyelesaikan pendidikan formalnya.

Kepengurusan

KEPENGURUSAN PII terdiri dari empat jenjang institusi. Yang terendah Pengu-rus Komisariat (PK), berbasis kecamatan, sekolah atau lembaga pendidikan lainnya. Untuk membentuk Pengurus Komisariat, minimal memiliki 25 orang anggota. Peng-urus Daerah (PD) sebagai institusi kepengurusan berikutnya, selain berbasis kabu-paten/kotamadya juga bisa berbasis pesantren atau perguruan tinggi. Dalam satu kabupaten/kotamadya, jika dipandang perlu bisa juga dibentuk lebih dari satu PD, dengan syarat masing-masing memiliki mini-mal 100 anggota. Di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah misalnya, selain ada PD PII Brebes juga ada PD PII Bumiayu (salah satu Kawedanan di Brebes). Pengurus Wilayah (PW) berbasis propinsi, namun ada juga yang dalam satu propinsi memiliki dua PW, yakni PW PII Maluku serta PW PII Maluku Utara dan Halmahera Tengah. Demikian juga batas teritorial PW kadang berbeda dengan batas teritorial propinsi. Misalnya PW PII Yogyakarta Besar meliputi DIY dan eks-Karesidenan Kedu dan eks-Karesidenan Banyumas (Jawa Tengah). Sedangkan PW PII Jakarta, selain DKI juga ditambah eks Karesidenan Purwakarta. Sebagai institusi kepengurusan yang tertinggi adalah Pengurus Besar (PB) yang berkedudukan di Jakarta.

Di samping kepengurusan badan induk, PII juga memiliki 2 badan otonom:  Brigade PII dan Korps PII Wati. Brigade PII dibentuk pada 6 Nopember 1947, pada masa revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan RI. Tujuannya untuk menyalurkan bakat kemiliteran anggota-anggota PII. Pembentukannya dilatarbelakangi partisipasi PII dalam melawan Agresi Militer I Belanda, 27 Juli 1946, tidak berapa lama setelah Kongres I PII. Pada masa sekarang Brigade PII difungsikan sebagai badan inteljen PII untuk memberikan masukan-masukan bagi program-program yang disusun PII di semua institusi.

Korps PII Wati dibentuk pada tanggal 31 Juli 1964, dalam forum Muktamar X PII di Malang. Dilatarbelakangi adanya krisis kader putri di PII, sehingga diharapkan Korps PII Wati bisa melakukan akselerasi proses pembinaan kader-kader putri PII yang umumnya masa aktifnya lebih sebentar dibanding kader-kader putra.

Pembinaan Anggota dan Proses Kaderisasi

PROSES pembinaan anggota kaderisasi pada masa-masa awal PII berdiri dila-kukan di pesantren atau madrasah dan sekolah. Pesantren pertama yang dijadikan tempat kegiatan kaderisasi adalah Pondok Modern Gontor. Di pesantren tersebut pada masa-masa itu, PII menjadi organisasi resmi para santri. Kegiatan kaderisasi yang dilakukan di pesantren berupa kursus-kursus, seperti kursus politik, manaje-men organisasi dan kepemimpinan. Sedangkan di sekolah umum kegiatannya beru-pa kursus-kursus agama Islam. Karena saat itu di sekolah umum tidak ada pendi-dikan agama.

Latihan kader PII pertama kali diadakan pada tahun 1952 dengan mengun-dang beberapa tokoh untuk memberikan ceramah. Proses kaderisasi yang dilaksa-nakan secara sistematis baru dimulai pada periode 1956-1958 ketika PB PII dipimpin Wartomo Dwijoyuwono. Ia mengadopsi pola kaderisasi pada organisasi yang di-lihatnya di Amerika sewaktu mengikuti program Youth Specialist. PB PII mengikuti kegiatan tersebut atas undangan Departemen Luar negeri Amerika Serikat.

Pada tahun  1957  diadakan seminar tentang kaderisasi dan tahun 1958 diter-bitkan Buku Sistem Latihan Kepemimpinan Dalam PII yang lebih banyak diintrodusir dari Aloka Training dan training-training luar negeri lainnya. Pada tahun 1961 mulai dikembangkan metode Group Dynamics (dinamika kelompok) di PII. Dasar teori tentang group dynamics tersebut masuk ke PII melalui training-training yang diikuti kader-kader PII pada tahun 50-an yang diselenggarakan dalam rangka Colombo Plan. Selanjutnya para intelektual PII seperti Mukti Ali (pernah menjadi Menteri Agama), Hariry Hadi dan lain-lain mengembangkannya dengan menciptakan “Leadership Training”, "Mental Training”, dan "Student Work Camp”.

Pada tahun 1962-1964 ketika PB PII dipimpin Ketua Umum Ahmad Djuwaeni, dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan training. Evaluasi tersebut memberikan penilaian training yang sudah diselenggarakan ternyata baru melahirkan pemimpin-pemimpin yang pandai memimpin rapat, pandai berpidato, dan pandai berdiskusi, tetapi ruh Islam, dan ruh jihad kurang berkembang. Sebagai tindak lanjutnya, dibentuklan suatu tim untuk memperbaiki materi training. Metode yang digunakan tetap dinamika kelompok, tetapi materi-materi, case diskusinya diarahkan pada penanaman aqidah, akhlak, idealisme, dan ruh jihad.

Departemen Kader, Departemen Pendidikan dan Departemen Sosial, masing-masing menyelenggarakan Lokakarya Training, untuk “menyempurnakan” atau mengadopsi training dengan dasar “group dynamics” dari Kurt Lewin. M. Husni Thamrin dan Hidayat Kusdiman (Departemen Kader) mengembangkan “Decision Group Dynamics”, menjadi Latihan Kader Kepemimpinan dalam Lokakarya Kepe-mimpinan di Yogyakarta. Endang

Wednesday 14 July 2010

Profile of PII (Indonesia Moslem Students’ Association)

SECRETARIAT
The address of Central Board of Indonesian Moslem Students Association is on
Jl. Menteng Raya 58 Jakarta, Indonesia 10340
Phone/Fax. 62-21-3153572
E-mail: pbpiiku@yahoo.com
Website: http://pelajar-islam.or.id

The address of Representative Board Of Indonesian Muslims Students Association is on Building 63 A Flat 6 Gate Two Swessry A 10th Distric, Nasr City, Cairo, Egypt
Website : http://www.pii-mesir.org
Phone (0020-2) 24708427
Email : pii_cairo@yahoo.com
Website: www.pii_mesir.org